Kontrak Freeport Akan Berakhir, Kenapa Pemerintah Malah Beli Sahamnya?

Reporter : Seno
IMG-20220510-WA0035

Optika.id - Ekonom Senior Alpha Epsilon Pi (AEPi), Salamuddin Daeng speechless melihat Pemerintah membeli saham PT Freeport Indonesia.

Pasalnya, kontrak karya untuk tambang emas yang terletak di Papua tersebut akan segera berakhir.

Baca juga: Freeport Indonesia Buka Lowongan Kerja Smelter Operation Readiness, Daftar Sekarang!

Akan tetapi, bukannya lebih sabar menunggu kontrak itu habis, Pemerintah justru membeli saham PT Freeport Indonesia.

"Ya itu akan jadi pertanyaan sejarah buat kita ya bahwa, pertama, ada perusahaan yang kontraknya mau habis ya lalu kita beli sahamnya oleh negara. Itu kan satu pertanyaan besar yang nggak mungkin bisa dijawab sampai anak-cucu nanti," tutur Salamuddin Daeng, seperti dikutip Optika.id dari video berjudul 'UTANG LAMA BELUM DIBAYAR, FREEPORT MALAH NAMBAH UTANG LAGI' dalam channel YouTube Hersubeno Point, Selasa (10/5/2022).

Dia pun dibuat tak berkutik ketika diminta untuk menjelaskan alasan Pemerintah memaksakan diri membeli saham.

"Gimana cara menjawab pertanyaan semacam itu? jadi perusahaan yang akan habis masa kontraknya, yang seharusnya aset-asetnya itu dikembalikan kepada pemerintah karena mereka sudah break even point, sudah mencapai internal requirement-nya sudah bagus, sudah normal, dan sudah mendapatkan keuntungan besar dari tambang itu. Sehingga sudah diproyeksikan waktu awal investasi bahwa pada usia kontrak tertentu perusahaan sudah untung sehingga seluruh kontra itu akan diserahkan kembali oleh negara," ucapnya.

Padahal, Salamuddin Daeng mengatakan, jika masih terdapat banyak aset-aset berharga atas konsesi tersebut, negara bisa menyerahkannya ke BUMN.

Selain itu, negara bisa juga menjualnya kepada perusahaan swasta dengan sistem yang sangat terbuka.

"Jadi kalau ditanya kenapa ya? Ya itulah jadi pertanyaan sejarah, saya juga nggak tahu kenapa gitu. Tapi dulu konsen saya adalah pada soal mengambil utangnya untuk membeli itu, apakah itu pilihan yang rasional di tengah bunga utang di dalam negeri juga tinggi, lalu orang lebih berpikir menempatkan uang mereka di surat utang negara/surat berharga negara ketimbang melakukan investasi karena bunga surat utang atau surat-surat berharga negara ini sudah di atas bunga deposito perbankan sekarang," tuturnya.

Apalagi, keuntungan yang didapatkan oleh Indonesia dari investasi di tambang emas tersebut juga tidak banyak.

"Nah sekarang keuntungan yang didapat dari investasi di Freeport Indonesia juga nggak seberapa, kalau saya buat perbandingan dengan melakukan investasi di surat berharga negara. Jadi lama ini prosesnya untuk bisa mendapatkan emas ini, mendapatkan cuan untuk kepentingan bangsa dan negara ini," ucapnya.

Salamuddin menegaskan, butuh proses yang panjang dalam meraih keuntungan dari investasi di PT Freeport Indonesia.

Belum lagi pemerintah memiliki utang yang jumlahnya hampir mencapai Rp100 triliun dari perusahaan tersebut.

"Itu pekerjaan yang lama sekali dan untuk bisa membayar utang yang Rp53-54 triliun kalau ditambah dengan sekarang Rp45 triliun, sekitar Rp90-100 triliun ini kalau tidak ada perubahan kurs ini akan menjadi urusan yang besar ke depannya Karena bagaimanapun juga utang PT Freeport Indonesia ini PT Freeport Indonesia ini dimiliki sahamnya 51 persen lebih oleh MIND ID. Jadi utang yang diambil PT Freeport Indonesia ini sudah pasti merupakan utang yang juga ditanggung oleh MIND ID," jelasnya.

Salamuddin juga mengaku heran melihat PT Freeport Indonesia justru kembali menambah utang.

Padahal, negara memiliki sekitar 51 persen saham di PT Freeport Indonesia ini, tetapi perusahaan tambang emas di Papua tersebut kembali mengambil utang.

"Freeport Indonesia baru-baru ini kan mengumumkan mengambil utang sebesar 3 miliar dolar (Rp43,7 triliun). Utang itu katanya untuk membiayai pembangunan smelter, kemudian keperluan lain-lain lah untuk operasional dan keperluan umum lain. Jadi saya pun bertanya ini kalau mau nambah utang kira-kira gimana ini, PT Freeport Indonesia ini kan sudah 51 persen lebih sahamnya dimiliki oleh Indonesia, oleh MIND ID, oleh Inalum grup yang merupakan holding dari tambang ya," tuturnya.

Menurut Salamuddin, penambahan utang tersebut akan menjadi tambahan beban bagi negara.

"Itu akan menjadi tambahan beban dong bagi MIND ID ya, karena utang ini akan diambil oleh PT Freeport Indonesia," ucapnya.

Salamuddin mengaku awalnya mengira bahwa Freeport-McMoRan akan langsung melakukan investasi di Indonesia.

Akan tetapi, mereka justru memberikan utang untuk keperluan yang seharusnya menjadi kewajibannya.

"Tadi bayangan saya freeport-McMoRan sana langsung melakukan investasi di urusan-urusan yang menjadi kewajiban konstitusional daripada Freeport sesuai dengan Undang-Undang Minerba," ujar Salamuddin.

Salah satu contohnya adalah kewajiban membangun smelter yang seharusnya dilakukan oleh Freeport-McMoRan tapi justru dibangun PT Freeport Indonesia dengan kembali mengajukan utang.

"Tetapi karena PT Freeport Indonesia Sudah dimiliki 51 persen oleh Inalum grup ya, oleh pemerintah Indonesia, atau oleh entitas yang terkait dengan pemerintah Indonesia, maka itu menjadi kewajiban Indonesia sekarang," tuturnya.

Baca juga: Jokowi Bakal Perpanjang Izin Tambang Freeport di RI Hingga 20 Tahun

Oleh karena itu, PT Freeport Indonesia akhirnya harus kembali menambah utang, padahal sebelumnya juga masih memiliki utang sebesar 3,8 miliar dolar (Rp55,3 triliun).

"Makanya kemudian saya lihat PT FI ini mengambil utang lagi gitu sebesar 3 miliar Dolar AS. Kalau ditambah dengan utang yang kemarin berarti 3,8 ditambah 3 sekarang, 6,8 dolar AS (Rp99 triliun). Berarti udah hampir nilainya sudah lumayan itu, sudah mendekati Rp100 triliun ya. Dan itu dengan saya perlihatkan perkembangan sekarang, dengan pemasukan sekarang, ini makin tambah berat beban yang akan ditanggung oleh Freeport Indonesia, lalu kemudian oleh Inalum grup. Karena Inalum sendiri ada PT Inalum yang utangnya juga lumayan banyak, itu sekarang andalan mereka untuk mendapatkan pendapatan itu berasal dari batubara dan timah ya, dan antam yang lumayan," ucapnya.

Meski begitu, Salamuddin Daeng mengatakan, seluruh pendapatan PT Inalum tampaknya tidak bisa segera dijadikan keuntungan atau deviden bagi negara.

Hal itu adalah karena perusahaan tersebut memiliki banyak sekali beban kewajiban yang harus ditanggung ke depannya.

"Apalagi dengan tambahan utang baru untuk membangun smelter macam-macam ini kan, makanya saya bertanya apakah sudah ada segram emas yang masuk ke Pemerintah Indonesia dari hasil pembelian ini? Kalau memang sudah ada ya ceritakanlah ke kita gitu pak, bahwa kita sudah dapat dan kita memproyeksikan utang ini akan lunas berapa puluh tahun gitu loh. Kalau pendapatan setahun antara 200-300 juta dolar ya, berarti setahun 200 juta dollar ya, sekitar Rp3 triliun ya," tuturnya.

Menurut Salamuddin, jika negara mendapatkan keuntungan Rp3 triliun dalam setahun, Indonesia membutuhkan waktu 20 tahun untuk melunasi utang PT Freeport Indonesia tersebut.

"Tiba-tiba setelah ini semua selesai, ya kontrak perpanjangan 20 tahun ini berakhir, maka kita enggak menyisakan apa-apa, kita cuma menyisakan bahwa seluruh pendapatan telah kita gunakan untuk bayar utang. Nggak sempet dibagikan ke rakyat. Kalau memang pembelian ini manajemennya bagus, segala macam proyeksi ini bagus, maka sebetulnya keuntungan dari hasil pembelian tambang emas ini bisa segera kita bagikan kepada rakyat Indonesia," ucapnya.

Wacana Jokowi 3 Periode Disorot

Di tengah ramainya pinjaman utang yang dilakukan PT Freeport Indonesia, wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi 3 periode kembali disorot.

Upaya-upaya untuk memperpanjang masa jabatan itu pun dinilai muncul karena pemerintah memiliki banyak sekali 'dosa' yang belum ditebus.

Menurut Salamuddin, ada banyak pekerjaan rumah (PR) atau lubang-lubang yang belum sempat ditutup Pemerintah, dan itu tidak akan cukup jika hanya sampai tahun 2024 nanti.

Akan tetapi, Salamuddin menegaskan, upaya tersebut sia-sia. Pasalnya, lubang-lubang tersebut tidak akan bisa ditutup hanya dengan mengulur waktu seperti perpanjangan masa jabatan.

Baca juga: Kawal Distribusi Proyek Air Umbulan ke Masyarakat dan PT Freeport, Pemprov Jatim Bentuk Tim Enam

"Kita nggak bisa nutup lubang dengan mengulur waktu, ndak bisa itu, ndak ada teorinya dan tidak ada pengalaman sejarah orang bisa menutup lubang atau menutup kesalahan dengan mengulur waktu," katanya.

Dia menekankan, tradisi di Indonesia adalah jika memang ada permasalahan yang belum diselesaikan, justru prosesnya harus dipercepat.

"Dalam tradisi kita menutup kesalahan ya dipercepat aja kita selesaikan masalahnya gitu dengan Gentleman, dengan konsisten. Jadi ketegasan. Ketegasan atau konsistensi itu atau menjalankan sesuatu sesuai norma, cuma itu caranya kita menyelesaikan masalah," ucapnya.

Salamuddin menilai tidak ada sejarahnya pemerintah mengulur waktu untuk menutup lubang, sama seperti dalam kehidupan sehari-hari.

"Kalau ngulur waktu saya enggak liat sejarahnya dalam pergaulan hidup sehari-hari juga nggak ada itu. Orang mencoba-coba keluar dari hukum alam, alam yang bersifat pasti, hukum yang ditetapkan Tuhan. Pasti Anda (kalau) melanggar norma, ndak bisa anda mengulur waktu untuk menyelesaikan ini. Jadi selesaikan, caranya selesaikan sekarang mumpung masih ada waktu bukan mengulur waktu," tuturnya.

Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa jika ada permasalahan yang belum selesai, pemerintah seharusnya mempercepat proses penyelesaiannya.

"Jadi bahasanya orang kampung itu, mumpung masih ada waktu segera, mumpung masih ada waktu minta maaf, mumpung masih ada waktu bayar utang karena utang dibawa mati, mumpung masih ada waktu kan semua bangsa Indonesia itu menggunakan istilahnya filosofi hidup semacam itu, mumpung masih ada waktu karena kita enggak tahu sampai kapan waktu kita ini kan gitu. Jadi orang bilang mengulur waktu itu, waktu nggak bisa diulur lagi," ujarnya.

Dia kemudian menyoroti bagaimana permasalahan yang terjadi di PT Freeport Indonesia seharusnya segera diselesaikan Pemerintah.

"Jadi dulu saya sampaikan, sekarang gini, Undang-Undang Minerba mewajibkan pembangunan smelter, Anda tidak bangun smelter, anda dilarang ekspor. Anda dilarang ekspor, anda mendapatkan kuota ekspor, kalau anda ngotot ekspor anda bayar pajak tinggi atau denda tinggi. Nah itu diselesaikan, ditaati rule of game-nya. Karena itu kan nggak bisa hilang, gimana cara menghilangkan jejak sejarah atau jejak pelanggaran hukum atau jejak korupsi yang sudah dilakukan orang? ndak bisa. Apalagi jejak-jejak norma yang sifatnya sudah terpublikasi secara umum, sudah menjadi pengetahuan umum. Bahasanya bukan rahasia lagi tapi sudah menjadi rahasia umum," pungkasnya.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo 

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru