Sejarah Lada, Si Raja Rempah-Rempah

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Rempah-rempah dikenal sebagai komoditas perdagangan global sejak ribuan tahun silam. Di antara bermacam-macam rempah-rempah, lada adalah rempah-rempah paling digandrungi. Bahkan menurut Rahmat Rukmana dalam buku Tanaman Perkebunan: Usaha Tani Lada Perdu, seperti dikutip Optika.id, Kamis (18/5/2023) lada yang disebut raja-rempah-rempah ini berulangkali menjadi komoditas ekspor utama dalam sejarah Indonesia. Permintaan lada di dunia pada tahun 2000 saja mencapai 280.000 ton.

Baca juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?

Kembali ke 2000 abad yang lalu pun, masyarakat dari berbagai peradaban besar seperti Romawi, Mesir kuno dan Cina kuno mencari lada untuk menambah cita rasa pada makanan. Daging segar dipotong-potong, dimasak dan dibumbui dengan lada agar tidak terasa hambar. Lada yang berguna untuk penyedap makanan ini mampu meningkatkan selera makan.

Lada hitam dan putih mempunyai rasa berbeda. Tanaman asli penghasil butiran-butiran bulat yang diketahui sebagai lada berasal dari Malabar, pantai India yang dibawa ke Indonesia berabad-abad yang lalu. Lada hitam yang isi buahnya masak kering dengan kulit utuh sementara lada putih kulitnya sudah terkelupas.

Lada juga berfungsi untuk menutupi rasa kurang segar daging serta, parfurm udara selama pemakaman, obat-obatan, ramuan sihir dan resep pembalseman. Orang Yunani kuno mengenal rempah-rempah seperti lada, bawang putih dan ketumbar dari kapal-kapal dagang yang berlayar ke Timur Tengah, India serta Asia Tenggara.

Lada di pasar Lisbon, kapal-kapal Portugis ambil dari pesisir Malabar. Seiring permintaan pasar Eropa terhadap lada membludak, diperparah dengan kiriman lada yang terhambat mendorong orang dari Inggris dan Belanda mengadakan pelayaran dan perniagaan mengarungi samudera Hindia menuju kepulauan Nusantara.

Baca juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa

Ekspedisi tersebut kemudian menemukan kepulauan penghasil lada mulanya berjalan secara bertahap dari membeli di pasar pesisir Malabar, berpindah ke kota-kota pantai Cina, berlanjut ke Malaka lalu menjangkau pelabuhan-pelabuhan di kepulauan Nusantara.

Sekitar 4.670 ton lada angkut ke Eropa pada tahun 1521. Akan tetapi, lonjakan harga lada tidak dapat dihindari mengingat persaingan pelayaran dan perniagaan antara orang Inggris, Portugis, Belanda, Perancis dan Denmark. J.C Van Leur dalam Perdagangan dan Masyarakat Indonesia mencatat bahwa fluktuasi harga lada juga tidak terkendali akibat masalah politik diberbagai negeri pemasok lada. Beberapa penjelajah Eropa yang membeli lada di pelabuhan pesisir Malabar dan menunggu kedatangan kapal-kapal Cina memilih untuk mencari lada ke tempat asalnya demi menghemat biaya pengeluaran.

Lebih lanjut, menurut Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga; Jilid 2 Jaringan Perdagangan Global, sepanjang abad ke-16 dan ke-17, lada merupakan komoditas terpenting di Kepulauan Nusantara yang diekspor sepuluh kali lipat daripada produk rempah-rempah lainnya. Budidaya dan pemeliharaan memerlukan kecermatan serta ketekunan mengingat durasi panen yang membutuhkan waktu 3 tahun. Total ekspor lada Sumatera, Jawa, Banten, Semenanjung Malaya diperkirakan mencapai 6.500 ton.

Baca juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel

Lada dijual di beberapa pelabuhan pesisir barat Sumatera seperti Pariaman, Selebar, dan Indrapura, kemudian pesisir utara Pidie dan Pasai serta pesisir timur seperti Indragiri, Kampar dan Jambi yang dibudidayakan di lereng-lereng pegunungan. Di pelabuhan Banten, perdagangan lada sempat mengalami pasang-surut yang mana pada tahun 1629 budidaya hanya menghasilkan 7.000 hingga 8.000 kantung saja. Monopoli lada diterapkan oleh VOC dengan mengimpor lada murah dari Jawa Timur khususnya Surabaya, Gresik dan sekitarnya untuk dijual mahal di Batavia serta memblokade kemungkinan pengusaha China berpartisipasi dalam kompetisi perniagaan.

Lada memang merupakan produk penting ekspor pasar internasional, komoditas berharga bahkan menjelma jadi barang barter. Portugis biasanya menukar lada dengan beras di Jepara sedangkan orang Jambi di Malaka menukar lada dengan kain. Orang Jawa pergi ke Jambi menukar beras dengan lada sebaliknya orang Sumatera ke Jawa menukar lada dengan beras.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru