Optika.id - Sejak konflik berujung genosida besar-besaran antara Israel kepada rakyat Palestina pecah beberapa pekan lalu, masyarakat dunia ramai-ramai menunjukkan dukungannya kepada Palestina dengan cara kampanye gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS). Gerakan ini sebagai simbol perlawanan non kekerasan terhadap Israel.
Di sisi lain, gerakan tersebut juga merupakan wujud dukungan untuk Palestina agar perang segera berakhir. Salah satu upaya dalam gerakan BDS ini yakni memboikot sejumlah produk Israel maupun perusahaan yang mendukungnya. Di Tanah Air, gerakan ini santer diserukan oleh masyarakat mengingat banyak produk yang diduga pro Israel menjamur dan dipakai dalam kegiatan sehari-hari.
Baca Juga: Kelaparan Mengancam Gaza: Toko Roti Tutup Akibat Kekurangan Pasokan
Akibat dari gerakan BDS ini, beberapa saham dari sejumlah produk yang pro Israel diketahui mengalami fluktuasi. Sebut saja Starbucks dan McDonalds.
Pada awal November kemarin, saham Starbucks dengan kode SBUX sempat menurun dan ditutup di harga 91,35 dolar AS per sahamnya. Hal yang sama terjadi kepada McDonalds yang pada akhir Oktober sempat anjlok ke level terendahnya yakni 245,5 dolar AS. Tak hanya mereka, saham Unilever pada akhir Oktober pun menurun di angka 46,36 dolar AS.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE), Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa gerakan boikot dilakukan bertujuan untuk memberikan efek kepada produk yang diboikot. Harapannya adalah ketika produk tersebut terdampak dengan adanya hasil boikot, maka mereka akan melakukan penyesuaian.
Tentu kita tidak boleh melupakan bahwa tujuan melakukan boikot produk itu adalah menekan produk tersebut untuk tidak memberikan dana kepada pihak lain yang dianggap kemudian akan merugikan dalam konflik Palestina dan Israel, ujar Yusuf, kepada Optika.id, Minggu (12/11/2023).
Baca Juga: Hizbullah Deklarasikan 'Kemenangan Besar' atas Israel
Tekanan inilah yang kemudian menurutnya perlu menjadi gerakan bersama dan di satu bersamaan, ada aksi simpati dari masyarakat yang tidak hanya ada di Indonesia saja, melainkan seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Ini bisa menjadi dorongan agar konflik yang tengah terjadi itu bisa selesai dan syukur-syukur bisa menghasilkan solusi antara kedua negara," ucap dia.
Sementara itu, Tauhid Ahmad selaku Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menuturkan bahwa gerakan boikot sebenarnya bukan menjadi salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah. Karena, terlepas dari apa yang terjadi, banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Baca Juga: Paus Fransiskus Desak Penyelidikan Genosida Israel di Gaza, Ini Tanggapan Muhammadiyah
Memang boikot bukan solusi ya. Tapi itu cara protes banyak orang ini negara demokrasi," ujar dia.
Meskipun demikian, dia memahami bahwa di balik aksi boikot ini memuat tujuan politis yakni menginginkan adanya upaya damai yang tercipta antara kedua belah pihak.
"Istilahnya mencari atensi untuk damai karena apa pun perang tidak bagus buat semua negara, kata Tauhid.
Editor : Pahlevi