Kita, Orba dan Medali Emas Olimpiade Pertama

Reporter : Seno
images - 2022-09-22T125536.901

[caption id="attachment_19035" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Ruby Kay[/caption]

Optika.id - Sekelumit kisah nyata ditahun 1992. Mulut bapak komat-kamit melafazkan zikir. Ibu yang sedang mengupas bawang tegang menatap layar televisi berwarna 14 inch yang layarnya cembung. Diluar sunyi, karena tetangga juga menonton pertandingan final bulutangkis yang disiarkan langsung oleh TVRI. Bintangnya, siapa lagi kalau bukan Susi Susanti.

Baca juga: Persidangan Sambo dan Misteri Pembunuhan 6 Orang Laskar FPI di KM 50

Bocah laki-laki kelas 3 SD ikut menonton pertandingan bulutangkis itu dengan cara duduk bersila dilantai kayu. Dan ketika pengembalian bola oleh lawan dinyatakan keluar oleh hakim garis, Susi Susanti dinyatakan menang dan peroleh medali emas olimpiade pertama untuk Indonesia.

Kalimat takbir dan teriakan kemenangan seketika membahana dari dalam rumah sederhana itu. Terdengar suara nyaring om Harun, tetangga berperut buncit keluar dari dalam rumahnya hanya mengenakan kaos kutang dan celana pendek. Ia berjoget-joget kegirangan.

Bapak pun menyusul keluar rumah, sumringah menatap temannya sesama pengajar di SMA Muhammadiyah.

"Alhamdulillah, kita menang!" Ujar bapak sambil tertawa riang.

"Menang! Menang! Menang! Indonesia juara!" Balas om Harun sambil memasuki rumah mungil yang dindingnya bercat putih rada kusam.

Hari itu semua orang sumringah, larut dalam suka cita. Susi Susanti dielu-elukan bak pahlawan. Ketika seremoni pengalungan medali, semua mata kembali tertuju ke layar televisi. Bapak menekan tombol volume, mengeraskan suara speaker televisi agar kumandang lagu Indonesia Raya terdengar jelas.

Kamera menyorot wajah Susi Susanti, ia menitikkan air mata. Suasana haru terasa. Wajah ibu menyiratkan rasa senang, bangga, dan bahagia. Ada nazar yang akan ditunaikannya.

Tiga hari kemudian, siang sehabis mengajar, bapak pulang membawa dua buah raket dan beberapa buah shuttlecock (bola bulutangkis). Raketnya berat, jelas bukan yang mahal, tapi yang murahan. Sore hari menjelang, dengan rekan sepermainan bermain bulutangkis disamping rumah. Terbersit rasa bahagia, hidup sederhana namun aman sentosa penuh warna.

Baca juga: Langkah Anies di Antara Politisi Tua

Meanwhile, ibu sibuk berkutat didapur. Ia sedang menuntaskan nazar atas kemenangan Susi Susanti. Puasa dua hari berturut-turut, setelah itu lanjut memasak bubur pedas satu dandang besar. Makanan khas Kalimantan Barat itu lalu dinikmati bersama, dibagikan dengan tetangga disekeliling rumah.

Jika Susi Susanti menang, ibu memang bernazar akan memasak bubur pedas dengan potongan daging yang besar-besar. Tak lupa tulang sapi dimasukkan kedalam dandang, semakin membuat bubur pedas terasa lezat. Selain itu ada pula es sirup kelapa muda. Sungguh nikmat meminumnya sehabis bermain bulutangkis.

Euphoria kemenangan Susi Susanti itu pastinya juga dirasakan oleh warga Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Berbulan-bulan capaian itu tak usai dibicarakan bapak-bapak diwarung kopi, hingga ibu-ibu dipengajian.

Tak ada yang membicarakan asal usul Susi Susanti. Orang tak hirau dengan agamanya apa, rasnya apa. Yang pasti tersemat merah putih didadanya.

Pemerintah Orde baru bisa dibilang berhasil membangkitkan kesadaran berbangsa. Di masa itu tak ada yang berteriak radikal-radikul, tak ada fanatisme berlebih dalam konstelasi politik. Jauh sebelum Pemilu dilaksanakan, kita sudah tahu kalau Golkar akan kembali keluar sebagai juara, disusul PPP lalu PDI.

Baca juga: Aisyah dan Pernikahan Zaman Dahulu

Untuk menguasai parlemen, pak Harto tak perlu membuat isu terorisme, radikalisme. Ditahun 90-an awal, tak ada ustad yang dilabeli garis keras. Kehidupan antar ummat beragama berjalan dengan harmonis. Kak Emiliana yang tinggal bersama kami, tiap minggu pagi pergi ke gereja dengan berjalan kaki. Walau tinggal dalam lingkungan keluarga muslim, tak pernah ada paksaan untuk memeluk agama islam. Tiga tahun tinggal dalam satu atap, hingga tamat SMA kak Emiliana tetap beragama katholik.

Disamping rumah terdapat SMA Sinar Kasih milik yayasan kristen. Jaraknya cuma sekitar 20 meter, hanya dibatasi dengan parit kecil tanpa tembok atau pagar. Sering terdengar nyanyian lagu-lagu rohani, kami yang muslim sama sekali tak merasa terganggu. 100 meter dari rumah terdapat gereja Evangelis. Di sore hari halaman gereja itu sering dijadikan tempat bermain sepakbola. Terkadang ada saja bola yang nyasar membentur dinding gereja. Namun tak pernah gara-gara hal itu kami dihardik oleh pak pendeta.

Terlepas dari segala kekurangannya, orde baru berhasil menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotik. Liem Swie King, Rudy Hartono dan Susi Susanti adalah pemain bulutangkis idola berkewarganegaraan Indonesia. Tiap bulan agustus selalu diadakan pawai pembangunan. Mobil hias dari departemen penerangan berada paling depan, berjalan perlahan sambil memutar lagu-lagu perjuangan. Bukan lagu rock apalagi dangdut koplo.

Dalam perspektif bocah kelas 3 SD, jaman orde baru adalah masa dimana semua orang bangga menyebut dirinya Indonesia. ??

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru