Optika.id - Permasalahan judi online di Indonesia tidak bisa dipandang remeh. Selain efeknya yang negatif dan menghancurkan segala bidang, judi online juga membuat kemiskinan structural makin meningkat serta kecanduan yang sulit dilepaskan.
Beberapa waktu yang lalu, pemerintah mengklaim telah mengeksekusi terminasi sebanyak 392.652 konten perjudian di ruang digital.
Baca Juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?
Kemenkominfo sendiri menemukan dan menghapus sekitar 161 ribu iklan judi online di media sosial oleh penyedia layanan seperti Meta, dan lain-lain. tak berhenti di sana, Menkominfo bahkan menyebut perputaran uang judi online di Indonesia bisa mencapai Rp350 triliun yang sebagian di antaranya menyasar masyarakat kalangan bawah.
Sebenarnya, sejak kapan judi ini muncul dan berkembang hingga saat ini?
Judi sejatinya telah menjadi praktik illegal di sepanjang kehidupan manusia. Hal ini bisa dilihat dalam Kitab Mahabharata yang mengisahkan awal mula perang Baratayudha dan runtuhnya kerajaan besar hanya karena judi. Pandawa saat itu kehilangan kerajaan, dipermalukan habis-habisan di ruang sidang istana, dan kemudian dibuang ke hutan selama 13 tahun lantaran kalah dalam permainan judi melawan Kurawan, sepupu mereka sendiri.
Tak hanya itu, masyarakat Indonesia juga gemar melakukan permainan judi tradisional seperti sabung ayam. Mirisnya, kegiatan sabung ayam ini sudah dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh kolonialisme Belanda. Dalam kisah rakyat sendiri, disebutkan bahwa sabung ayam digemari oleh keluarga kerajaan dan rakyat bawah seperti yang dikisahkan dalam legenda Ciung Wanara dari Tatar Sunda, Cindelaras dari Jawa Timur hingga Karapan Sapi di Madura.
Kemudian, ketika VOC muncul dan menguasai wilayah Hindia Belanda (Indonesia saat ini), mereka mulai memberi izin kepada para Kapitan Tionghoa untuk membuka rumah judi sejak tahun 1620 agar mereka memperoleh penghasilan pajak yang tinggi dari pengelola rumah-rumah judi tersebut. Rumah judi itu bisa berada di dalam ataupun di luar benteng Kota Batavia.
Apabila ditilik secara historis, judi ini masih berkutat dalam kegiatan yang cukup sederhana misalnya adu tarung hewan, termasuk sabung ayam, atau aktivitas olahraga seperti pertandingan sepakbola, voli, pacuan kuda dan lain-lain mulai dari tingkat tarkam (kampung) hingga dunia. Taruhan-taruhan semacam itu tidak bisa dihindari. Pun ada pertaruhan atau judi dalam bentuk lotre yang dikenal dengan lotre buntut yang disebut Toto Raga di Bandung.
Kemudian pada era Orde Lama ketika Soekarno menjadi presiden, dia mengeluarkan Keppres Nomor 113 tahun 1965 untuk memberangus judi. Beleid tersebut menyatakan lotre buntut bisa merusak moral bangsa dan masuk ke dalam kategori subversi.
Baca Juga: Bendahara KPPS Ditangkap, Habiskan Uang Honor untuk Judi Online
Hal itu berubah ketika era Orde Baru. Soeharto malah melegalkan judi dengan cara memperhalus istilah lotre menjadi kupon. Pelegalan judi itu berada di bawah pengawasan Departemen Sosial (Depsos).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai upaya memperhalus istilah dan melegalkannya, pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Dana Bakti Sosial Berhadiah (YDBKS) yang kupon sumbangannya diberi nama Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSBB). Adapun kegiatan undian berhadiah ini berlangsung selama sembilan tahun yakni sejak 1979 hingga 1988.
Kemudian pada saat yang sama pemerintah menyelenggarakan kupon Pekan Olahraga dan Ketangkasan (Porkas) hingga Sumbangan Olahraga (KSOB). Kupon Porkas Sepakbola pun diresmikan pada 28 Desember 1985. Adapun pembuatan Porkas Sepakbola ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 154 tentang Undian.
Tujuan dari Porkas ini adalah untuk menghimpun dana dari masyarakat yang diklaim untuk menunjang pembinaan serta pembangunan prestasi olahraga Indonesia. Dari menyelenggarakan undian ini, pemerintah tergolong mendapatkan untung yang banyak dari masyarakat.
Baca Juga: Mengapa Judi Online Masih Digemari?
Pemerintah berhasil menjual empat juta lembar TSSB selama kebijakan tersebut berlangsung. Omzet yang didapatkan dari TSSB per tahunnya ditaksir mencapai angka Rp1 triliun. Dana masyarakat yang terserap dari undian ini pun mencapai Rp962,4 miliar. Sementara itu, sebanyak Rp2,55 miliar dari dana itu didistribusikan untuk bantuan sosial.
Tak hanya untuk bantuan sosial, sebesar Rp2,95 miliar rupiah dari keuntungan TSSB ini digunakan pemerintah untuk sumbangan pendidikan dan kebudayaan, agama dan kerohanian, kesehatan dan kegiatan masyarakat, panti wreda, serta kegiatan sosial lainnya.
Keberadaan KSOB dalam perjalanannya ini terbilang cukup singkat. Pasalnya, baik KSOB dan TSSB ini kemudian digantikan oleh SDSB yang diperkuat dengan Keputusan Menteri Sosial RI No. 21 / BSS / XII / 1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah serta Keputusan Menteri Sosial RI No. BSS 16 - 11 / 88 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial di Jakarta 19. Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 21/BSS/XII/1988 tentang ketentuan pengedaran SDSB.
Editor : Pahlevi