Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk

author Pahlevi

- Pewarta

Minggu, 06 Okt 2024 05:06 WIB

Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk

Optika.id - Aneh bangsa ini! Tingkat kepuasan terhadap rezim Joko Widodo (Jokowi) tinggi, yaitu sekitar 75 persen sementara keadaan ekonomi dan prospek negara menjelang Jokowi lengser bakal ambruk.
 
Hasil survei Indikator Politik Indonesia menyatakan tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi di angka 75% persen. Survei dilakukan periode 22-29 September 2024. Jumlah responden sebanyak 1.200 warga Indonesia. Sampel tambahan diambil dari 11 provinsi terbesar, yakni Sumut, Riau, Sumsel, Lampung, Banten, Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim ,dan Sulsel. Tiap wilayah jumlah respondennya 300, sementara Sumbar menjadi 200 responden.

Metode survei multistage random sampling. Margin of error sekitar 2,3ngan tingkat kepercayaan 95 persen. Responden ditanya 'Apakah sejauh ini Ibu/Bapak sangat puas, cukup puas, kurang puas atau tidak puas sama sekali dengan kinerja Presiden Jokowi'. Hasilnya, 75 persen publik puas atas kinerja Jokowi.

Baca Juga: Pakar Hukum: Cawe-cawe Jokowi Harusnya Haram!

"Mayoritas merasa puas dengan kinerja Presiden Jokowi 75%" kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, dalam paparannya, Jumat (04/10/2024).

Data Indikator Politik sebagai berikut: Sangat puas: 15,04%, Cukup puas: 59,92%,  Kurang puas: 20,21%, Tidak puas sama sekali: 4,23%, dan Tidak Tahu: 0,60%. Menurut Muhtadi diakui masyarakat pedesaan banyak yang menyatakan puas terhadap Jokowi dibandingkan wilayah perkotaan. Tapi angka kepuasan itu menunjukkan citra Jokowi di mata masyarakat Indonesia relatif bagus.
 
Ekonomi dan Keadaan Negara Merosot Tajam

Sementara itu, kondisi ekonomi RI (Republik Indonesia) dinilai sedang tidak baik-baik saja di tengah ujung masa rezim Jokowi. Berbagai indikator sosial dan ekonomi justru sedang melemah.
 
Pelemahan itu tampak dari turunnya pendapatan domestic bruto (PDB), PMI manufaktur yang masih terkontraksi, deflasi lima bulan beruntun, hingga peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK).
 
Berikut rangkuman dan data yang menunjukkan kondisi ekonomi RI sedang sakit:
 
1. Negara Penerimaan Merosot
Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa Pendapatan Negara terkumpul sebesar Rp1.777 triliun per Agustus 2024, atau 63,4ri target APBN 2024 senilai Rp2.802,3 triliun. Pencapaian tersebut lebih rendah atau terkontraksi 2,5ri periode yang sama pada tahun sebelumnya (yoy).

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) II Thomas Djiwandono menyampaikan bahwa Pendapatan Negara yang berasal dari Penerimaan Pajak mencapai Rp1.196,54 triliun per Agustus 2024, atau 60,16ri target APBN.

Baca Juga: Jadwal Pilkada Tetap November, Cegah Cawe-Cawe Jokowi?

Secara netto, penerimaan pajak pada periode Agustus 2024 mengalami konstraksi sebesar 4,02%. Turunnya penerimaan pajak dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas dan lifting minyak bumi. Hal ini terutama terlihat dari penerimaan PPh Non-migas dan penurunan PPh migas.
 
Pajak Penghasilan (PPh) Non-migas sebesar Rp665,2 triliun (terkontraksi 2,46% yoy), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) sebesar Rp470,81 triliun (naik 7,36% yoy), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya sebesar Rp15,76 triliun (naik 34,18% yoy), serta PPh Migas sebesar Rp44,45 triliun (terkontraksi 10,23% yoy).
 
2. Deflasi Lima Bulan Beruntun
Indonesia kembali mengalami deflasi selama lima bulan beruntun secara bulanan (month to month/mtm) pada Mei-September 2024. Kondisi ini mirip dengan situasi 1998/1999 di mana deflasi juga terjadi secara beruntun.
 
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (01/10/2024) mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 turun atau mencatat deflasi sebesar 0,12% secara bulanan atau month to month (mtm). Angka deflasi itu makin dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03%.
 
Sebagai catatan, terakhir kali Indonesia mengalami deflasi (mtm) selama lima bulan adalah pada 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatat deflasi dalam delapan bulan beruntun yakni pada Maret (-0,18%), April (-0,68%), Mei (-0,28%), Juni (-0,34%), Juli (-1,05%), Agustus (-0,71%), September (-0,91%), dan Oktober (-0,09%).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Perlu dicatat jika kondisi ekonomi Indonesia pada saat itu sedang carut-marut karena krisis pada 1997/1998.
 
Deflasi ini dipicu oleh melemahnya daya beli. Terlebih, secara historis, Indonesia lebih sering mencatat inflasi dibandingkan deflasi. IHK indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor supply. IHK akan melonjak atau mencatat inflasi tinggi saat terjadinya gangguan pasokan bahan pangan seperti cabai hingga beras. Jika pasokan kembali mencukupi maka harga kembali normal dan inflasi terkendali.
 
Sebaliknya, inflasi yang didorong oleh kenaikan permintaan biasanya hanya terjadi pada momen-momen tertentu seperti Ramadhan dan menjelang Lebaran. Bulan setelah Lebaran biasanya terjadi deflasi karena permintaan menurun drastis.

Namun, deflasi biasanya hanya terjadi 1-2 bulan karena permintaan kembali normal.
Kondisi ini berbeda dengan tahun ini di mana deflasi terus menerus terjadi di tengah laporan tercukupinya pasokan, mulai dari beras hingga telur.

Baca Juga: Jokowi Buka Suara Soal Dirinya Disebut Cawe-Cawe dalam Kabinet Prabowo-Gibran

Sebagai buktinya, peternak telur sampai demo karena harga jatuh setelah permintaan terus turun.
Fakta tersebut kemudian memicu kekhawatiran jika ada persoalan pelemahan daya beli. Banyaknya pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi salah satu faktor dari melemahnya daya beli yang berujung pada melandainya permintaan barang dan deflasi.
 
3. PHK Masal Terjadi Dimana-mana
Melemahnya daya beli dipicu oleh meningkatnya jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat kenaikan jumlah PHK per September 2024 menjadi 52.993 tenaga kerja di Indonesia.
 
Angka tersebut naik 25,3ri periode September 2023 di 42.277 tenaga kerja ter-PHK, dan naik 14,6ri periode Agustus 2024 di 46.240 tenaga kerja ter-PHK.
Sektor manufaktur masih menjadi sektor yang langganan PHK tahun ini, meliputi industri tekstil, garmen dan alas kaki. Adapun, biang keroknya adalah kenaikan cukai rokok.
 
4. PDB RI Tumbuh Lebih Rendah
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2024 mencapai 5,05% secara year on year (yoy)Capaian ini lebih rendah dibandingkan dengan kuartal I-2024 dan kuartal II 2023.
 
Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2024 yang lebih rendah dari kuartal I 2024 sejalan dengan pola musiman pada tahun-tahun sebelumnya, bahwa kuartal kedua tumbuh lebih tinggi dari kuartal pertama.
 
Pada kuartal I-2024, ekonomi mampu tumbuh 5,11%. Kala itu perekonomian besar didorong oleh aktivitas dalam negeri, seperti pemilihan umum dan Lebaran.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi kuartal III 2024 tetap stabil di atas 5%, tepatnya 5,06% secara tahunan (yoy).
 
5. PMI Manufaktur Kembali Terkontraksi
PMI (Purchasing Managers' Index) Manufaktur Indonesia tercatat 49,2 pada September 2024 tercatat lebih kecil dibandingkan pada Agustus. Kondisi tersebut menunjukkan fakta jika kondisi manufaktur RI kini sangat buruk.
 
Data PMI yang dirilis S&P Global menunjukkan PMI manufaktur Indonesia terkontraksi ke 49,2 pada September 2024. Artinya, PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama tiga bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9) dan September (49,2).
 
Indonesia di tahun 2020 pernah mencatat kontraksi manufaktur selama tiga bulan beruntun, saat awal pandemi Covid-19 2020, di mana aktivitas ekonomi memang dipaksa berhenti untuk mengurangi penyebaran virus.

Tulisan: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU