Optika.id Dalam upaya memperkuat demokrasi yang bersih dan bebas dari korupsi, Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (Pusad) Universitas Muhammadiyah Surabaya menggelar diskusi bertema Perlukah Kita Menormalisasi Politik Uang? pada Senin (4/11/2024).
Acara ini, yang berlangsung di ruang teater Gedung D lantai 7, membahas isu politik uang yang semakin marak menjelang Pilkada 2024, khususnya di Jawa Timur.
Baca Juga: Bawaslu Tangani 46 Kasus Dugaan Pelanggaran Pidana Pemilu 2024
Diskusi ini mengundang beberapa pakar berpengalaman, seperti Direktur Pusad UM Surabaya Satria Unggul Wicaksana Prakasa, Titi Anggraini dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan aktivis Perludem, Komisioner KPU Jawa Timur Choirul Umam, serta Radius Setiyawan, Peneliti Utama Pusad UM Surabaya.
Kehadiran mereka menambah bobot diskusi, dengan fokus pada pentingnya mengurangi politik uang yang dinilai merusak kualitas demokrasi.
Bahaya Politik Uang dalam Demokrasi
Titi Anggraini, seorang aktivis demokrasi, membuka diskusi dengan apresiasi terhadap Pusad UM Surabaya yang telah melakukan riset terkait politik uang.
Titi menegaskan bahwa normalisasi politik uang bukan solusi, melainkan ancaman serius. Sebagai warga negara yang mendukung demokrasi, kita tidak boleh menormalisasi politik uang karena praktik ini merusak asas pemilu yang jujur dan adil, tegasnya.
Ia mengungkapkan data yang menunjukkan Indonesia berada di posisi ketiga untuk tingkat politik uang tertinggi di Asia, menurut laporan Transparency International 2020. Angka ini hanya berada di bawah Thailand dan Filipina, dan dengan mendekatnya Pilkada 2024, Indonesia bisa saja menjadi pemimpin dalam praktik politik uang.
Titi juga menyoroti bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang stagnan di angka 34 menunjukkan adanya permasalahan mendalam dalam pengelolaan korupsi.
Baca Juga: Ahmad Labib, Wajah Baru Golkar yang Lolos ke Senayan dari Dapil Jatim X
Implementasi Hukum dan Tantangan Penegakan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Komisioner KPU Jatim Choirul Umam menjelaskan bahwa regulasi sebenarnya telah menyiapkan sanksi tegas terhadap pelaku politik uang. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada memuat ancaman pidana minimal tiga tahun dan denda ratusan juta rupiah bagi pelaku, baik pemberi maupun penerima.
Namun, ia menilai bahwa penegakan aturan ini masih lemah dan perlu lebih dioptimalkan. Choirul juga menyoroti pentingnya memberikan efek jera melalui implementasi hukum yang konsisten dan tegas.
Pendidikan Politik sebagai Solusi Jangka Panjang
Satria Unggul Wicaksana, Direktur Pusad UM Surabaya, mengemukakan bahwa solusi utama untuk mengatasi politik uang terletak pada pendidikan politik yang lebih baik dan masif.
Baca Juga: Rekapitulasi Pemilu 2024 Tingkat Kota Surabaya Dimulai Besok
Ia mendorong pendekatan yang lebih substantif, agar pemilu bukan sekadar ritual lima tahunan, melainkan ajang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang benar-benar peduli pada kesejahteraan masyarakat.
Pemilu harus menjadi kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang mengutamakan kepentingan masyarakat, bukan sekadar berfokus pada kemenangan politik dengan cara yang tidak etis, jelasnya.
Diskusi ini diakhiri dengan sesi tanya jawab yang interaktif dan sejumlah rekomendasi penting. Para narasumber sepakat bahwa penegakan hukum dan peningkatan kesadaran masyarakat adalah dua elemen kunci dalam mengatasi politik uang, terutama menjelang Pilkada 2024.
Dengan adanya riset dan diskusi dari Pusad UM Surabaya, harapannya muncul kesadaran dan komitmen bersama dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, hingga masyarakat, untuk menjadikan demokrasi Indonesia lebih bersih dan bermartabat.
Editor : Pahlevi