Mengenang Jasa Sang Ayah, Putra Peter A. Rohi Tulis Pesan "Titip Rindu Untuk Papa"

Reporter : Danny

Optika.id - Aku pasti terlihat seperti sepotong senja di musim dingin yang kelabu, dan di hari itu hujan turun...

Tak mudah bagi saya untuk menuliskan ini. Butuh waktu panjang menyiapkan diri, untuk mengulang kisah di rumah kami, cerita masa lalu yang kini terbungkus sepi. Cukup lama bagi saya untuk bisa tegar berdiri, mencari inspirasi, menggali, dan menggerakkan jari-jemari.

Matahari

Suatu siang, saya berdiri cukup lama di persilangan Leninskiy Prospekt, Bakinskikh Komisarov, dan Miklukho Maklay. Hilir mudik kendaraan dan orang dari berbagai ras, bermacam negara seakan tiada henti. Leninskiy Prospekt adalah jalan terpanjang di Kota Moskow (16 kilometer), sementara Miklukho Maklay -yang diambil dari nama Antropolog Rusia yang lama bermukim di Papa- dihuni beberapa universitas dengan pelajar dari puluhan negara di seluruh dunia.

Persis seperti catatan persinggungan Om Amang -demikian saya biasa memanggil beliau- dengan almarhum Papa. Buku ini berisi nama banyak sekali orang, beragam tempat, bermacam media, yang bisa membangkitkan kenangan, sekaligus membantu memahami karakter orang-orang yang saling bersinggungan dalam catatan ini.

Beberapa tempat, lengkap dengan alamat yang ditulis Om Amang, pernah saya datangi. Demikian pula dengan sederet nama yang tak asing, bahkan sejak kecil saya sudah dikenalkan oleh Papa ke mereka. Sebagian lagi, saya baru tahu ketika Om Amang menuliskannya.

Saya jadi tau pergumulan seorang Peter Rohi, wataknya, karakternya, juga relasinya, semua lewat tulisan yang dibuat orang, pasca kepergiannya. Termasuk catatan-catatan dalam buku ini.

Membaca tulisan ini saya diajak menelusuri Surabaya lama, yang masih sangat ramah bagi pejalan dan pengendara sepeda, lengkap dengan kisaran angka, harga, honor, dan gaji saat itu. Saya teringat suatu ketika Papa menunjukkan pada saya, selembar uang seribu, lalu mencoba menjelaskan betapa besarnya angka itu.

Sebagai gambaran, nasi rawon sepiring, lengkap dengan kerupuk dan teh hangat di Warung Pak Wito, di ujung Jalan Kedondong, samping Gereja

HKBP itu, Rp 100,-.

Warung ini cukup melegenda di antara orang-orang tua, entah mengapa. Sesekali kami bergembira karena dalam kurun waktu tertentu (mungkin sehabis Papa gajian), kami beli lauk pauk di sana untuk makan sekeluarga. Pada lain waktu, kami membeli lauk pauk di PKL langganan, di deretan Sekolah YMCA/IMKA, di dekat Bioskop Ria. Itulah warung langganan keluarga.

Warung Pak Wito jadi langganan karena dekat rumah, sementara IMKA, mungkin karena dua kakak bersekolah di sana, sebagian guru dan pegawainya adalah tetangga rumah. Kini Bioskop Ria sudah tak ada, konon begitu pula dengan Sekolah IMKA.

Tulisan ini juga membangkitkan kenangan saya, yang hampir tiap malam, dengan bis kota dari depan Halte Hyatt ke Jembatan Merah, mengirim naskah Papa ke sebuah media (kalau tak salah mingguan), di Jalan Karet yang saya lupa namanya, dan ke Tugu Pahlawan, kantor Harian Memorandum.

Saya mengirimkan naskah itu, mulai dari model disket 200 mm hingga floppy disk 3½. Di kantor Harian Memorandum itu pula, untuk pertama kalinya saya melihat orang bekerja menggunakan mouse. Saya menikmati perjalanan malam dengan bis kota, saya juga menikmati melihat kesibukan para jurnalis bekerja. Biasanya saya tak segera pulang.

Ketika di Jakarta, saya juga menikmati pemandangan bergulung koran dicetak, di kompleks Sinar Harapan, Jalan Dewi Sartika 136-D. Saya suka mencuri-curi kesempatan untuk dapat memegang kertas koran yang masih hangat itu. Setelah puas, saya kembali pulang bersama Papa atau Kak Ferrel Wattimena, kakak sepupu yang mengasuh saya.

Banyak lagi kenangan yang dibangkitkan dengan membaca buku Om Amang ini. Saya bersyukur bisa membacanya. Saya juga bersyukur bahwa orang tua saya memberi kenangan indah, mengenalkan saya pada dunianya, pada teman-temannya. Namun, membaca kisah ini berulang, membuat hati saya kembali sedih. Rasanya peristiwa duka itu terjadi baru kemarin siang.

Konon, begitulah cara kerja kenangan. Ia tak pernah benar-benar jauh di masa lalu. la terus hadir bersama kita, saat ini, di sini, saat memori kita memutarnya kembali. Dari isi kepala yang sama, lahir ingatan, juga lupa. Dari memori yang sama, terbit suka, juga duka.

Senja

Mungkin hari itu adalah musim panas paling kelabu bagi saya, bagi keluarga kami. Belum juga air mata kering setelah kepergian Mama, Papa menyusulnya.

Malam setelah pemakaman Mama, Papa dilarikan ke IGD Pusura. Papa menolak makan, menolak ini dan itu, setelah Mama meninggal. Dalam kurun seminggu setelah pemakaman Mama, tiga kali Papa dibawa ke IGD.

Siang itu, terik panas menyengat, ketika Kakak mengabarkan kondisi Papa di Surabaya. Situasi pandemi, semua Rumah Sakit di Surabaya penuh.

Kami coba menghubungi semua kenalan dan kerabat: Daniel Rohi, Agatha Retnosari, dan Deni Wicaksono. Ketiganya adalah Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur. Papa yang sempat tak tertangani di RS William Booth, akhirnya dipindahkan ke RKZ - St Vincentius Paulo, setelah Mas Awi (Adi Sutarwijono, Ketua DPRD Kota Surabaya) menelepon saya.

Di sana, Papa bisa ditangani dengan lebih baik, meski sibuk, sebagaimana Rumah Sakit lainnya di kala pandemi, dokter dan suster memberi perhatian lebih, tapi tetap tak ada kamar buat Papa.

Beberapa saat kemudian, Deni Wicaksono mengabarkan bahwa RS Menur Surabaya menyiapkan satu kamar buat Papa, tapi pihak RKZ, bilang bahwa kondisi Papa terlalu lemah, sangat riskan untuk dipindahkan dalam kondisi seperti itu.

Kami pasrah.

Kami sekeluarga berdoa via video call WhatsApp, Jojo sebagai yang sulung memimpin doa. Jojo di Jakarta, Maya di Banten, saya di Rusia. Hanya ada Don Peter dan Taga di Surabaya. Selesai berdoa, Don mengarahkan kameranya ke wajah Papa, dengan harapan Papa dapat melihat anak-anaknya, dan kembali memperoleh semangat.

Saya sendiri masih berharap Papa masih bisa memegang ijazahku kelak, sebagaimana yang ia lakukan saat saya lulus dari Universitas Airlangga dulu.

Tuhan berkehendak lain. Itu adalah tatapan mata terakhir saya dengan Papa.

Itu kenangan terakhir, saya masih bisa melihat bola matanya yang lemah bersinar. Entah tatapan itu menandakan bahwa Papa baik-baik saja sebab akan segera bertemu Mama, atau Papa sedang menahan rasa sakitnya. Entahlah.

Papa meninggalkan kami, menyusul Mama, di saat pandemi melanda. Saya tak bisa pulang. Hanya bisa menyaksikan lewat video yang dikirimkan Novli Thyssen dan Daniel Rohi. Juga lewat foto-foto yang dikirimkan oleh banyak teman.

Saya kehilangan kedua orangtua ketika berada jauh di sini. Ternyata, kematian begitu menyakitkan, ketika jauh dari orang tua, saat tak dapat turut mengantarkan ke peristirahatan abadi mereka. Setidaknya itu berlaku buat saya.

Surya perlahan turun di sini, sinarnya berpendar. Merah merekah.

Pertama kali membaca catatan-catatan Om Amang ini, beberapa saat, ketika Papa tiada, dan duka masih menjadi tuan bagi saya, bagi keluarga. Kini, untuk kedua kalinya, saya membaca catatan-catatan ini, saya masih di sini. Masih belum juga bisa beranjak pulang, melihat pembaringan Papa, di Surabaya. Bahkan untuk menyentuh pusaranya saja, saya masih belum bisa.

Senja musim gugur Moskow tiba. Hanya ada kata-kata. Titip rinduku saja. Dalam dingin, dalam kenangan indah. Mungkin juga (masih) dalam duka.

Oleh: Joaquim 'Inyo' Rohi (Putra Almarhum Peter A. Rohi)

Moskow, 28 Oktober 2021

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru