Seberapa Serius Pemerintah Tangani Korban HAM 1965?

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Kamis, 28 Sep 2023 11:33 WIB

Seberapa Serius Pemerintah Tangani Korban HAM 1965?

Optika.id - Peristiwa pembantaian 6 jenderal dan 1 perwira tinggi di Lubang Buaya, Jakarta pada malam 30 September 1965 menyisakan duka tersendiri bagi keluarga dan bangsa. Pasca peristiwa itu, arus perpolitikan dan sosial di Indonesia pun berubah. Suharto yang naik tahta menjadi presiden kemudian memerintahkan sipil dan militer untuk melegalkan pemburuan terhadap mereka yang terafiliasi dengan peristiwa 65. Dari aktivis, hingga rakyat biasa yang tak tahu apa-apa.

Peristiwa 65 tersebut digambarkan oleh Geoffrey Robinson dalam bukunya yang berjudul Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, saat itu, masyarakat biasa yang rata-rata tak tahu apa-apa dibunuh oleh militer maupun ormas. Mereka dibunuh dibarak, di jalanan, dan jasadnya dibuang di sungai-sungai. Tak hanya pembunuhan saja, tahun-tahun rawan saat itu diwarnai dengan penculikan aktivis dan masyarakat yang vocal menentang rezim yang berkuasa. Hingga saat ini, mereka yang hilang tidak pernah kembali.

Baca Juga: Maulid Nabi Ternyata Bukan Syiah yang Mengawalinya

Pemerintah Indonesia sendiri, di era Joko Widodo (Jokowi) berkomitmen untuk menyelesaikan masalah hak asasi manusia (HAM) tersebut, khususnya kasus HAM 65.

Namun, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur justru melihat adanya masalah yang terletak bukan pada penyelesaian secara yudisial maupun non yudisial. Dirinya justru mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam penyelesaian kasus HAM 65.

Isnur meminta kepada pemerintah yang berniat menyelesaikan kasus HAM 65, maka harus berbasis kebenaran menjadi prioritas sebelum mengambil langkah penyelesaian.

Yang perlu ditanyakan adalah seriuskan pemerintah punya niat menyelesaikan masalah ini? Itu dulu. Kalau memang serius, maka banyak sekali langkah-langkah yang bisa dilakukan, tapi yang terpenting adalah adanya pengungkapan kebenaran. Itu dulu, kata Isnur, dalam keterangan tertulisnya dikutip Optika.id, Rabu (27/9/2023).

Upaya rehabilitasi hingga rekonsiliasi menurut Isnur belum bisa dilakukan apabila pengungkapan kebenaran itu sendiri masih belum berjalan. dirinya menilai, tanpa adanya realita kasus tersebut publik akan gelap dalam insiden 65.

Indonesia pun bisa mencontoh bagaimana upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Australia kepada Suku Aborigin yang merupakan suku asli negara itu. Dalam prosesnya, Australia mengakui keberadaan warga Aborigin meskipun belum optimal. Namun, upaya tersebut ditempuh dalam langkah rekonsiliasi.

Baca Juga: Komnas HAM Harap Kekerasan yang di Papua Harus Dievaluasi

Jadi, imbuh Isnur, yang harus dilakukan pertama kali adalah mengungkapkan kebenaran terlebih dahulu. Pengungkapan itu mencakup apa yang terjadi, siapa yang bersalah, tindakannya seperti apa dan korban yang hilang kemana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari situ kemudian bisa dipilah perbuatan apa, tindakannya apa. Kalau orang-orang yang sudah mati, pelakunya, nggak mungkin disidangkan, tapi kalau orang-orang masih hidup dan bisa dilakukan penyidikan, ya selidiki lebih lanjut. Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan, ucap Isnur.

Komnas HAM sendiri dalam ranah yudisial telah menyerahkan kembali berkas kasus HAM 65 kepada Kejaksaan Agung pada tahun 2018 silam usai beebrapa kali ditolak. Kala itu, penolakan tersebut didasari atas berkas perkara HAM 65 yang belum ada kejelasan padahal para korban dan saksi sudah termakan oleh usia. Sejak saat itulah berkas perkara HAM 65 mandek di tengah harapan mereka agar ada pemulihan hak korban.

Apa pemulihannya? Kalau misalnya ada perampasan lahan, kalau misalnya ada perusakan rumah, pengambilan rumah, kembalikan semua asetnya yang sebagian sudah jadi markas tentara. Kembalikan semuanya. Yang sedang sakit, yang sedang dalam pengobatan, semua ditanggung negara. Itu namanya rehabilitasi, pemulihan semua, ujar Isnur.

Baca Juga: Anak Korban Bullying Wajib Diberi Pendampingan

Oleh sebab itu, dirinya berharap agar langkah konkrit pemerintah bisa terbukti misalnya tidak hanya berkomitmen untuk melakukan rehabilitasi saja, melainkan juga mengubah kebijakan dengan memberikan hak afirmasi dan menindak hukum pelaku yang masih hidup. Selain pemulihan baik psikis maupun nama, pemerintah juga harus memperbaiki sejarah yang sudah diputar arah selama bertahun-tahun. Untuk melakukan hal tersebut, diperlukan upaya kebenaran dan rekonsiliasi.

Tidak satu jalan pengadilan tok. Itu gak begitu pendekatannya. Harus holistik, pendekatan komprehensif. Korban dipulihkan seluruh haknya, aset-aset yang bisa dikembalikan, ada perubahan sejarah pengakuan kebenaran, pengungkapan tentang apa yang terjadi, ungkapnya.

Kendati masih mempertanyakan komitmen pemerintah, Isnur menilai bahwa pemerintah sudah berupaya melakukan rekonsiliasi melalui aksi Simposium 65 yang malah mati karena ada forum tandingan para purnawirawan. Alhasil, kini permasalahan HAM 65 hanya bisa diselesaikan oleh niat dan keinginan yang kuat dari presiden saja, selain sekadar membentuk tim penyelesaian HAM berat secara non yudisial.

Kalau Jokowi-nya serius, dia dengan segala kekuatan, dengan segala mandate, dia harus berani. Mesti berani dia. Bukannya dia panglima tertinggi tentara Indonesia, bukannya dia juga atasannya kapolri? Harusnya dia berani melakukan banyak hal, pungkasnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU