Misinformasi Pemilu 2024 Masif, Namun Masih Dinamis

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes menuturkan penyebaran misinformasi sudah mulai marak menjelang tahun pemilu dan pemilihan presiden 2024. Kendati demikian dia mengamati masih belum ada isu yang menonjol dan kuat.

Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

"Apa yang akan terjadi di 2024, kami melihat operasi soal penyebaran misinformasi ini sebenarnya sudah terjadi. Namun hingga saat ini kita melihat belum ada isu yang diperkirakan akan kuat," kata Arya, dalam keterangannya, Minggu (16/7/2023).

Arya menilai jika operasi misinformasi untuk menjatuhkan lawan politik seperti bakal calon wakil presiden (bacawapres) masih nano-nano alias beragam serta belum ada kecenderungan mereka condong kemana dan kuat mana yang bertahan di tengah gempuran saling sikut antar lawan. Arya mengumpulkan data dari Januari Juli sudah mulai muncul sejumlah misinformasi yang menyasar dua capres yakni Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.

Arya mengamati pola yang muncul dari sumber yang dia dapatkan. Sejak Januari sampai Juli, Anies dan Ganjar menjadi kandidat yang jadi korban misinformasi. Misalnya, Anies Baswedan jadi tersangka JIS dan isunya masih digoreng, kemudian Ganjar yang terlibat BTS, didiskualifikasi Bawaslu, lalu Gibran yang melaporkan Anies ke KPK.

"Misinformasi lainnya adalah adanya ribuan WNA China diberikan KTP untuk pemilu 2024. Pencurian formulir C1 untuk pemilu 2024, pemilu 2024 hasilnya sudah diketahui, dan TNI/Polri rapatkan barisan mendukung Ganjar. Anies Baswedan juga gencar dapat framing macam-macam, khususnya politik identitas. Bahaya banget itu," tuturnya.

Misinformasi di Pilpres 2014 dan 2019

Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Sebelumnya, Arya juga sempat menyinggung mengenai situasi persebaran misinformasi pada pertarungan politik di Pilpres 2014 dan 2019 silam. Dirinya menggambarkan saat itu penyebaran misinformasi atau hoaks dilakukan secara massif berbarengan dengan politik identitas dan utamanya menyerang Jokowi.

Misalnya pada Pilpres 2014 dan 2019 Jokowi dituduh sebagai anggota PKI serta turut serta dalam kampanye PKI yang digelar pada tahun 1955. Padahal, fakta yang sebenarnya adalah Jokowi lahir tahun 1961.

Lebih lanjut, misinformasi yang menyerang Jokowi saat itu adalah isu bahwa dirinya merupakan keturunan Tionghoa dan hendak mendatangkan tenaga asing dari China untuk menggantikan tenaga kerja asli Indonesia. melihat hal tersebut, Arya menegaskan bahwa saat itu misinformasi sangat kencang dan massif menyerang.

Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Tak hanya pada calon presiden yang berlaga di pemilu saat itu, misinformasi juga menyasar lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu. Misalnya saja isu-isu kerusuhan di depan Bawaslu ketika KPU mengumumkan hasil pemilu 2014 dan 2019 lalu.

"Menyebar juga misinformasi soal adanya penembakan di masjid, kemudian polisi diimpor dari China segala macam. Dan juga hoax yang menyasar penyelenggara yang saat itu besar sekali, misalnya soal 7 kontainer yang sudah dicoblos, kemudian ada juga soal server KPU yang memenangkan pasangan calon tertentu, kemudian komisioner yang dianggap pro calon tertentu dan segala macam," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru