Persahabatan Sudirman - Tan Malaka

Reporter : optikaid
Persahabatan Sudirman - Tan Malaka

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="151"] Ruby Kay[/caption]

Mayoritas bangsa ini hanya mengenal nama Soekarno - Hatta. Padahal ada Sudirman - Tan Malaka yang pamornya diera awal kemerdekaan tak kalah dengan dwitunggal proklamator.

Baca juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa

Pasca kemerdekaan Indonesia tanggal 17 agustus 1945, terjadi perbedaan persepsi diantara founding fathers dalam menyikapi arah perjuangan bangsa Indonesia. Soekarno-Hatta lebih mengedepankan cara diplomasi dengan Belanda, sedangkan Sudirman-Tan Malaka adalah pemuda yang berpikiran radikal progresif revolusioner.

Jenderal Sudirman berkata lantang, "lebih baik dibom atom daripada tak merdeka 100%"

Tan Malaka berucap tegas, "tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya"

Keras, bahkan bisa dikatakan radikal. Ucapan keduanya itu seakan menohok Soekarno-Hatta yang kala itu lebih suka bernegosiasi dengan Belanda. Sedangkan Sudirman-Tan Malaka melihat bahwa perundingan Linggarjati (25 maret 1947) maupun Renville (17 januari 1948) malah banyak merugikan Indonesia.

Sudirman maupun Tan Malaka memiliki banyak kesamaan. Keduanya pernah berprofesi sebagai guru. Sudirman pernah mengajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Muhammadiyah, Cilacap. Sedangkan Tan Malaka sepulangnya dari Belanda mengajar anak-anak buruh diperkebunan teh dan tembakau di Sanembah, Sumatera Utara. Tahunan profesi itu mereka geluti diera kolonial, hingga kesamaan visi dalam melawan tirani mempertemukan keduanya.

Sudirman punya akar keislaman yang kuat, tumbuh besar dengan prinsip dan ajaran kemandirian yang menjadi motto Muhammadiyah. Sedangkan Tan Malaka seorang komunis tulen. Putra kelahiran Sumatera Barat itu kala menuntut ilmu di negeri Belanda sangat terpengaruh dengan ajaran marxisme. Tahun 1925, Tan Malaka menerbitkan buah pemikirannya dalam buku berjudul "Naar De Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia)". Buku itu kemudian dibaca luas oleh kalangan pemuda dan pemudi di tanah air. Bukan tidak mungkin, karena buku itulah akhirnya lahir sumpah pemuda tahun 1928. Dan konsep Republik Indonesia yang dicetuskan Tan Malaka itu akhirnya dipakai hingga saat ini.

Baca juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel

Sudirman dan Tan Malaka seorang radikalis dimata Belanda. Sudirman walau telah digerogoti penyakit tuberculosis sama sekali tak mau berkompromi dengan penjajah. Ia tetap memimpin TKR (Tentara Keamanan Rakyat) melakukan gerilya, menyerang pos-pos militer tentara Belanda yang pasca proklamasi kemerdekaan masih ogah-ogahan untuk angkat kaki dari Indonesia. Tan Malaka sama saja kelakuannya dengan Sudirman. kesana kemari ia mengobarkan semangat perlawanan, menghimpun para pemuda dalam rapat-rapat rahasia untuk terus melakukan pemberontakan. Ia bahkan tak segan menuding Soekarno-Hatta sebagai pengecut karena mau duduk satu meja dengan Belanda.

Sudirman akhirnya wafat pada tanggal 29 januari 1950 diusia 34 tahun. Setelah berbulan-bulan masuk hutan memimpin perlawanan, ia mesti mengalah dengan penyakit TBC. Hidup Tan Malaka sendiri mesti berakhir tragis. 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Perintah eksekusi itu datang dari Letda Soekotjo yang notabene anak buah Jenderal Sudirman.

Apakah perintah eksekusi itu datang dari Jenderal Sudirman? Para pakar sejarah meragukan hal itu. Sudirman tak pernah membenci Tan Malaka walau tahu kalau sahabat karibnya itu seorang komunis sejati. Hingga kini masih berdiri sebuah rumah dipinggir jalan raya Patikraja - Purwokerto. Terdapat kursi dan meja makan antik yang jadi saksi bisu diskusi antara Sudirman dan Tan Malaka. Di meja makan itulah keduanya sering mengecam kebijakan Soekarno-Hatta yang dinilai terlalu lunak dengan Belanda.

"Lebih baik mati karena dibom daripada harus berunding dengan penjajah. Karena tuan rumah takkan mau bernegosiasi dengan maling yang menjarah rumahnya"

Baca juga: Seberapa Serius Pemerintah Tangani Korban HAM 1965?

Kalimat diatas lahir dari sinergi pemikiran antara tokoh Islam yang taat menjalankan syariat dengan seorang komunis garis keras.

Ruby Kay

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru