Optika.id - Kesalahan administrasi dalam tata kelola tenaga honorer masih ditemukan oleh Ombudsman RI (ORI). tak hanya di pusat, melainkan di daerah. Tak hanya itu, banyak kelalalaian administrastif berlapis yang ditemukan oleh ORI.
"Kita butuh tenaga honorer, fakta sisi lain yang menjadi fokus Ombudsman bahwa kebijakan dan tata kelola tenaga honorer itu menjadi masalah. Cukup banyak malaadministrasinya," ujar Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, dalam keterangan tertulis, Rabu (29/12/2021).
Baca juga: Utang Negara Tembus 8 Ribu Triliun, Jokowi Malah Tarik Utang Rp90 Triliun dalam Sebulan!
Maladministrasi tersebut dalam catatan sistemik ORI meliputi serangkaian aturan soal status honorer, perekrutan tanpa standar baku yang jelas untuk memenuhi kebutuhan pegawai, serta standar pengupahan bagi honorer yang nihil sehingga terjadi gap dan perbedaan antara di pusat dengan di daerah, bahkan, menurut ORI, nyaris semua honorer tidak mendapatkan jaminan sosial yang memadai. Pemerintah juga dinilai tidak memiliki perencanaan dalam penganggaran serta pengembangan kompetensi honorer serta absennya jaminan pascakerja yang diterima oleh para honorer.
Terkait hal itu, Ombudsman tentu tak tinggal diam. Mereka memberikan empat pilihan saran perbaikan kebijakan tata kelola tenaga honorer. Diantaranya yang pertama adalah mengalihkan status tenaga honorer menjadli aparatur sipil negara atau ASN sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN.
Menurut Ani Samudara Wulan Kepala Keasistenan Analis Pencegahan Maladministrasi Keasistenan Utama VI ORI, hal ini dilakukan agar pemerintah bisa segera merumuskan soal kebijakan afirmatif pengalihan secara administasi baik dari segi pendataan, pemberkasan, verifikasi serta validasi tenaga honorer ke ASN
Saran yang kedua adalah memperlakukan tenaga honorer selayaknya karyawan merujuk ke UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Cara kerjaanya adalah dengan cara merumuskan kebijakan pengupahan berdasarkan skala dan struktur upah bagi honorer yang bekerja satu tahun dan standar UMR di daerah yang bersangkutan bagi honorer yang bekerja kurang atau di bawah satu tahun.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memberikan perlindungan berupa jaminan sosial kesehatan maupun ketenagakerjaan kepada tenaga honorer sebagai peserta penerima upah (PPU) serta memperhatikan kelayakan hubungan pascakerja dengan membuat kebijakan terkait seperti jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan pesangon. Karena itu adalah hak pekerja.
Baca juga: Ekonomi Indonesia Melemah di Tahun Pemilu?
Adapun saran ketiga adalah menghapus secara bersyarat tenaga honorer dengan menyusun peraturan presiden atau perpres soal pemberhentian semua tenaga honorer di seluruh kementerian atau lembaga terkait dari pusat dan daerah hingga masa transisi di tahun 2023 sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2018. ORI meminta agar perpres tersebut memuat ketentuan pada Pasal 96 ayat (1) PP 49/2018 yang melarang PPK serta pejabat lain yang mengangkat pegawai non-PNS atau non-PPK untuk mengisi jabatan ASN. Kemudian, pemerintah harus memberlakukan pengendalian dan pengenaan sanksi fiskal serta administrasi terhadap PPK atau pejabat lain yang masih mengangkat tenaga honorer.
Saran terakhir menurut Ombudsman, adalah dengan membiarkan atau melanjutkan segala proses yang lazim terjadi alias do nothing. Akan tetapi, Ombudsman lebih mengarah pada anjuran pemerintah agar memberlakukan honorer selayaknya karyawan dengan meminta DPR merivisi UU ASN untuk mengakomodasi keberadaan tenaga honorer sebagai salah satu pegawai pemerintahan yang memiliki posisi kuat serta krusial.
Baca juga: Berapa Besaran Gaji yang Layak di Indonesia?
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Amrizal
Editor : Pahlevi