Optika.id - Dilema pekerja dan pekerjaan di Indonesia memang merupakan hal yang pelik. Ketiadaan kontrak, dan berbagai masalah lainnya merupakan serba-serbi yang harus dihadapi oleh pekerja saat ini.
Baca juga: Rekam Jejak Contract Framing Bagus, Anies Ingin Sejahterakan Petani
Hal yang sama dialami oleh Suryani yang merupakan seorang pekerja lepas alias freelancer di Sudirman, Jakarta Selatan. Setelah mengalami pil pahit dengan kantor lamanya yang bermasalah dengan menahan gajinya selama dua bulan, kini dia memantapkan diri untuk menjadi freelancer konten creator di Sudirman. Tugasnya melayani permintaan untuk membuat konten media sosial, menulis artikel untuk dipublikasikan, dan membuat video untuk diunggah ke TikTok atau Instagram. Tak hanya menjadi freelancer di Sudirman, Suryani juga membuka jasanya sendiri sebagai voice over.
Dalam pengalamannya menjadi freelancer, terutama menjadi voice over, Suryani seringkali mendapat masalah. Terutama dari kliennya yang rewel dan tak jarang mengulur-ulur honornya.
Jadi voice over ku tuh menerima banyak klien ya Alhamdulillah. Tapi yang paling bandel ini biasanya dari brand yang baru merintis dan dari kalangan pemerintahan. Itu yang bersinggungan dengan kebijakan publik tuh biasanya yang bandel. Pernah honorku telat dibayar dua bulan. Ya meskipun dibayar tuntas tapi nagihnya itu lho kek ngemis, tuturnya ketika disambangi di Cibubur, Jakarta Timur, Minggu (16/7/2023).
Tak hanya Suryani, Yoga yang merupakan penulis freelance dari sebuah majalah kementerian pun kerap merasa jengkel karena lambannya honor yang turun sementara beban kerjanya cukup berat.
Itu beban kerjanya banyak. Biasanya disuruh nulis 600 800 kata, dalam satu project ada 8 kerjaan. Dan itu cuma dikasih sumber mentahan buat nulis, belum revisi dan lain-lain. Enggak berat sebenarnya Cuma ribet saja. Biasalah ujarnya berkelakar.
Senada dengan Suryani, Yoga pun harus menagih honornya yang kerap terlambat. Dalihnya adalah majalah tersebut belum terbit sementara honor harus menunggu majalah itu terbit, hingga atasan yang sedang perjalanan dinas entah kemana.
Ya nagih. Kadang aku biarin aja. Sampai 3 bulan baru honor itu cair. Yang nyebelin itu beban kerja udah banyak dan ribet. Padahal kita ini kan freelance ya, tapi tetep dimintai macem-macem udah kayak karyawan tetap saja, jelas Yoga
Menanggapi berbagai persoalan hak pekerja kreatif, Andreas Budi Widyanta selaku pengajar advokasi sosial di Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) menjelaskan jika ada dua hal utama yang menjadi perkara fundamental hak pekerja yang bergelut di industri kreatif ini.
Baca juga: Fokus Para Capres Berantas Stunting, Pengamat Sebut Janjinya Belum Kuat
Yang pertama menurutnya adalah masalah pengupahan yang layak dan adil. Perangkat hukum dan pelayanan birokrasi bagi pemenuhan hak pekerja di sektor industri kreatif menurutnya masih belum diakomodasi pemerintah secara tegas. Padahal, hal ini seharusnya bisa diantisipasi seiring dengan pergerakan zaman yang kian dinamis, salah satunya adalah penerapan teknologi digital dalam dunia kerja.
Dia menilai jika pemerintah absen serta kurang mengantisipasi kebijakan terkait undang-undang yang berkekuatan hukum dalam bidang kreatif.
Mestinya, ketika pemerintah sudah mencanangkan Industri 4.0, sudah dipikirkan menginisiasi perubahan hak-hak dasar buruh, kata Widyanta, Senin (17/7/2023).
Kemudian yang kedua adalah penentuan aturan kontrak kerja dalam sektor industri kreatif secara detail dan teridentifikasi. Hal ini penting dilakukan lantaran cakupan bidang kerja dalam sektor industri kreatif amat beragam.
Baca juga: Bisnis Media dan Percetakan Bakal Raup Cuan Saat Pemilu Nanti
Perlu ada proses identifikasi dan kategorisasi, dengan kapasitas berpikir besar dan tingkat kecepatan yang baik, ujarnya.
Di sisi lain pemerintah perlu bersikap tanggap untuk menelurkan kebijakan terkait regulasi atau aturan penggunaan media teknologi dalam industri, khususnya industri kreatif.
Pemerintah, imbuhnya, perlu melakukan intervensi kebijakan yang memadai untuk mengimbangi perubahan moda produksi yang sangat cepat sebagia imbas dari teknologi informasi.
Jika pemerintah masih absen dalam menerapkan kebijakan di sektor itu, jelas membuat korporasi media atau industri kreatif bisa bertindak sewenang-wenang terhadap buruh, kata dia.
Editor : Pahlevi