Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Jumat, 23 Jun 2023 14:21 WIB

Politik Stigma Belanda: Tarekat dan Stigma Gila

Optika.id - Siswa sekolah menengah atas mungkin hanya mengenal politik pecah belah atau adu domba (Devide et Impera). Namun, mereka tidak pernah tahu politik stigma Belanda. Padahal dampak politik stigma lebih mengerikan daripada Devide et Impera.

Baca Juga: Naipaul, Gusdur, dan Bagaimana Barat Memandang Islam?

Politik stigma bertujuan menghancurkan citra musuh melalui media lisan. Para Orientalis Belanda pasti memahami strategi ini lebih ampuh, karena tradisi lisan sangat kental. Stigma akan terwarisi secara turun-temurun dan menjadi wacana polemik. Dalam ajaran Islam sebagaimana disebut dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 191, politik stigma merupakan bentuk pelanggaran moral yang kejam. Muslim menyebut politik stigma sebagai fitnah. Dalam al-Quran memaparkan bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan.

Sisa-sisa politik stigma Belanda terhadap tarekat masih bertahan sampai sekarang.

Hal itu juga dialami oleh Firman, warga lokal Sidoarjo. Sejak menempuh sekolah menengah atas, dirinya telah menjadi pengikut tarekat terbesar di Indonesia, yakni tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah.

Suatu hari, dirinya mengajak orang tua, saudara dan tetangga untuk bergabung dalam tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah. Kendati dia sudah merasa dan tahu pasti mereka tawaran itu, namun alasan menolak bergabung dengan tarekat membuatnya kaget.

Mereka tidak mau ikut tarekat karena khawatir menjadi gendeng (gila). Saya langsung bingung, jika benar begitu, mengapa samapai sekarang saya belum gila? ujarnya, Kamis (22/6/2023).

Tarekat

Menurut Mustafa Zahri dalam buku Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqat yang berarti jalan. Sementara itu, Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat mendefinisikan sebagai sistem meditasi dalam bentuk ritual keagamaan yang menghubungkan dengan para guru sufi.

Pengertian tarekat dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti jalan menuju kebenaran yang mengacu pada aliran keagamaan tasawuf. Mereka yang mengamalkan ilmu tasawuf disebut sufi. Tarekat sebagai jalan, cara atau metode seorang sufi menuju pencapaian spiritual tertinggi. Seorang sufi selalu berusaha mensucikan hati melalui intensifikasi Dzikr.

Kebutuhan interaksi antara guru dan murid serta interaksi antar anggota tarekat melandasi terbentuknya sebuah institusi sosial-keagamaan. Selain itu, doktrin-doktrin mengenai keampuhan intensifikasi Dzikr secara bersama-sama daripada perseorangan menambah urgensi sebuah institusi sosial-keagamaan.

Tarekat merupakan organisasi yang menjunjung tinggi ketaatan dan kepatuhan mutlak. J. Spencer Trimingham dalam buku The Sufi Order in Islami menyebut jika bentuk ketaatan dan kepatuhan para murid atau anggota tarekat terhadap guru atau mursyid tarekat tergolong fanatisme. Hal ini menjelaskan pola dinamika dan otoritas tarekat yang cenderung top-down dengan ketergantungan penuh pada kepemimpinan mursyid tarekat.

Sufi dan tarekat merupakan bagian dari sejarah Nusantara. Sarjana-sarjana Belanda mengemukakan berbagai teori-teori kedatangan Islam. Namun, peran penting terhadap penyebaran agama Islam baru disinggung belakangan.

A.H.Johns dalam tulisannya, Sufism as Categoryin Indonesian Literatuer and History menilai ulang teori-teori kedatangan Islam dan mencoba memakai sumber lokal. Menurutnya, pelaku penyebaran Islam di Nusantara adalah kalangan sufi pengembara yang mendirikan institusi-institusi berupa madrasah, tarekat sufi, futuwwah (persatuan pemuda) dan kelompok-kelompok pedagang dagang dan kerajinan tangan.

Salah satu penyebab keberhasilan tarekat adalah kedekataan sufisme dengan unsur-unsur kebudayaan pra-Islam. Penguasaan ilmu magis dan kekuatan penyembuan bisa disebut sebagai karomah, inilah legitimasi religius paling ampuh dalam upaya membentuk ketaatan dan kepatuhan orang-orang Jawa.

Tarekat dalam Sudut Pandang Pemerintah Kolonial Belanda

Awal Abad ke 19, kaum Padri yang fanatik agama membuat onar dengan menyerang kaum abangan yang mempertahankan adat istiadat setempat. Penolakan kebiasaan buruk apapun yang melanggar syariat Islam adalah penyebab Perang padri. Namun, pendapat Geertz dinilai terlalu sederhana oleh sejarahwan Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII karena menurutnya kompoltan penegak agama tersebut merupakan bentuk pembaruhan ekstrem sebab-akibat dari jaringan ulama.

Apabila dilacak lebih jauh lagi akar perang Padri bukanlah sekedar karena kepulangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah yang menanamkan kebencian luar biasa terhadap para penyimpang syariat agama.

Baca Juga: Muhammad Ibn Abdullah dan Kebangkitan Arab-Islam

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, bila ditelusuri lebih mendalam akar Perang Padri ialah pengaruh jaringan Abd al Rauf al Sinkili yang mengadakan pembaruan pada titik titik krusial di dua kota suci umat Islam dan pemutusan jaringan ulama Timur Tengah oleh Gerakan Wahabi yang disokong oleh Imperialisme Barat.

Semua gerakan protes yang memberikan perlawanan selalu berorientasi keagamaaan. Pemerintah kolonial Belanda menganggap ulama sebagai penyebar sentimen anti-kolonial dalam bentuk ideologi-jihad.

Penyelidikan Snouck Hurgronje mengenai komunitas Jawi di Mekkah menambahkan bukti kecurigaan pemerintah kolonial Belanda, ia menyimpulkan ancaman pemberontakan berasal dari ulama-ulama yang terhimpun dalam jaringan tarekat-tarekat. Petani tidak mungkin melakukan perlawanan secara terang-terangan, pasti terdapat faktor pendorong yang merubah sikap petani.

William R. Roff dalam South East Asian Islamic in the Nineteenth Century menjawab faktor pendorong pelawanan petani adalah ulama bergelar haji sehingga selama abad ke-19 banyak terjadi gerakan-gerakan protes di pedesaan-pedesaan. Harry J. Benda dan Robert R.Jay sepakat dengan William R. Roff karena sejarah petani Jawa sangat kental nuasa agama dan politik.

Sartono Kartodirjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 menjelaskan bahwa kebangkitan tarekat-tarekat merupakan penyebab utama pemberontakan petani.

Pemimpin kharismatik, pengikut-pengikut militan, pencarian anggota baru yang masif dengan sistem pengkaderan ideologi yang memikat merupakan unsur-unsur suatu gerakan revolusioner yang melahirkan pemberontakan petani. Pemberontakan petani Banten bukan akhir dari gerakan protes berorientasi keagamaan. Serangkaian gerakan protes masih berlanjut bahkan hingga periode akhir kekuasaan kolonial Belanda.

Stigma Gendeng Terhadap Tarekat

Stigma adalah suatu label untuk sekelompok orang tertentu yang kurang patut dihormati daripada yang lain. Masyarakat mempunyai persepsi negatif terhadap kegilaan. Orang gila dianggap sebagai orang yang mengalami gangguan jiwa.

Baca Juga: Sosiolog UGM: Stigma Memperburuk Penanganan Gangguan Kesehatan Mental

Masyarakat memandang penderita gangguan jiwa atau gila (gendeng) sebagai suatu masalah negatif yang mengancam. Stigma gila dapat menjebloskan korban dalam hukuman kejam dan tidak manusiawi, pengucilan.

lt;/p>

Pemerintah kolonial Belanda mengadopsi siasat licik politik stigma gila ini sebagaimana mengadopsi politik Devide et Impera. Politik stigma gila bertujuan untuk mengurangi dan mencegah peningkatan pengikut tarekat sebagai antisipasi pembentukan kekuatan yang berpotensi memberontak.

Politik stigma gila dilakukan dengan penyebaran isu-isu negatif. Isu-isu negatif terhadap tarekat secara langsung dibenturkan dengan kenyataan lapangan. Para orientalis-orientalis Belanda mengusulkan politik stigma gila ini berdasarkan penelitian yang sepenuhnya belum mereka pahami. Orientalis Belanda mengamati ritual keagamaan (dzikr) tarekat-tarekat dan tanpa sengaja menjumpai fenomena yang dalam tradisi sufisme disebut fana.

Abu Yazid al-Bustami merupakan sufi yang pertama kali mengenalkan konsep fana. Fana secara bahasa berarti hancur, lenyap, hilang atau sirna. Fana mengisyaratkan sirna atau lenyapnya sifat-sifat tercela.

Seorang sufi yang memasuki alamfana akan mengucapkan ungkapan-ungkapan aneh dan bertindak seperti orang gila. Seorang sufi tersbut akan kehilangan kesadaran dirinya dan ingatan-ingatan duniawi lainnya seolah-olah meninggalkan sepenuhnya kepentingan dunia untuk mengabadikan diri kepada Tuhan.

Fenomena fana ini merupakan senjata paling ampuh untuk merealisasikan politik stigma gila. Oleh sebab itu, pemerintah kolonial Belanda menyebarkan isu-isu negatif bahwa jika mengikuti tarekat, maka harus melakukan ritual keagamaan yang sesat. Ritual kegamaan tarekat sesat atas bukti adanya fenomena fana yang diterjemahkan sebagai gangguan jiwa atau gila.

Stigma gila terhadap pengikut tarekat merupakan cara pemerintah kolonial Belanda mengatasi berbagai gerakan protes. Pemerintah kolonial Belanda memakai politik stigma tanpa pertimbangan dampak di masa depan. Apalagi tradisi lisan sebagai sarana politik stigma sangat kental di kalangan masyarakat Indonesia.

Politik stigma gila mengakibatkan citra tarekat menjadi buruk. Stigma gila itu akan abadi dalam ingatan kolektif masyarakat karena terwarisi secara turun temurun. Oleh karena itu, sosialisasi tentang fana kepada masyarakat menjadi penting agar bisa mengantisipasi beragam isu-isu negatif.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU