Jakarta (optika.id) - Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) seharusnya diharamkan "cawe-cawe" dalam pilkada serentak 2024.
Herdiansyah menyebut kepala negara seharusnya menjaga netralitas dan independensi dalam pemilihan pejabat publik.
Baca juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Kendati tidak ada larangan tegas dalam peraturan perundang-undangan, dia menyebut cawe-cawe dalam pemilu mengecilkan arti presiden.
Hal tersebut disampaikan terkait gugatan dua mahasiswa Universitas Sahid Jakarta agar presiden, menteri, hingga kepala lembaga/badan pemerintah, dilarang terlibat kampanye pilkada.
"Kan lucu Presiden ngurus pilkada. Itu mengecilkan Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara," kata Herdiansyah, Kamis (11/7/2024).
"Pertanda (Presiden) Jokowi lebih menonjolkan syahwat politiknya dibandingkan jiwa kenegarawannya untuk bekerja demi republik," sambungnya, dikutip dari Kompas.id.
Sebelumnya, dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sahid, Muhammad Fauzi Azhar dan Aditya Ramadhan, mengajukan uji materi Pasal 70 Ayat (1) Huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Mereka meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menafsir pasal keterlibatan ASN, anggota Polri, dan TNI dalam kampanye juga diberlakukan pada presiden.
Baca juga: Dosa-dosa Jokowi
Salah satu alasan gugatan tersebut adalah untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam pilkada serentak 2024.
Terlebih lagi, orang dekat Jokowi, termasuk menantunya, Bobby Nasution dan anak bungsu, Kaesang Pangarep, diproyeksikan turut berkontestasi di Pilkada 2024.
Herdiansyah beranggapan, penegasan larangan kampanye pejabat negara penting dilakukan jelang pilkada. Hal tersebut demi mencegah terulangnya kontroversi cawe-cawe Jokowi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu.
"Kalau presiden dilibatkan dalam kampanye hanya gara-gara tidak disebutkan dalam pasal itu, jelas kita akan mengalami dejavu pemilu, di mana kecurangan dan cawe-cawe presiden berpotensi kembali dilakukan dalam pilkada," kata Herdiansyah.
Baca juga: Kunjungi Jatim, Jokowi Resmikan Flyover Djuanda dan RS Kemenkes Surabaya
Sementara tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, menganggap gugatan agar presiden dilarang terlibat kampanye adalah perbuatan orang "gagal move on" dari Pilpres 2024.
Ngabalin mengatakan peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur hak politik setiap warga negara.
Menurutnya, setiap orang memiliki hak terlibat dalam urusan politik sepanjang tidak menggunakan fasilitas negara.
"Jadi jangan karena kebencianmu, jangan karena ketidaksukaanmu, jangan karena tidak move on-nya kamu, kamu berbuat sesuka hatimu. Itu pandangan dan pikiran saya," kata Ngabalin.
Editor : Pahlevi