Usulan Genjatan Senjata di Ukraina Jebakan Bagi Putin?

Reporter : Pahlevi


Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Optika.id - Negara-negara barat sekutu Amerika Serikat terkejut ketika Presiden Donald Trump menelpun Presiden Rusia Vladimir Putin membicarakan kemungkinan penghentian peperangan yang sampai sekarang berlangsung di Ukraina dan menjalin hubungan diplomatik lagi dengan Rusia.

Baca juga: Akhirnya Amerika Mengakui itu Perang Proxy

Padahal sebelumnya para pemimpin AS bersama-sama sekutunya Eropa/NATO mati-matian membela Ukraina dengan memberi bantuan senjata-senjata canggih yang bernilai milyaran dolar agar mampu melawan Rusia. Dunia barat juga terkejut akan sikap Donald Trump yang 180 derajat berbeda dengan sikap Joe Biden dengan mengakui bahwa campur tangan Amerika Serikat dalam perang di Ukraina adalah kesalahan besar.

Memang Donald Trump dalam kampanyenya menjelang Pilpres AS sering mengatakan bahwa dia akan menghentikan perang Ukraina dalam waktu 24 jam begitu dia menjadi Presiden AS, dan mengatakan bahwa dia adalah orang yang tidak suka peperangan.

Lalu masyarakat umum bertanya apakah segitu baiknya niat Presiden Donald Trump ingin menghentikan perang yang menelan ratusan ribuan jiwa melayang itu?

Menurut Profesor Jeffry Sach, Trump menginginkan perang berhenti karena tidak ingin menyandang beban sebagai orang yang kalah, mengingat perang di Ukraina yang dimotori AS itu dalam kenyataanya kalah, Rusia selama tiga tahun ini sudah menguasai 20% wilayah Ukraina dan terus merengek ke wilayah-wilayah Ukraina lainnya.

Baca juga: Kita Menyaksikan Ribuan Orang Di-PHK

Selain itu ada maksud lain yaitu sebagai seorang pengusaha Donald Trump menghitung rugi laba dalam membantu Ukraina yang dalam kondisi kalah. Trump meminta (memaksa) Presiden Ukraina Zelensky untuk memberi imbalan (ganti rugi) kepada AS atas bantuannya selama ini yang berjumlah milyaran dolar itu, dan imbalan itu berupa penguasaan sumber daya mineral Ukraina kepada AS. Tidak ada makan siang gratis.

Lalu Donald Trump mengutus menteri luar negerinya Marco Rubio, Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz dan Utusan Khusus AS Steve Witkoff bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di ibu kota Saudi Arabia pada tanggal 12 Februari 2025 untuk menindak lanjuti hasil pembicaraan telpun Trump dan Putin.

Tiba-tiba dunia dikejutkan dengan pertikaian yang keras antara Presiden Ukraina Zelensky ketika bertemu Presiden Trump dan Wapres Vance di ruang Oval Office Gedung Putih. Trump dan Vance menuduh Zelensky tidak sopan, tidak tahu diri, tidak berterima kasih kepada Amerika Serikat atas bantuannya selama ini. Pertikaian itu menyebabkan Zelensky "diusir" keluar dari Gedung Putih dan Trump mengumumkan penghentian sementara pengiriman bantuan senjata dan informasi intelijen kepada Ukraina. Sekembalinya dari AS, Zelensky berbicara dalam posisi sebagai "orang yang dikasihani" dengan mengatakan akan mengikuti kebijakan Trump dan akan memberikan pengelolaan Sumber Daya mineralnya ke AS.

Dengan sikap yang berbalik arah itu, Presiden Trump memerintahkan Menlu Marco Rubio untuk melakukan perundingan dengan Presiden Zelensky di Saudi Arabia membicarakan soal usulam genjatan senjata.

Menlu Rubio setelah pertemuan itu didepan awak media mengabarkan "berita gembira" bahwa Zelensky setuju adanya genjatan senjata selama 30 hari. "Sekarang bola ada ditangan Rusia," kata Rubio.

Baca juga: Tidak Semua Orang Bisa Menyebut Angka Jumlah Korupsi

Perdana Menteri Inggris menyambut gembira keputusan genjata senjata 30 hari itu dan berjanji akan mengirimkan pasukannya (bersama Perancis) menjadi Penjaga Perdamaian di Ukraina. Kesediaan Zelensky menerima usulan genjatan senjata 30 hari itu mendapatkan imbalan dari Trump yaitu AS memulai lagi mengirim senjata dan informasi intelijen ke Ukraina.

Presiden Rusia Vladimir Putin tidak serta merta menerima kabar "gembira" itu dengan secara diplomatis mengatakan "secara prinsip setuju dengan usulan genjata senjata", tapiada tapinya kata Putin bahwa yang diinginkan Rusia itu bukan penggentian perang sementara tapi penghetian permanen dengan tuntutan bahwa 20% lebih wilayah Ukraina yang sudah dikuasai Rusia tetap berada ditangan Rusia. Selain itu kata Putin, penghentian peperangan itu harus berdasar akar masalah utamanya yaitu Ukraina tidak boleh bergabung NATO karena merupakan ancaman langsung bagi keamanan Rusia.

Vladimir Putin juga bertanya kenapa AS mulai lagi mengirim bantuan senjata dan informasi intelijen ke Ukraina, apa maksud AS sebenarnya? Menawarkan perdamaian tapi masih mengirim senjata ke Ukraina, apakah masih ingin memperpanjang perang?

Putin juga curiga bahwa usulan genjatan senjata 30 hari itu sebenarnya memberikan peluang atau waktu bagi Ukraina (AS dan NATO) untuk memperkuat kembali kekuatan militernya yang sudah hancur agar bisa berperang lagi tentu dengan bantuan senjata dari AS dan Eropa. Rusia juga mempunyai sikap bahwa Rusia adalah pihak pemenang dalam peperangan ini kenapa tunduk pada usulan genjata senjata.

Rusia sudah paham akan taktik AS, Eropa dan Ukraina karena sudah dua kali dikhianati yaitu ketika ada persetujuan perdamaian di Minks, Belarus dan Istambul Turkiye dimana sudah setuju dengan draft perdamaian itu (Ukraina juga sudah setuju), tapi ternyata itu hanyalah tipu daya Eropa/NATO untuk memberi waktu Ukraina membangun kembali kekuatan militernya, jadi pertemuan perdamaian itu hanyalah tipuan belaka karena AS dan NATO melarang Ukraina untuk berhenti berperang melawan Rusia.

Semua itu bagi Rusia adalah jebakan, termasuk upaya mendiskritkan Rusia di mata dunia bahwa Rusia lah sebenarnya pihak yang tidak mau adanya perdamaian.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru