[caption id="attachment_12486" align="alignnone" width="168"] Oleh : Dwi Jaka Anandika (Mahasiswa Prodi Studi Agama Universitas Muhammadiyah Surabaya)[/caption]
Allah SWT telah menciptakan manusia dan menginstal kedalam ciptaannya yang sempurna itu sebuah kekuatan yang disebut dengan akal agar mereka berfikir. Dengan aktifitas berfikir maka manusia akan mampu menghadapi hal-hal yang ia jumpai dalam kehidupannya. Dan dengan aktifitas berfikir itu pula pada akhirnya mereka menemukan sebuah pengetahuan atas kejahilan dan mengeluarkan mereka dari kegelepan.
Baca Juga: Emil: Sistem Pendidikan Berbasis Keagamaan Jadi Bagian Integral Cetak Kualitas SDM
Ibnu Sina dalam falsafah tentang akal menyatakan bahwa al-Aqlu al-Awwal sebagai penuntun (emanasi) dalam penciptaan alam dan tertibnya alam. Oleh karena akal itu telah dicerahkan dengan tuntunan wahyu Tuhan, yang berisikan tentang kebenaran (al-Haq).
Kata akal sendiri merupakan serapan dari bahasa arab dari kata Aqala, yaqilu, aqlan yang artinya menghalangi. Jika kita telusuri dalam bahasa arab ada istilah Iqal yang berasal dari kata aqala tadi, yang maknanya adalah Tali. Fungsi dari tali itu untuk mengikat sesuatu, sebagaimana juga akal manusia mengikat pengetahuan.
Muhammad Seorang Ummi
Sayyed Hossein Nasr dalam bukunya Kekasih Allah, Muhammad (1997) mengisahkan bahwa Muhammad memang seorang Ummi, tapi dia bukanlah orang gila. Dalam berbagai sirah nabi, baik yang ditulis oleh para orientalis maupun oleh orang timur, Muhammad memang digambarkan sebagai seorang ummi atau seorang yang buta huruf.
Akan tetapi sebagaimana diterangkan oleh Syekh Mohammad Rasyid Ridha dalam bukunya Wahyu Ilahi kepada Muhammad diterangkan hal serupa meski nabi adalah orang yang ummi, ia adalah orang yang sadar dan menggunakan kekuatan akal yang menuntunnya sebagai manusia paling agung. Rasyid Ridha menuturkan justru inilah yang kemudian membantah sangkaan para kaum Quraiys kala itu yang menuduh nabi gila.
Sebelum menerima wahyu, Muhammad muda bahkan di usia belasan tahun ia dibedah jantung dan hatinya, ia disucikan oleh Jibril dengan zamzam. Sayyed Hossein Nasr menggambarkan dia bukanlah ditugaskan untuk terlampau banyak bersenang-senang, ada tùgas besar yang kelak dipanggulnya-sehingga ia sudah memikirkan manusia dan keadaan masyarakatnya kala itu.
Sosok Yang Mendahului Zaman
Kesadaran itulah yang membawanya sebagai sosok yang mendahului zamannya. Pantaslah tatkala umat berselisih perkara siapa yang paling berhak untuk menutupkan selimut pada Kabah, orang-orang justru percaya kepada Muhammad yang masih remaja kala itu.
Ketika Muhammad yang dididik oleh Jibril dituntun untuk selalu dibawa kepada kesadaran Illahiah, saat itulah ia mampu menggunakan segenap akal yang diberikan Tuhannya. Ini nampak saat Muhammad yang buta huruf itu menerima wahyu. Muhammadpun kaget, badannya merinding, pikirannya belum terkonsentrasi.
Getaran wahyu kala itu memang tak bisa langsung ditangkap secara ragawi terlebih wahyu itu datang dari Tuhan. Muhammad diminta membaca. Muhammad diminta membuka pikirannya, kesadarannya.
Kesadaran yang paling hakiki dan paling asali, yakni kesadaran untuk mengenali dan menyebut asma Tuhannya.
Baca Juga: Tantangan Bangsa, Kapolri Harap Moderasi Beragama Disebarluaskan
Mauhammad Berseru Agar Gunakan Akal
Sebagaimana tauladan Ibrahim pendahulunya yang menghancurkan berhala-berhala masyarakatnya kala itu, Muhammadpun melakukan demikian. Ia menyeru, memperingatkan, agar manusia menggunakan akal pikirannya dan kembali kepada Tuhannya, menyembah Tuhan Yang Esa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perintah Iqra (bacalah) yang menjadi ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad jika dimaknai tentunya tidak sama dengan melafalkan atau membunyikan teks.
Secara maknawi sejatinya Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menalar dan memahami dengan menggunakan akal pikirannya.
Kata aqala sendiri sesungguhnya mempunyai banyak makna, diantaranya yang pertama adalah pemahaman atau ilmu pengetahuan. Hal ini, karena seseorang yang ia mempunyai ilmu pengetahuan akan mampu membedakan antara perbuatan yang baik dan buruk. Selain itu ia akan mempunyai kemampuan untuk memilih mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan.
Maka jika benar ia telah menggunakan akalnya, tentu ia akan melaksanakan perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang buruk.
Kedua, aqala artinya juga menghafal. Hal ini karena orang yang memiliki ilmu pengetahuan, berarti ia telah mengikat ilmu tersebut dalam akalnya. Artinya ia telah memahami dan menghafal dengan baik ilmu pengetahuan tersebut.
Baca Juga: Cegah Perpecahan Antar Agama, Menag Bentuk Rekontekstualisasi Islam
Ketiga, aqala juga bermakna tempat berlindung. Bisa juga bermakna penjara. Hal ini, karena tempat berlindung ataupun penjara dapat menghalangi seseorang untuk keluar dari tempat tersebut. Ia terikat disuatu runagan tertentu. Inti dari makna akal diatas sesungguhnya tidak keluar dari ikatan. Dan akal dapat megikat atau melindungi atau membatasi sesuatu.
Agama Perlu Akal
Akal berfungsi bukan hanya sebagai timbangan antara tindakan manusia sesuai dengan agama atau tidak, tetapi juga membawa manusia kepada kemampuan teknis menghadapi hidup dan kehidupannya. Tanpa diimbangi dengan akal, agama akan menjadi doktrin yang lesu lagi palsu. Sebab apa yang dijalankan oleh manusia hanya didasarkan pada aspek taqlid buta tanpa pertimbangan apapun.
Iman yang demikian tentu akan mudah sekali goyah dan lumpuh.
Sementara bila akal digunakan untuk menimang, mempertimbangkan, dan mempertanyakan agama, ia akan dituntun, dididik untuk sampai kepada kebenaran hakiki agama. Sehingga ia tidak mudah goyah oleh ajakan apapun setelahnya. Sebab keyakinannya sudah didasarkan oleh rasionalitas sebagai dasar fitrawi manusia.
Editor : Pahlevi