Optika.id - Berawal dari diskusi diskusi Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita dengan tema Plus Minus Pilkada Oleh DPRD yang diikuti oleh Optika.id, Prof Siti Zuhro menjelaskan bahwa Pilkada yang demokratis dan berkualitas merupakan prasyarat penting terwujudnya pemerintah daerah yang transparan dan akuntabel.
"Pilkada dan desentralisasi/otda sangat terkait erat, Desain, mekanisme dan praktik pilkada harus mempertimbangkan implikasinya terhadap daerah, masyarakat dan keutuhan negara (persatuan Indonesia). Pertanyaannya, apakah mekanisme pilkada via DPRD lebih aplikatif dan prospektif untuk daerah di Indonesia?" kata Prof Siti Zuhro dalam diskusi tersebut seperti dikutip Optika.id, Minggu (5/1/2025)
Baca Juga: Anies Punya Modal Cukup untuk Kembali Memimpin Kota Jakarta!
Memahami Keunikan Indonesia
Menurut Peneliti Senior LIPI ini Indonesia adalah negara kepulauan dengan daerah- daerah yang membentang dari Sabang sampai Merauke, Indonesia tergolong negara yang unik. Daerah-daerah memiliki kekhasan dan karakteristiknya, baik dalam hal potensi yang dimiliki (SDM, SDA, SDE) maupun local heritage/local culture, modal sosial (social capital), dan kearifan lokal (local wisdom).
"Masyarakat Indonesia sangat majemuk baik secara suku, etnis, maupun agama dan bahasa. Para pendiri bangsa sangat brilliant mengkonseptualisasikan Indonesia secara utuh dengan menciptakan 4 konsesnsus dasar negara archipelago yang mengacu pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Empat konsensus dasar negara ini yang secara filosofi dan ideologi mendasari praktik desentralisasi, otonomi daerah dan pilkada," kata Prof Zuhro.
Kebijakan desentralisasi/otda, kata Prof Zuhro semestinya mampu mendorong praktik pilkada yang berkualitas agar dampaknya positif terhadap tercapainya tujuan desentralisasi/otda (pelayanan publik yang berkualitas, terwujudnya good governance, dayang saing daerah dan kesejahteraan rakyat).
"Namun, bila pilkada-pilkada selama ini berlangsung tidak distortif, mengapa hasilnya tidak berbanding lurus dengan lahirnya pemimpin daerah yang mampu menciptakan tata-kelola pemerintahan yang baik? Mengapa pemda yang governability sulit terwujud? Mengapa banyak sekali OTT kepala daerah?" herannya.
Pilkada Luberjurdil
Prof Zuhro mengatakan ada 6 ukuran pilkada yang demokratis yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Untuk mewujudkan pilkada yang berkualitas, lanjutnya, perlu perbaikan sistem pilkada, tata kelola, dan penegakan hukum pilkada.
"Pilkada yang berkualitas dan berintegritas memerlukan tiga aspek yaitu terjaminnya akses informasi publik, hak konstitusional warga negara, dan penjagaan otentisitas suara rakyat. Sistem pilkada pada hakikatnya adalah mekanisme atau metode tertentu yang digunakan untuk mengubah suara menjadi dukungan konkrit terhadap kepala daerah," jelasnya.
Kelebihan Pilkada Melalui DPRD
Prof Zuhro menuturkan setiap sistem pilkada (baik sistem langsung maupun sistem pemilihan melalui DPRD) memiliki kelebihan dan kekurangan yang melekat pada dirinya masing-masing.
Kelebihan Pilkada melalui DPRD:
- Relatif tidak ada konflik.
- Lebih efisien karena tidak perlu anggaran logistik dan alat peraga kampanye dalam jumlah banyak, serta membayar honor penyelenggara.
- Politik relative lebih stabil karena prosesnya lebih terstruktur. Tidak banyak dinamika kampanye yang melibatkan massa.
- Polarisasi dan politisasi relatif berkurang. Pilkada langsung acapkali memunculkan polarisasi politik bahkan politisasi agama, suku/identitas. Pilkada via DPRD potensinya relatif berkurang.
Fokus pada Kompetensi. Calon kepada daerah yang dipilih lebih fokus pada kompetensi, pengalaman, rekam jejak. Bukan sekadar popularitas dan elektabilitas.
- Penguatan DPRD. Posisi DPRD relatif kuat berperan penting dalam menentukan arah kebijakan pemerintah daerah.
