GNI dan dokter Soetomo

Reporter : Seno
IMG-20221026-WA0044

[caption id="attachment_34017" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Nanang Purwono[/caption]

Optika.id - GNI (Gedung Nasional Indonesia) di jalan Bubutan menjadi penanda tonggak perjuangan bangsa. Sementara kawasan Bubutan sendiri dikenal sebagai kawasan pergerakan. Selain gedung GNI, juga ada Hoodfbestuur Nahdlatoel Oelama di Bubutan VI dan Nahdlatoel Waton di Kawatan. Di seberang Kalimas (timur Kalimas) adalah kampung Peneleh dimana terdapat rumah HOS Tjokroaminoto yang menjadi rumah pergerakan bangsa.

Baca juga: Samidi M. Baskoro: Ini yang Membuat Soetomo Jadi Berbeda!

Bubutan dan Peneleh saling melengkapi sebagai kawasan pergerakan bangsa Indonesia di Surabaya, setengah abad sebelum proklamasi kemerdekaan. Tercatat bahwa di seperempat abad pertama abad 20, kawasan Peneleh sudah tertandai dengan keberadaan rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto dengan segala gerakan kebangsaannya.

Dalam kurun waktu yang sama, di Bubutan lahir Soerabaiasche Studie Club pada 1924. Kemudian Nahdlatoel Oelama (NO) pada 1926. Yaitu lahirnya NU. Persis pada pada 1930 dr. Soetomo mendirikan gedung GNI sebagai rumah pergerakan arek arek Surabaya. Selanjutnya pada 1933 lahir majalah pergerakan Panjebar Semangat yang didirikan oleh dr. Soetomo.

Kawasan Bubutan dan Peneleh adalah rumah asli arek arek Surabaya. Kawasan ini sudah ada sejak era pra kolonial sebagai kawasan yang dihuni oleh orang orang pemberani, orang yang memiliki sifat Sura ing Baya, berani menghadapi bahaya (wani).

Tak heran jika dari tempat ini, seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan jaman, lahirlah orang orang pemberani. Satu diantaranya adalah Soekarno, presiden pertama RI. Roeslan Abdoelgani juga dilahirkan di kawasan ini, tepatnya di kampung Plampitan.

Jika di Peneleh VII, di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto menjadi tempat bertemunya para penggerak bangsa yang sifatnya terbatas (karena alasan ruangan), maka di Gedung GNI menjadi tempat rapat rapat masal arek-arek Surabaya.

GNI mulai dibangun pada 11 Juli 1930. Peletakan soko guru pendopo dilakukan oleh dr. Soetomo bertepatan dengan HUT ke-6 Indonesische Studie Club. Indonesische Studie Club adalah perkumpulan orang orang cendikia dan aktivis jebolan perguruan tinggi di Belanda. Studie Club Soerabaja didirikan dr Soetomo di Surabaya pada 1924,

[caption id="attachment_45464" align="aligncenter" width="788"] Dr Soetomo bersama keluarga di Surabaya pada 1937. Foto: KITLV[/caption]

Yang menarik dari Studie Club Soerabaja ini adalah bahwa klub ini tidak semata mata menjadi sebuah wadah belajar mata pelajaran sekolah sebagaimana umumnya kelompok belajar. Tetapi justru Studi Club Surabaya ini memiliki kegiatan kegiatan investigatif dalam masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan teori yang diperoleh mahasiswa Indonesia dari bangku kuliah di Belanda. Mereka ini kerap mendiskusikan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat dan kadang-kadang hasil diskusi itu dikemukakan dalam rapat-rapat umum.

Kelompok cendikia Soerabsiasche Studie Club inilah yang sering menggunakan gedung GNI sebagai sarana kegiatan kegiatan diskusi dan rapat rapat pemuda. GNI wujudnya adalah komplek bangunan. Ada yang berbentuk pendopo dan bersifat terbuka. Pendopo ini menjadi ruang rakyat dimana rapat rapat umum yang melibatkan lebih banyak masa digelar.

Di kiri kanan pendopo, sedikit agak ke belakang (barat) ada bangunan bertingkat dua kembar. Bangunan di sisi selatan pernah digunakan sebagai bank (Bank Nasional Indonesia). Sedangkan bangunan kembarnya di sisi utara adalah tempat penerbitan Panjebar Semangat. Penerbitan ini masih beroperasi hingga sekarang. Semua yang ada di komplek ini adalah buah karya dr Soetomo dalam upaya pergerakan dari sektor pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya.

Itulah jalur yang menjadi tulang punggung pergerakan intelek di awal abad 20 setelah pergerakan fisik sporadis (kedaerahan) dinilai kurang pas. Yaitu perlawanan fisik di sepanjang abad 19 mulai dari perang Pattimura (1817), Perang Jawa (1825) dan Perang Aceh (1873).

Serangkaian gerakan kebangsaan yang terkonsentrasi di kawasan Bubutan ini sangat menopang gerakan yang melahirkan Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II di Jakarta pada 28 Oktober 1928. Adalah dr Soetomo, salah satu dari pendiri Perkumpulan Budi Utomo yang berdiri pada 20 Mei 1908, turut menggelorakan semangat pergerakan untuk mencapai kemerdekaan. Maka pada 28 Oktober 1928 lahirlah Sumpah Pemudi yang menjadi janji para pemuda dari Jawa, Sunda, Bali, Ambon, Sulawesi (Celebes), Sumatera dan Kalimantan (Borneo).

Sayang cita-cita merasakan hidup di alam kemerdekaan tidak sempat dinikmati dr. Soetomo. Dokter Soetomo meninggal dunia pada 30 Mei 1938, sebelum proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Jejak Langkah dr Soetomo

Pada tahun 1903, dr Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Batavia. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah Soetomo mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah lulus pada tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra. Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda.

Pada tahun 1919 sampai 1923, Soetomo mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi spesialis kedokteran di Universitas Amsterdam. Selama kuliah, Soetomo ikut berkegiatan di Indische Vereeniging (Perkumpulan Mahasiswa India). Soetomo juga sempat dipilih menjadi ketua Indische Vereeniging periode 19211922.

[caption id="attachment_45465" align="aligncenter" width="788"] Gedung GNI di jalan Bubutan Surabaya.[/caption]

Pada tahun 1923, Soetomo kembali ke Indonesia dan menjadi pengajar di Nederlandsch Artsen School (NIAS) Surabaya. Sekarang ditempati Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya.

Pada tahun 1930 Soerabsiasche Studie Club mendirikan GNI. Di tahun yang sama Indonesische Studie Club mengubah namanya jadi Partai Bangsa Indonesia. Tahun 1933 dr Soetomo mendirikan penerbitan Panjebar Semangat dan pada tahun 1935, mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya). Tahun 1938 dr Soetomo meninggal dunia.

Riwayat GNI

Dikutip dari laman sistim Registrasi Nasional, cagarbudaya.kemendikbud.go.id bahwa gedung GNI sudah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya dengan SK Wali kota Surabaya nomor: 188.45/251/402.1.04/1996, tertanggal 26 September 1996.

Gedung Nasional Indonesia (GNI) ini didirikan atas prakarsa dari pendiri Boedi Oetomo, dr. Soetomo. Dana pembangunannya diberikan secara gotong royong oleh tokoh-tokoh perintis kemerdekaan, antara lain R. Sundjoto, R.M.H. Sujono, R.P. Sunario Gondokusumo, dan Achmad Dais, serta dana dari masyarakat. Gedung ini didirikan dengan tujuan untuk tempat pertemuan para tokoh perintis kemerdekaan dalam menyusun taktik dan strategi dalam mencapai kemerdekaan Indonesia.

Baca juga: Eri Cahyadi Ajak Masyarakat Teladani Dr. Soetomo

embangunan gedung mulai dilakukan pada 11 Juli 1930. Peletakan soko guru pendopo dilakukan oleh dr. Soetomo bertepatan dengan HUT ke-6 Indonesische Studie Club. Sementara itu, peletakan batu pertama dilakukan dua hari kemudian pada 13 Juli 1930. Dr. Soetomo juga menjabat sebagai ketua pengurus Gedung Nasional Indonesia.

Menurut Akte Notaris H.W. Hazenburg tanggal 21 Juni 1930 No. 101 dalam mengurus gedung ini, dr. Soetomo dibantu oleh beberapa orang, yaitu R.P. Sunario Gondokusumo (Sekretaris), R.M.H. Sujono (Bendahara), R. Sunjoto, dan Achmad Dais (Komisaris). Pengurus gedung ini memulai tugas sejak 21 Juni 1930 hingga 30 Mei 1938.

Pada 1-3 Januari 1932 Bangunan Cagar Budaya Gedung Nasional Indonesia (GNI) pernah digunakan sebagai tempat Kongres Indonesia Raya. Dalam kongres ini, Soekarno yang saat itu baru keluar dari penjara Sukamiskin Bandung berpidato. Begitu juga dengan dr. Soetomo. Pada 30 Mei 1938, dr. Soetomo meninggal dunia. Jasadnya kemudian dikebumikan di lingkungan GNI.

Peristiwa lain yang pernah terjadi di gedung ini adalah pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya. Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Angkatan Muda di Surabaya mempelopori rapat pembentukan KNI Surabaya. Rapat dimulai pada 25 Agustus 1945 dan selesai pada 27 Agustus 1945.

Gedung ini juga menjadi saksi pembentukan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) Surabaya. Rapat awal pembentukan BKR diselenggarakan di Gedung Bekas Pembantu Prajurit (PBB) di Kaliasin pada 2 September. Rapat penyempurnaan BKR lalu diadakan di Gedung Nasional Indonesia pada 4 September 1945. Dalam perjalananannya, GNI juga pernah dijadikan Markas BKR Surabaya.

