Oleh: Prof Ir Daniel Rosyid
Optika.id - PDIP dikabarkan akan kembali mengukuhkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum dalam beberapa minggu ke depan. Di saat banyak reformis mempertanyakan praktik politik dinasti di Solo, semakin terang bahwa budaya feodalisme masih mengakar kuat di balik drama demokrasi mbelgedhes yang mewarnai era pasca-Soehartosebuah era yang katanya dilahirkan oleh gerakan reformasi.
Baca Juga: Pengamat: Retreat Bukan Jadi Tolak Ukur Keselarasan Kepala Daerah dengan Presiden
Di sisi lain, gelar akademik maupun kebangsawanan kini justru menjadi penanda baru feodalisme kontemporer. Ia berubah menjadi syarat tak tertulis untuk menjadi calon pemimpin nasional di tengah era internet yang turut mengidap technofeodalisme, saat para pemilik platform digital seperti Google perlahan menggantikan posisi para tuan tanah lama.
Kaum reformis neoliberal dan neokonservatif, yang kerap didukung oleh kelompok nasionalis sekuler sebagai idiot berguna, masih enggan mengakui satu kenyataan pahit: pemberantasan korupsi gagal bukan semata karena kelemahan hukum, tapi karena budaya feodal tetap kokoh mengakar.
Baca Juga: Imlek dan PSN
Kini, di Jawa Barat, Mulyadi sedang menjual budaya Sunda sebagai komoditas politik. Di tengah bangkitnya tribalism pasca-Trumpisme, identitas menjadi alat dagang dan alat kuasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jokowismesebagai varian baru dari feodalismetumbuh subur dalam rezim konstitusi hasil amendemen 2002. Dan kini, ia justru menjadi hambatan budaya paling melekat yang membelenggu tangan dan kaki Prabowo.
Baca Juga: Pagar Laut dan Kekosongan Pemerintahan di Laut
@Rosyid College of Arts
Editor : Pahlevi