Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah
Optika.id - Artikel ini saya tulis pada tanggal 10 Nopember 2024 bertepatan dengan Hari Pahlawan. Saya menulis pun karena saya kebetulan asli kelahiran Surabaya tahun 1952, namun tanggal 10 Nopember 1945 merupakan salah satu kancah perjuangan anak bangsa melawan penjajahan dan membuktikan pada dunia waktu itu bahwa negara Indonesia itu ada.
Setiap memperingati Hari Pahlawan 10 Nopember, saya juga mengenang gugurnya sepupu saya yang bernama Cak Madjid, yang waktu kecilnya diasuh almarhumah ibu saya. Cak Madjid pada usia 20 tahun-an bergabung di pasukan Laskar Hisbullah sayap milisinya Nahdlatul Ulama (NU) yang bersama ribuan pasukan Hisbullah dan pejuang Indonesia lainnya yang bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat, Tentara Pelajar Indonesida dll ikut bertempur melawan Inggris dan Belanda bulan Oktober-Nopember 1945.
Saya pun harus menulis artikel ini karena sedih melihat kenyataan bahwa perayaan Hari Pahlawan 10 Nopember kali ini nampak sepi, media cetak maupun TV hanya sibuk mewartakan debat pilkada, kunjungan presiden Prabowo ke Cina dan sebagainya.
Kalau ada penyiar TV yang memakai seragam pejuang kemerdekaan itu pun sepertinya hanya menggugurkan kewajiban saja, atau sekedarnya saja, karena dia memandu acara lain bukan acara wawancara dengan veteran pejuang misalnya. Lalu ingatan saya kembali di tahun 1950-1960 an dimana hampir semua kampung di Surabaya mendirikan gapura dengan tulisan-tulisan yang menggambarkan suasana perjuangan dulu, misalkan MERDEKA atau MATI. Sahabat saya yang umurnya dibawah saya, mantan aktivis mahasiswa dan mantan pengurus IKA UA mengatakan pada saya Cak sekarang tidak ada surat edaran mengibarkan bendera Merah Putih.
Saya membayangkan presiden Prabowo yang kalau berpidato mengebu-ngebu terutama kalau bicara soal nasionalisme, juga berpidato kepada seluruh bangsa ini mengenang perjuangan para pahlawan bangsa dalam pertempuran Surabaya atau the battle of Soerabaja. Saya juga membayangkan seluruh TV menayangkan film dokumenter perang Surabaya, pidato terkenal Bung Tomo dulu dan mewancarai keluarga penjuang seperti keluarga mantan Menteri Luar Negeri jamannya presiden Sukarno dulu yaitu almarhum Ruslan Abdul Gani, Bung Karno memanggilnya Cak Rus. Tangannya cacat kalau tidak salah terkena ledakan bom pada 10 Nopember 1945.
Lalu saya iri dengan negara Rusia yang setiap tanggal 8 Mei yang merupakan hari libur memperingati kemenangan Uni Soviet atas Nazi Jerman pada tahun 1945. Tanggal itu merupakan peringatan Pertempuran Stalingrad (17 Juli 1942 2 Februari 1943) sebuah pertempuran besar di Front Timur Perang Dunia II, dimulai ketika Nazi Jerman dan Porosnya sekutu menyerang dan terkunci dalam perjuangan berlarut-larut dengan Uni Soviet untuk menguasai kota Stalingrad Soviet (sekarang dikenal sebagai Volgograd) di Rusia selatan. Uni Sovyet adalah satu-satunya negara yang menderita korban jiwa paling besar dalam perang dunia II itu yaitu sekitar 26,6 juta, ada yang mengatakan 36 juta jiwa.
Peringatan Hari Kemenangan atau Victory Day setiap tahun itu dipenuhi dengan acara-acara yang bernuasa perjuangan bangsanya seperti parade militer dengan memamerkan kemajuan militernya seperti peluru kendali nuklir. Seluruh TV nya menyiarkan dokumen peperangan melawan Nazi, mewancarai para veteran, anak-anak sekolah berkunjung ke makam pahlawan dan berkunjung ke rumah para veteran untuk mendengarkan kisah heroik mereka.
Pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya itu sebenarnya situasinya hampir sama dengan pertempuran di Gaza antara Israel dan pejuang Hamas yang sekarang masih berlangsung, dimana Israel dengan bantuan Amerika Serikat menggempur Gaza dari segala arah dengan kekuatan penuh pasukan darat, udara dan lautnya nya dengan persenjatan canggih. Sedangkan pejuang Hamas tidak memiliki pesawat tempur, tank dan kapal perang. Itu adalah pertempuran yang tidak seimbang.
Baca juga: Prabowo Ditengah Perubahan Geopolitik Global
Pertempuran 10 Nopember 1945 juga demikian karena tentara Inggris menggunakan kapalkapal perang besar, tank, kendaraan lapis baja, dan pesawat terbang. Tercatat ada 6.000 pasukan British Indian, di susul tambahan 24.000 tentara Inggris dengan 24 tank Sherman buatan Amerika Serikat dan beberapa tank kelas ringan, 24 pesawat tempur dan 5 kapal perang-2 berjenis Cruiser dan 3 jenis Destroyer. Pertempuran 10 Nopember 1945 itu pecah setelah Brigadir Jendral Aubertin Walter Sothern Mallaby, komandan Brigade 49 Divisi India yang merupakan bagian dari Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang datang ke Surabaya untuk membantu penjajah Belanda terbunuh di Jembatan Merah Surabaya oleh para pejuang Surabaya, dan ini memicu keluarnya ultimatum Inggris untuk membumihanguskan Surabaya.
Pertempuran yang dimulai tanggal 10 November 1945 itu menelan ribuan nyawa para pejuang Indonesia (ada yang mencatat 16.000 jiwa) dan ribuan orang mengungsi keluar kota Surabaya almarhumah ibu saya dan para familinya mengungsi sampai didaerah Batu, Malang.
Pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya membuka mata dunia kala itu bahwa para mujahid Indonesia seperti sepupu saya Cak Madjid itu bukanlah Sekelompok Preman yang tidak memiliki dukungan rakyat, tapi mereka adalah pejuang berani mati Indonesia, yang sejak awal bersedia untuk gugur syahid dengan tersenyum demi kemerdekaan bangsa dan negara yang kita cintai ini.
Perlu diingat bahwa perang di Surabaya tanggal 10 Nopember 1945 itu bukannya hanya perangnya orang Surabaya, tapi ini adalah perang yang melibatkan anak bangsa dari daerah lain seperti pasukan dari Yong Sumatra, Yong Sulawesi Selatan, Yong Ambon, Yong Java dan sebagainya. Jadi itu perang nasional bukan perang yang bersifat kedaerahan.
Sayang pengorbanan yang penuh dengan darah dan jiwa raga itu saat ini sepi - tidak diperingati dengan gegap gampita.
Baca juga: Politik Jamuan Makan
Editor : Pahlevi