- Politik Uang Berkurang. Politik bagi-bagi uang, sembako akan berkurang. Tapi tak tertutup kemungkinan politik uangnya akan terjadi di kalangan DPRD.
- Lebih Efektif karena tidak memerlukan proses panjang seperti sosialisasi, kampanye, penyaluran logistik, hingga rekapitulasi suara berjenjang.
- Mengurangi Konflik. Pilkada melalui DPRD akan lebih cepat dan dapat mengurangi potensi konflik.
- Pemilihan Lebih Rasional. DPRD dapat lebih rasional dalam memilih kepala daerah berdasarkan kriteria yang lebih objektif dan terukur, seperti kemampuan mengelola anggaran dan pembangunan.
- Hubungan Eksekutif dan Legislatif Lebih Kuat. Pilkada melalui DPRD akan membuat pola relasi eksekutif dan DPRD lebih kuat dalam kerja sama.
Kekurangan Pilkada Melalui DPRD
- Tidak Demokratis. Pilkada melalui DPRD dinilai kurang demokratis, karena rakyat tidak bisa terlibat langsung menentukan pemimpinnya. Dalam demokrasi, rakyat punya hak suara dan hak itu tidak bisa digunakan jika sistem pilkada tidak langsung. Pilkada via DPRD elitis/top down.
- Partisipasi Publik Nihil. Pilkada melalui DPRD hanya melibatkan elite politik. Publik tidak bisa terlibat langsung dalam menentukan pilihan, sehingga rakyat bisa saja tidak akan puas dengan pilihan DPRD. Publik juga tidak leluasa terlibat dalam pembangunan, karena kepala daerah akan lebih berkompromi dengan partai pemilihnya ketimbang mendengar aspirasi rakyat.
- Korupsi dan Nepotisme Meningkat. Potensi korupsi dan nepotisme bisa jadi akan terbuka lebar jika pilkada melalui DPRD. Sebab, pemilihan akan cenderung melalui kesepakatan politik/suap-menyuap untuk memuluskan hasrat politik calon kepala daerah. Bisa saja calon kepala daerah akan jadi sapi perah oleh elite politik.
- Parpol Makin Berkuasa. Partai politik akan semakin berkuasa jika pilkada melalui DPRD. Mengapa? karena pemilihannya akan ditentukan oleh partai pemilik kursi terbanyak. Mereka akan cenderung memilih berdasarkan kepentingan politik kelompoknya, dan mengabaikan aspirasi rakyat.
- Politik Transaksional. Pilkada melalui DPRD akan menjadi ajang transaksi politik. Pemilihan kepala daerah akan lebih didasarkan pada kesepakatan antara partai atau kelompok, bukan pada kepentingan masyarakat.
Baca Juga: Peneliti BRIN: Pilgub Jakarta Masih Sangat Cair Sampai Kini!
- Kepala Daerah Tak Bertanggung Jawab ke Rakyat. Salah satu dampak negatif pilkada melalui DPRD adalah melahirkan kepala daerah yang tidak memiliki tanggung jawab terhadap rakyat, karena mereka tidak dipilih oleh rakyat. Kepala daerah akan cenderung tunduk kepada partai politik atau DPRD yang memilihnya ketimbang mengabdi kepada rakyat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
- Kepercayaan Publik Turun. Kepercayaan masyarakat terhadap kepala daerah yang dipilih DPRD akan menurun, karena mereka tidak punya kontrol langsung dalam proses pemilihan. Pemimpin yang terpilih akan dianggap hanya mewakili pemilihnya.
3 Catatan Penting
Menurut Prof Zuhro ada 3 catatan penting yang patut diperhatikan: Pertama, kondisi ketimpangan kelembagaan, bahwa struktur politik lokal di Indonesia belum benar-benar terpisah dari politik nasional. Usulan reformasi elektoral untuk pilkada muncul ketika kedua ranah politik itu sesungguhnya masih satu, di mana politik lokal tetap terintegrasi kedalam politik nasional, lengkap di dalamnya juga struktur psikologis ketergantungan para politisi lokal terhadap elit di Jakarta.
"Contoh par excellence di sini adalah kelembagaan partai politik. Kondisi buruk dalam kehidupan kepartaian adalah devolusi kewenangan dalam matra suprastruktur (yakni desentralisasi pemerintahan), yang tidak diikuti dengan desentralisasi kepartaian (infrastruktur)," tukasnya.
"Devolusi yang macet ini, dari segi institusional menyebabkan partai-partai di daerah tidak berubah dari statusnya sebagai cabang, dan secara fungsional hanya berperan sebagai replikasi kepentingan partai (elit) pusat. Devolusi yang macet itu juga menyebabkan pendirian partai lokal semakin tidak mudah," tambahnya.
Dalam konteks ini, lanjutnya, mengapa praktik pilkada langsung menjadi tidak mudah. Calon kepala daerah yang akan dipilih rakyat bisa jadi buknlah orang yang berasal dari bawah, di mana kemunculannya hanya mungkin melalui pencalonan partai di daerah, tapi merupakan titipan elit politik pusat sebagaimana pengalaman empirik selama ini.
Dengan demikian, katanya, pemilihan langsung oleh rakyat menjadi tak sepenuhnya bermakna, karena rakyat memilih calon yang tidak diproses melalui kelembagaan arus bawah partai.
Kedua, catatan penting tersebut menurutnya adalah dominasi/monopoli partai politik. Dominasi ini telah menutup akses masuk ke bursa pencalonan, dan hanya melalui partailah calon bisa dipromosikan. Hal ini seperti yang terjadi dalam pemilihan presiden (pilpres) langsung.
Sebagai usulan kelompok masyarakat, calon independen kurang memiliki peluang. Misalnya, bisa masuk atas perkenaan pengurus partai dan berproses melalui mekanisme suatu partai.
"Dominannya peran parpol telah mengurangi makna pilkada langsung itu sendiri. Distorsi makna pemilihan langsung dalam struktur dominasi partai membuat pilkada langsung tidak banyak manfaatnya, bahkan hasilnya atau dampaknya tak seperti yang dibayangkan," jelas Prof Zuhro.
Sistem pilkada, katanya, mencakup prosedur dan mekanisme penyelenggaraannya, tata-kelola pilkada dalam rangka menghasilkan pemerintahan yang efektif, demokrasi yang lebih substantif dan terkonsolidasi, yang stabil dan mendukung kinerja pemerintahan hasil pilkada.
Ketiga, catatan penting tersebut katanya adalah kondisi kapasitas pemilih dengan segala kompleksitasnya masih menjadi problem serius. Kapasitas pemilih ini terutama berkaitan dengan pertama, pengetahuan dan pengalaman mereka akan sistem ini.
"Sejauh ini, rakyat Indonesia belum cukup pengalaman akan sistem baru tersebut, kecuali dalam pilpres, dan pengalaman terbatas dalam pilkades (praktik pilkades itu sendiri tidaklah murni mencerminkan kemampuan pilihan langsung masyarakat karena kuatnya intervensi negara dalam perpolitikan desa)," katanya.
Prof Zuhro menuturkan, sebuah sistem pemilihan disebut baik/aplikatif, bukan karena bentuk formalnya (langsung atau perwakilan), tetapi karena ketepatan, kerterjangkauan dan kesesuainnya dengan kondisi obyektif politik dan masyarakat suatu negara.
"Keseriusan dan optimisme kita akan pilkada langsung, dan keyakinan bahwa itulah bentuk pemilihan yang baik, harus dibuktikan dengan membalikkan kondisi obyektif yang problematik tersebut menjadi sesuatu yang tepat, terjangkau dan sesuai dengan kepentingan pilkada," tandasnya.
Baca Juga: Siti Zuhro: Dukungan untuk Kaesang Sudah Bagus, Tapi Tak Punya Prestasi
Prof Zuhro menuturkan, pilihan atas format pilkada semestinya merupakan satu kesatuan rangkaian paket pilihan bersama-sama dengan sistem pemerintahan, sistem perwakilan, dan sistem kepartaian. Artinya, harus ada koherensi dan konsistensi antara pilihan atas sistem pemerintahan, sistem perwakilan, sistem pilkada, dan sistem kepartaian.
"Karena itu, pilihan atas format dan sistem pilkada semestinya bertolak dari kesepakatan tentang tujuan berpilkada itu sendiri, apakah lebih pada tujuan pertama yakni keterwakilan (representativeness) politik semua unsur, kelompok, dan golongan dalam masyarakat, atau lebih pada tujuan kedua yaitu menghasilkan pemerintah yang bisa memerintah (governable) atau yang populer disebut sebagai pemerintahan yang efektif," tukasnya.
Pentingnya Komitmen Elit
Menurut Prof Zuhro, distorsi politik acapkali mengintrusi tahapan pilkada sehingga pilkada menjadi tidak berkualitas. Rendahnya keseriusan dan komitmen para elit dan stakeholders terkait dalam menyukseskan pemilu yang berkualitas berpengaruh terhadap hasil pilkada.
"Adagium pokoke menang, perilaku menghalalkan semua cara, dan politik transaksional/vote buying membuat pilkada tak lagi dilandasi kualitas hukum dan penegakan hukum yang baik, menafikan etika politik sehingga membuat pilkada penuh distorsi, menyimpang dan melanggar peraturan," jelasnya.
Kalau ditarik ke tataran makro, katanya, Konstitusi Indonesia tidak cukup melembagakan proses seleksi pemimpin secara demokratis, tapi hanya mengatur prinsip-prinsip ketatanegaraan dan pemerintahan quasi presidensial yang bersifat umum. Konstitusi masih dipengaruhi oleh sistem kabinet parlementer pasca-Proklamasi.
"Perjalanan demokrasi terputus sejak 1958-1959 sehingga tradisi seleksi kepemimpinan belum melembaga. Dalam hal ini, para pemimpin Republik terpanggil dan terpilih melalui seleksi sejarah. Praktik sistem Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru menutup peluang lahirnya pemimpin secara normal karena menempatkan birokrasi, sipil dan militer sebagai satu-satunya sumber rekrutmen pemimpin (bureaucratic polity)," jelasnya.
Pertama, kata Prof Zuhro secara umum skema atau format pemilu (pileg, pilpres, dan pilkada) bukan hanya tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi, melainkan juga tidak melembagakan pemerintahan yang efektif dan sinergis (nasional-regional-lokal) serta pemerintah yang bersih dari korupsi dan perangkap penyalahgunaan kekuasaan.
"Format pemilu yang berlaku cenderung melembagakan pemerintahan hasil pemilu/pilkada yang tidak terkoreksi. Tidak mengherankan jika politik transaksional dalam pengertian negatif masih kental mewarnai relasi kekuasaan di antara berbagai aktor dan institusi demokrasi hasil pemilu/pilkada," tukasnya.
Kedua, format Pilkada tidak menjanjikan tampilnya kepala daerah yang kapabel sekaligus akuntabel. Hampir tidak ada perdebatan serius tentang agenda para calon pemimpin bagi masa depan daerah dan tentang arah dan strategi kebijakan seperti apa yang ditawarkan para kandidat kepala daerah dalam memajukan daerahnya, memberdayakan masyarakatnya dan pengelolaan sumbersumber atau potensi yang dimiliki daerah.
"Karena itu, untuk menentukan mekanisme pilkada yang tepat dan ideal untuk Indonesia harus mempertimbangkan banyak aspek seperti filosofi, teks dan konteks, teoretis, empiris dan sosiologis masyarakat Indonesia. Idealnya dan seharusnya kita menerapkan sistem yang tidak membuat kita semua merasa tercerabut dari akarnya. Sistem yang bisa terasakan dan membumi serta mendapatkan dukungan sampai ke aras lokal," tandasnya.
"Bagaimana model alternatif skema atau format pilkada yang tepat bagi demokrasi lokal (terkait pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah) yang menjanjikan terbentuknya pemerintahan daerah yang stabil, sinergis dan efektif?" tambahnya.
Desain/mekanisme dan praktik pilkada, kata Prof Zuhro, harus mempertimbangkan implikasinya terhadap daerah, masyarakat dan keutuhan negara serta persatuan Indonesia. Artinya, mekanisme pilkada yang ditetapkan semestinya mampu menghasilkan pemimpin yang amanah dan tidak menyimpang atau melanggar hukum.
"Reformasi institusional seperti apa yang dapat direkomendasikan kepada pemerintah, DPR, partai politik, dan pemangku kepentingan tentang desain format pilkada ke depan? Apakah pilkada langsung/serentak masih relevan dan signifikan untuk daerah/Indonesia atau pilkada via DPRD yang diperbaiki yang lebih prospektif dan bermanfaat bagi daerah?" tuturnya.
"Daerah-daerah saat ini hanya membutuhkan pilkada yang berkualitas, berkeadaban dan berintegritas yang mampu menghasilkan pemimpin yang inovatif, berkarakter dan negarawan lokal yang mampu memajukan dan menyejahterakan rakyat," pungkasnya.
Editor : Pahlevi