September 1945, Pemuda Putri Indonesia juga pernah mengadakan rapat di GNI. Selain itu, pada akhir September 1945, Penerbang Angkatan Laut Surabaya (PALS) juga dibentuk dan diresmikan di GNI. 10 November 1945, Pertempuran Surabaya meletus. Di GNI juga sempat terjadi peristiwa tembak menembak antara beberapa orang yang ditugaskan menjaga GNI dengan rombongan tentara NICA.

Menurut catatan Dahlan Iskan dalam artikel Manufacturing Hope Jawa Pos yang mewawancarai Sumarsono diceritakan bahwa Pemuda Republik Indonesia (PRI) didirikan di GNI pada 21 September 1945. Kurang dari dua bulan sebelum pertempuran 10 November Surabaya. Yakni, ketika hampir semua organisasi pemuda saat itu menyatakan meleburkan diri ke dalam PRI. Beberapa tokoh, seperti Soemarsono, Roeslan Widjajasastra, dan Bambang Kaslan menjadi pimpinannya, namun belum ada ketuanya.

Dua hari kemudian, 23 September 1945, ada rapat AMI (Angkatan Muda Indonesia) yang diketuai Roeslan Abdoelgani di gedung GNI, Jalan Bubutan. Dalam rapat yang juga dihadiri seluruh eksponen pemuda Surabaya inilah Roeslan Abdoelgani mengundurkan diri. Dan, yang lebih penting, dia minta forum itu memilih Soemarsono sebagai ketua PRI. Maka, hari itu Soemarsono terpilih secara aklamasi. Saya sudah terlalu tua untuk memimpin organisasi pemuda ini, ujar Roeslan Abdoelgani seperti ditirukan Soemarsono, yang disampaikan ke Dahlan IskanIskan (9 Agustus 2009).

Istri dr Soetomo

Istri dr. Soetomo, Everdina Broering, adalah seorang perawat yang pernah mengabdi di Rumah Sakit Blora. Keduanya bertemu untuk pertama kalinya di rumah sakit itu pada 1917.

Dalam buku Kenang-kenangan Dokter Soetomo yang diterbitkan oleh Penerbit Sinar Harapan pada tahun 1984, dr. Soetomo mengungkapkan ketertarikannya pada sang suster Belanda.

Romannya yang pucat geraknya yang kurang berdaya itu, telah menarik perhatian saya. Saya ingin mengetahui penderitaan apakah yang sedang diderita oleh suster itu. Ternyata suster ini adalah orang yang lagi dirundung malang, sedang hidup dalam kesusahan,

Ternyata, usut punya usut, suami Everdina Broering baru saja meninggal pada tahun 1917. Setelah itu ia memilih mengabdikan diri sebagai perawat di Rumah Sakit Blora, sekaligus untuk mengobati kesendiriannya. Disanalah Everdina bertemu dr Soetomo, yang baru dipindahtugaskan sebagai dokter dari Sumatera ke Blora.

Hubungan mereka yang awalnya teman kerja, terus berlanjut menjadi asmara. Bahkan keduanya tidak lama kemudian berkomitmen untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Pada tahun 1919, dr. Soetomo mendapatkan kesempatan untuk memperdalam ilmu tentang penyakit kulit dan kelamin di Belanda dengan beasiswa dari pemerintah Belanda. Everdina pun ikut berangkat, sekaligus pulang ke kampung halamannya.

Kesempatan itu menjadikan dr. Soetomo bisa menjalin hubungan yang baik bersama keluarga istrinya di Amsterdam. Di kota itulah mereka menjalani hidup sederhana dengan segala suka dan dukanya selama kurun waktu empat tahun.

Sepanjang pernikahannya, kehidupan meraka berdua bahagia dan harmonis, meski keluarga kecilnya tidak dikaruniai anak.

Sementara itu, kesibukan dr. Soetomo semakin bertambah. Tapi, Everdina tetap setia dan terlihat tegar mendampingi tanpa keluhan.

Namun siapa sangka di balik ketegaran Everdina selama mendampingi dr. Soetomo, ada beban dalam dirinya. Udara Surabaya sepertinya tidak cocok untuk Everdina. Ia pun menderita asma akut.

Everdina yang sakit harus meninggalkan Surabaya untuk beberapa waktu. Dalam masa perawatan, Everdina butuh tinggal di tempat yang lebih sejuk, yakni di Celaket, Kota Malang. Dua minggu sekali, dr. Soetomo sempatkan menjenguk.

Sayangnya, kondisi Everdina semakin lemah. Perempuan Belanda itu akhirnya menghembuskan napas terakhir di Malang dan dimakamkan di Kembang Kuning Surabaya. Ia meninggal tepat di pangkuan sang suami pada tanggal 17 Februari 1934 pukul 09.10 WIB. Sepeninggal Everdina, dr. Soetomo tidak menikah lagi sampai akhir hayat pada 1938.

Penulis: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)

Editor: Pahlevi 

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru