Demokrasi, Populisme dan Oligarki di Indonesia

Reporter : optika
Untitled-12

Optika.id - Pasca jatuhnya pemerintahan otoriter Orde Baru di tahun 1998, demokrasi seakan menjadi resep mujarab terciptanya masyarakat yang lebih baik di Indonesia. Demokrasi diharapkan akan menghalangi pemerintah dikuasai oleh sekelompok kecil orang (elit, red) atas mayoritas yang cenderung mengarah pada otoritarianisme sebagaimana yang terjadi dalam era Orde Baru. Sayangnya, sejak jatuhnya pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, demokrasi Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah diselesaikan terutama ialah oligarki dan populisme.

Pada Senin (1/11/2021), Institute for Digital Democracy and Civic Activism mengadakan webinar dengan tema Demokrasi dan Populisme Dalam Perspektif Komparatif. Pembicara dalam webinar ini ialah Profesor Vedi Hadiz yang merupakan seorang ilmuwan politik terkemuka asal Indonesia yang banyak menulis tentang oligarki dan belakangan secara serius menggeluti isu populisme terutama populisme Islam di Indonesia. Bukunya Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah yang diterbitkan LP3ES di tahun 2019 merupakan maha karyanya di bidang ini.

Baca juga: Demokrasi Tergerus, LaNyalla: Sistem Pilpres Liberal Penyebab Penurunan Kualitas Demokrasi

Meskipun dalam banyak tulisannya, Prof. Vedi banyak berbicara tentang populisme Islam, dalam webinar yang diikuti oleh banyak intelektual dan aktivis Indonesia ini, Prof. Vedi mengelaborasi tiga konsep penting yang telah dibangunnya sejak awal tahun 2000an yaitu konsep, demokrasi, oligarki dan populisme. Ia memulai pembahasannya dengan konsep populisme. Sebagaimana dalam banyak literatur, populisme ia definisikan sebagai politik yang menempatkan rakyat banyak terutama melalui mobilisasi rakyat melawan elit yang dinilai jahat atau korup. Namun, menurutnya konsep populisme ini secara sederhana perlu dipandang dalam dua cara, yaitu dalam arti positif yaitu populisme kiri dan populisme dalam arti negatif yaitu populisme kanan. Populisme dalam arti negatif inilah yang menurutnya sedang berlangsung di Indonesia saat ini.

Menurutnya, populisme yang ada di Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dari konteks historis sosial politik Indonesia. Dalam konteks itu, populisme yang ada di Indonesia cenderung terserap dalam politik oligarki. Karena itu populisme yang ada di Indonesia bukan ancaman elit walaupun dipresentasikan sebagai ancaman elit. Sebaliknya malah memperkuat elit. Menurutnya oligarki tidak kontradiksi dengan populisme. Sebaliknya, politik oligarki menggunakan sarana populisme untuk merampok dan mengamankan sumber daya dan institusi publik. Ini semua terjadi dalam konteks demokrasi. Populisme hanya mungkin bekerja dalam konteks demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi di Indonesia telah dibajak oleh kekuatan oligarki melalui sarana populisme.

Tesis dari Prof. Vedi tersebut mendapat banyak komentar dari pada peserta diskusi webinar. Para peserta baik dari kalangan aktivis maupun intelektual secara umum sepakat dan mengonfirmasi tesis tersebut. Bahkan seorang politis senior dari partai demokrat, Benny Harman, ikut berkomentar. Menurutnya, yang dikatakan Prof Vedi sangat jelas untuk menjelaskan situasi dan kondisi sekarang. Sayangnya ketika ditanya mengenai jalan keluar atas masalah tersebut, Prof. Vedi menyerahkan tugas itu pada aktivis dan politisi. Sebagaimana dalam artikel saya sebelumnya Oligarki di Indonesia: Semakin mengakar?, suatu strategi gerakan sosial yang tepat masih menjadi tanda tanya besar dan sangat urgent menjadi perbincangan para intelektual dan aktivis pada beberapa hari ke depan.

Baca juga: Setara Institute: Prabowo-Gibran Akan Bawa Indonesia ke Otoritarianisme 2.0

Penulis: Adam A. Bahar

Editor: Pahlevi

Baca juga: Genderang Kritik Dibungkam, YLBHI: Ada Empat Pola Negara Memberangus Gerakan

[removed][removed]

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru