Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 20 Feb 2024 13:23 WIB

Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?

Surabaya (optika.id) - Hasil hitung cepat atau quick count Pemilu 2024 sudah menyebar ke seantero negeri setelah Pemilu dilaksanakan. Publik sudah disuguhkan data dalam beberapa jam saja bahwa pasangan calon Prabowo Subianti-Gibran Rakabuming Raka menjadi pemenang pada Pilpres kali ini.

Alhasil, melalui hasil hitung cepat dari berbagai lembaga, pemilu seolah telah mencapai final. Namun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih harus mencatat dan menghitung suara secara resmi kemudian mengumumkan pemenang Pemilu 2024 dalam rentang waktu 35 hari ke depan.

Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Data quick count ini terasa menjadi sebuah legitimasi dalam kontestasi elektoral Indonesia saat ini. Publik jadi tidak harus menunggu lama untuk tahu siapa yang akan memimpin negara ini lima tahun ke depan dengan hitung cepat yang banyak disiarkan di media.

Lantas, apa itu quick count dan sejak kapan mulai digunakan?

Dikutip dari berbagai sumber, Selasa (20/2/2024), quick count merupakan metode verifikasi hasil pemilu yang dilakukan dengan menghitung persentase hasil pemilu di TPS. Verifikasi tersebut dilakukan di sebagian kecil TPS yang dijadikan sampel. Jadi, verifikasi tersebut tidak dilakukan di semua TPS yang ada.

Adapun quick count ini pertama kali dilakukan untuk Pemilu 2004. Sebuah momen bersejarah yang menjadi tanda pertama kalinya presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyatnya. Saat itu, Lembaga Penelitian Pendidikan & Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) melakukan quick count berkolaborasi dengan berbagai pihak.

Pada Pemilu 2004, hasil quick count LP3ES menunjukkan kemenangan SBY-Jusuf Kalla dengan persentase sebanyak 62,2%. Disusul oleh Megawati-Hasyim dengan perolehan 38,8%. Hasil tersebut ternyata hanya selisih tipis dari perhitungan KPU di mana paslon pertama menang dengan perolehan sebanyak 60,62%.

Sejak itu, metode ini kian populer di masyarakat dan diadopsi oleh berbagai lembaga survei di Pemilu 2009, 2014, 2019 bahkan hingga sekarang.

Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Namun, untuk diketahui, tahun 2004 sejatinya bukanlah pertama kalinya quick count dilakukan di Indonesia. Jauh-jauh hari, LP3ES telah menguji coba metode tersebut pada Pemilu Legislatif (Pileg) tahun 1997. Namun sayangnya, saat itu mereka tidak mempublikasikan hasil quick count secara luas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tumbuhnya partisipasi berbagai lembaga penelitian untuk melakukan quick count tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik dunia internasional. Jika ditelusuri lagi, quick count ini sudah dilakukan pada tahun 1986 di pemilu Filipina.

Kala itu, di Filipina, lembaga National Citizens Movement for Free Elections (NAMFREL) melakukan metode quick count untuk memastikan tidak ada kecurangan dalam pemilu. Quick count yang dilakukan oleh NAMFREL ini bisa mengubah warna politik Filipina di mana Presiden Ferdinand Marcos lengser secara dramatis.

Pemilu Filipina yang berlangsung tahun 1986 ini menjadi persaingan antara Marcos dengan Corazon Aquino. Pertarungan suara tersebut diawasi oleh ratusan ribu relawan NAMFREL yang tersebar di seluruh penjuru negeri untuk memastikan tidak ada suara yang dimanipulasi.

Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Alhasil, aktivitas dari NAMFREL pun terbukti penting bagi demokrasi di negera itu. Pasalnya, tindakan tersebut mampu menyuguhkan data perolehan suara pembanding atas data komisi pemilu Filipina.

Komisi pemilu Filipina saat itu mengumumkan bahwa petahan Marcos keluar sebagai pemenang dengan meraup total 10,8 juta suara dan dinyatakan unggul dari Aquino yang mendapatkan 9,3 suara. NAMFREL kemudian memberikan fakta pembanding berdasarkan perhitungan langsung pada sekitar 70ri total TPS yang ada dengan hasil bahwa Aquiono unggul dari Marcos dengan perbandingan raihan suara yakni 7,9 juta dengan 7,4 juta suara.

Berangkat dari hal tersebut, NAMFREL akhirnya membuka pandangan publik dalam negeri sekaligus internasional bahwa ada ketidaksesuaian angka di lapangan dengan yang diumumkan oleh lembaga pemilihan umum Filipina.

Ketika NAMFREL mempublikasikan data yang memenangkan Aquino, Marcos tetap bertahan dengan klaim kemenangannya. Tapi opini publik sudah terlanjur terbentuk, ribuan demonstran tumpah ke jalanan dan berhasil mendesak Marcos hingga rezim otoriter itu lengser, meninggalkan kursi kepala negara bagi Aquino.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU