Menafsir Makna Filosofi Karakter Muslim Berkemajuan KH. Ahmad Dahlan (1)

Reporter : optikaid
Menafsir Makna Filosofi Karakter Muslim Berkemajuan KH. Ahmad Dahlan (1)

[caption id="attachment_12269" align="alignnone" width="184"] Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I Sekdir Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Surabaya & Pengasuh Pesantren Bumi Al Quran Grand Masangan Sidoarjo[/caption]

KH.Ahamad Dahlan merupakan pendiri sekaligus Imam bagi jama'ah Muhammadiyah. Keberhasilan dakwah Muhammadiyah hari ini tidak lepas dari hasil tirakat, kegigihan, keikhlasan dan ketawadhuan KH.Ahmad Dahlan dalam membangun Muhammadiyah. Banyak ajaran ada nilai-nilai filosofi ajaran yang dapat kita pelajari dari KH. Ahmad Dahlan, diantaranya 17 Karakter Islam Berkemajuan.

Baca juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam

Maka tulisan ini mencoba menafsirkan makna filosofis dari 17 karakter Muslim berkemajuan KH. Ahmad Dahlan secara sosiologi-fenomenologi.

Pertama, Ningrat tapi merakyat.

Menurut Clifford Geertz membagi masyarakat jawa menjadi 3 bagian, yaitu abangan, santri dan priyayi. Menurutnya orang jawa sendiri membedakan empat tingkat sosial sebagai stratifikasi status; yaitu "dhara" (bangsawan/ningrat), priyayi (birokrat), wong dagang atau saudagar (pedagang) dan wong cilik (orang/rakyat kecil).

Stratifikasi di atas berdampak pada privilese dan perlakuan yang berbeda di masyarakat. Dimana posisi ningrat selalu diposisikan untuk dilayani, mendapatkan fasilitas mewah, relasi sosial terbatas dengan rakyat dan cenderung memandang posisi rakyat/orang kecil dengan sebelah mata (rendah). Karakter di atas tidaklah mencerminkan sikap Muslim merkemajuan.

Muslim berkemajuan mengakui perbedaan identitas sosio-kultur yang ada di masyarakat, perbedaan identitas tidak dijadikan standart perbedaan dalam pergaulan sosio-kultur di masyarakat. Sehingga, walaupun status sosialnya masuk katagori ningrat tetapi sikap sosialnya mau bersanding dan membuka diri dengan kelompok lain terutama dengan rakyat atau orang kecil tanpa melihat status sosialnya.

Mereka memahami bahwa perbedaan identitas dan status sosial tidak penting, karena bagi mereka yang dilihat atau diukur oleh Allah SWT adalah kualitas akhlaq manusia bukan identitas fisik atau sosialnya. Sebagaimana dalam QS. Al Hujurat: 13:


Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengetahui".

Kedua, Puritan tapi inklusif.

Puritan atau lebih tepatnya Kaum Puritan dari Inggris pada abad ke-16 dan 17 adalah kumpulan sejumlah kelompok keagamaan yang memperjuangkan "kemurnian" doktrin dan tata cara peribadatan, begitu juga kesalehan perseorangan dan jemaat.

Dalam konteks Islam makna puritan (tanzih) adalah memposisikan Islam sebagai kerangka normatif ajaran yang transenden, baku, tak berubah dan kekal. Bangunan hukum dan ajarannya harus merujuk pada teks yang termaktub dalam Kitab Suci dan Sunnah Nabi saw.

Dalam prakteknya ideologi puritan cenderung menampilkan sikap keagamaan yang kaku, susah menerima keberadaan orang lain, justifikasi sepihak dan terkadang intoleran. Sikap tersebut dipengaruhi oleh cara pandang terkait pemahaman keagamaan secara tekstual dan dianggap sudah final, baku dan kekal. Sehingga jika ada pemahaman keagamaan yang lain dan berbeda dianggap sesat atau kafir yang boleh diskriminasi atau dibully.

Dampak pandangan tersebut cenderung menampilkan sikap sosial keagamaan tertutup atau eksklusif. Secara umum eksklusif adalah sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan pikiran dan diri islam sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip yang dianut agama lain salah, sesat dan harus dijauhi.
Karakter tersebut tidak mencerminkan Muslim berkemajuan.

Karakter Muslim berkemajuan, memaknai puritan secara positif dengan tetap menampilkan sikap sosial keagamaan Islam yang inklusif. Islam Inklusif adalah islam yang bersifat terbuka. Islam Inklusif muncul tanpa mengahapus nilai kebenaran atau nilai-nilai yang terkandung dalam agama lain. Islam inklusif juga menunjukkan bahwa tidak ada penyeragaman dan paksaan terhadap agama lain entah dari segi keyakinan ataupun cara beribadah mereka.

Artinya secara theologi-syariah Muslim berkemajuan, memahami puritan adalah berusaha secara maksimal menerapkan ajaran Islam (beribadah) berdasarkan sumber otentik Al Qur'an-hadis. Sangat ketat menyeleksi (proses tanjih) sumber beribadah harus dari Al Qur'an dan hadis, jika tidak ada sumber tersebut mereka tidak akan melakukan.

Baca juga: Charles Martel, Membendung Ekspansi Islam ke Eropa Barat

Namun secara sosiologis, muslim berkemajuan yang memegang ideologi puritan sangat terbuka (inklusif), mau bekerjasama, mau menerima keberadaan orang lain yang berbeda seca suku, ras, agama dan golongan. Sehingga terbangun sikap yang saling menghargai dan menghormati antar sesama walau berbeda.

Ketiga, Kritis tapi konstruktif.

Karakter muslim berkemajuan adalah kritis tapi konstruktif. Artinya mereka tidak apatis atau cuek, tetapi selalu peduli terhadap persoalan, terutama jika ada ketidakadilan yang menimpa pada masyarakat.

Kepedulian tersebut diwujudkan dengan memberikan masukan atau kritik secara konstruktif terhadap persoalan terutama terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan publik di masyarakat.

Muslim berkemajuan tidak berhenti hanya kritik atau hanya "nyiyir" atas kebijakan atau persoalan yang ada. Tetapi juga membantu memberikan solusi konstruktif terhadap persoalan yang terjadi.

Misal persoalan kebodohan, Muslim Berkemajuan tidak hanya kritik pemerintah, tetapi ikut memberikan solusi konstruktif dengan ikut mendirikan lembaga pendidikan mulai tingkat dasar (TK/SD) hingga Perguruan Tinggi (PTM) dalam rangka mencerdaskan anak bangsa Indonesia.

Keempat, Priyayi tapi melayani.

Dalam struktur sosial masyarakat Jawa dikenal dengan hirarki sosial, ada kelompok bangsawan, priyayi, abdi dalem dan rakyat jelata. Posisi tersebut berdampak terhadap relasi pergaulan, previless dan akses sosial. Dari struktur sosial di atas, kelompok yang paling diposisikan tinggi adalah priyayi.

Baca juga: Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

Priayi adalah istilah dalam kebudayaan Jawa untuk kelas sosial dalam golongan bangsawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, priayi adalah orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat, misalnya golongan pegawai negeri.

Dampak dari status dan posisi tersebut, menjadikan kebiasaan di masyarakat posisi priyayi selalu diposisikan atas untuk dilayani dan dihormati oleh abdi dalem atau rakyat jelata. Karakter tersebut bukan sikap Muslim Berkemajuan.

Karakter Muslim berkemajuan tidak mengenal pembedaan berdasarkan kasta sosial tersebut. Muslim berkemajuan berpandangan pada hakekatnya semua manusia sama, yaitu sama makhluk cipta Allah dan berstatus hamba. Sehingga walaupun pada struktur sosial mereka dimasukan pada struktur priyayi (PNS) tetapi mereka selalu melayani bukan minta dilayani.

Karakter ini yang menjadikan dakwah Muhammadiyah dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, yaitu melayani. Walaupun secara umum anggota Muhammadiyah banyak dari kalangan priyayi (PNS), mereka PNS tapi berjiwa mubaligh yang iap melayani kebutuhan dakwah Islam, sehingga mereka egaliter dan terbuka.

Bersambung......

*Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Sabtu, 14 Sep 2024 18:18 WIB
Jumat, 13 Sep 2024 08:24 WIB
Senin, 16 Sep 2024 11:12 WIB
Berita Terbaru