[caption id="attachment_12269" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Dr. Sholihul Huda, M.Fil.I
Optika.id - Pluralisme keagamaan di Lamongan terbangun sangat baik di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Bangunan pluralisme keagamaan di masyarakat Lamongan sudah terbangun sejak lama dan memiliki akar kesejarahan yang panjang. Tradisi kultural yang harmoni dan toleran terbangun kuat di masyarakat Lamongan sehingga, sangat layak jika kemudian mendapat julukan Kampung Pancasila yang tepatnya di Desa Balun Kec. turi Kab. Lamongan.
Baca Juga: Lusa, UM Surabaya Resmikan Gedung Kampus yang Tertinggi
Tradisi harmoni dan toleransi di tengah pluralisme keagamaan masyarakat Balun sebenarnya sesudah terbangun seiring sejarah awal kehidupan keagamaan masyarakat Balun yang terdiri tiga agama yaitu agama Islam-Kristen dan Hindu, sehingga dapat disebut Satu Tuhan Tiga Agama. Yang menarik dari kampung ini adalah walaupun mereka hidup dengan keragaman agama (Islam-Kristen-Hindu) tetapi mereka salalu damai dan harmoni, perbedaan tersebut tidak pernah dijadikan alat legitimasi untuk saling serang atau konflik, sementara di tempat lain perbedaan agama sering dijadikan legitimasi pendorong aksi diskriminasi, kekerasan dan konflik berdarah antar pemeluk agama.
Potret sejarah keagamaan masyarakat Balun yang unik tersebut itulah yang akan penulis paparkan pada tulisan ini sebagai hasil dari riset lapangan yang penulis lakukan dalam program Hibah Riset Keilmuan LPDP tahun 2021.
Awal Sejarah Islam Masuk Di Balun
Awal proses Islam masuk dan berkembang di Desa Balun sudah sejak lama. Dalam sejarah Balun disebutkan bahwa Islam masuk ke Balun diperkirakan sejak akhir masa Kerajaan Majapahit. Sehingga Desa Balun dikenal salah satu desa tua yang syarat dengan berbagai nilai sejarah, termasuk tentang penyebaran Islam oleh para santri murid Wali Songo dan masih terkait dengan sejarah hari jadi Kota Lamongan. Di mana kata Balun berasal dari nama Mbah Alun seorang tokoh yang mengabdi dan berperan besar terhadap terbentuknya desa balun sejak tahun 1600-an.
Mbah Alun yang dikenal sebagai Sunan Tawang Alun I atau Mbah Sin Arih konon adalah Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih yang bergelar Raja Tawang Alun I yang lahir di Lumajang tahun 1574. Dia merupakan anak dari Minak Lumpat yang menurut buku babat sembar adalah keturunan Lembu Miruda dari Majapahit (Brawijaya).
Mbah Alun belajar mengaji di bawah asuhan Sunan Giri IV (Sunan Prapen). Selesai mengaji beliau kembali ke tempat asalnya untuk menyiarkan agama Islam sebelum diangkat menjadi Raja Blambangan. Sunan Tawang Alun I sebagai ulama hasil gemblengan Pesantren Giri Kedaton ini menguasai ilmu Laduni, Fiqh, Tafsir, Syariat dan Tasawuf. Sehingga dalam dirinya dikenal tegas, kesatria, cerdas, Alim, Arif, persuasif, dan yang terkenal adalah sifat toleransinya terhadap orang lain, terhadap budaya lokal dan toleransinya terhadap agama lain.
Di sini Sunan Tawang Alun I mulai mengajar mengaji dan menyiarkan ajaran Islam sampai wafat Tahun 1654 berusia 80 tahun sebagai seorang Waliyullah. Sunan Tawang Alun atau Mbah Alun di makamkan di Desa Balun yang terkenal dengan sebutan makam Mbah Alun. Makam tersebut, sampai saat ini masih ramai dikunjungi atau di ziarahi oleh masyarakat Muslim Lamongan dan sekitarnya, serta masih sering diadakan kegiatan dalam rangka Haul Mbah Alun. Makam Mbah Alun dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Mayoritas warga Balun secara formal beragama Islam. Hanya model Islamnya adalah aliran kepercayaan dan Islam Kejawen belum ada Hindu dan Kristen. Islam Kejawen adalah ajaran dan tradisi Islam yang bercampur dengan falsafah dan tradisi Jawa atau lebih dikenal dengan istilah Sinkretisme.
Sejarah Awal Kristen Di Desa Balun
Awal agama Kristen masuk ke Desa Balun bermula pasca peristiwa G30S/PKI tepatnya tahun 1965-1967. Proses agama Kristen masuk ke Balun berawal dari adanya pembersihan pada orang-orang yang terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk para pamong desa yang diduga terlibat. Orangorang yang terindikasi dan diduga terlibat ikut PKI banyak dibuang dan dibunuh termasuk di wilayah Turi sekitarnya (Balun). Orang yang terbunuh di wilayah Turi sekitarnya (Balun) sangat banyak, ada satu keluarga dibunuh semua dan ada yang sebagian (baca: terutama pihak laki-laki).
Pembersihan terhadap anggota PKI dan simpatisan itu didasarkan, karena ada instruksi dari pemerintah pusat untuk menumpas anggota dan simpatisan PKI sampai akar-akarnya. Instruksi ini dipahami oleh orang-orang penumpas PKI (baca: orang Balun) secara apa adanya. Artinya instruksi tersebut dipahami oleh masyarakat Turi sekitarnya, bahwa siapa yang terindikasi terlibat maupun simpatisan tanpa ada klarifikasi dari pihak terduga harus dihabisi atau dibunuh semua tanpa ampun, walaupun mereka terkadang tidak ikut.
Dampak dari penumpasan orang-orang yang diduga terlibat G30S/PKI, menjadikan kekosongan perangkat desa karena mereka juga ikut terbunuh, selain itu kondisi dan situasi Balun sangat mencekam. Maka untuk menjaga dan menjalankan pemerintahan desa, warga Balun meminta orang Balun yang menjadi Prajurit TNI dan mantan pejuang 45 yang waktu itu ditugaskan di Sorong-Irian Jaya (Papua) untuk pulang ke Balun, untuk menjadi Pejabat Sementara (PJS) Kepala Desa Balun. Prajurit tersebut bernama Bathi Mathius atau lebih dikenal dengan nama Mbah Bathi yang beragama Kristen.
Baca Juga: Kuliah Luar Kelas: Mahasiswa SAA FAI UMSurabaya Nonton Bioskop "Pamali Dusun Pocong"
Keberadaan Mbah Bathi, membuat situasi dan kondisi Balun mulai kondusif dan aman dari gangguan pihak luar. Sehingga masyarakat Balun meminta Mbah Bathi untuk tetap tinggal di Balun dan akhirnya Mbah Bathi menetap tinggal di Balun tidak kembali ke Sorong Papua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keberadaan Mbah Bathi yang menjadi Kepala Desa Balun, sangat berpengaruh dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlindungan dan keamanan dari pihak luar. Hal itu menjadikan sebagian masyarakat Balun mulai simpatik dan ikut dengan Mbah Bathi termasuk dalam hal kepercayaan agama, dari sinilah Kristen mulai dapat pengikut. Kemudian Mbah Batih mengambil teman dan pendeta untuk membaptis para pemeluk baru. Karena sikap keterbukaan dan toleransi yang tinggi dalam masyarakat Balun maka penetrasi Kristen tidak menimbulkan gejolak, di samping itu Kristen tidak melakukan dakwah dengan ancaman atau kekerasan.
Sejarah Awal Hindu Di Desa Balun
Awal agama Hindu secara formal sama persis dengan masuknya agama Kristen masuk ke Desa Balun, yaitu dipicu pasca peristiwa G30/S/PKI tahun 1967-an. Menurut Mangku Tadi, sekitar tahun 1967-an datang dari desa Ploso Wayuh orang yang bernama Bapak Tahardono Sasmito (tokoh Hindu Lamongan), untuk menyebarkan ajaran-ajaran Hindu ke masyarakat Balun. Penyebaran agama Hindu pun tidak membawa gejolak pada masyarakat umumnya, karena sudah terbiasa dengan agama baru. Kemudian ada orang Hindu dari Desa Tanjung ke Balun dan ikut mengajarkan agama Hindu kepada masyarakat sini, akhirnya pengikut Hindu semakin banyak.
Proses awal masuknya agama Hindu ke Desa Balun adalah berawal dari peralihan para penganut aliran kepercayaan dampak dari kebijakan pemerintah Orde Baru menganjurkan untuk menganut salah satu agama. Dari kebijakan inilah kemudian para tokoh aliran kepercayaan Sabdo Darmo berubah ke Budha Jawi Wisnu. Dari Budha Jawi Wisnu berubah ke Hindhu-Budha. Dari Hindu-Budha kemudian berubah ke Hindu Dharma sampai sekarang ini. Aliran kepercayaan leluasa berkembang di Balun, dikarenakan pada saat itu sebagian bsar warga Balun berkultur Abangan. Istilah abangan pertama kali digunakan oleh Clifford Geertz (Peneliti Universitas Chicago USA), istilah tersebut untuk menggambarkan kelompok sosio-kultur masyarakat Jawa yang secara formal beragama Islam namun, pikiran dan perilakunya lebih dekat dengan falsafah dan tradisi ritual keagamaan Jawa-Hindu. Berawal dari sini, agama Hindu mulai menemukan bentuk formal dan berkembang di Balun hingga sekarang.
Perkembangan agama Hindu mengalami kemajuan pesat di Desa Balun. Indikasinya adalah semakin banyak warga Balun yang tertarik masuk menjadi pengikut Hindu. Dari semakin banyak pengikut agama Hindu, maka kemudian mereka mendirikan tempat Ibadah Pure pada tahun 1980-an. Perkembangan agama Hindu dengan bangunan Pura yang megah merupakan bagian dari kebijakan politik nasionalis pada saat kepemimpinan Kepala Desa Mbah Bathi (beragama Kristen).
Pada saat menjadi Kepala Desa, Mbah Bathi selalu menanamkan rasa tenggang rasa (toleransi) terhadap orang yang berbeda agama. Salah satunya adalah, pada saat itu orang Hindu tidak punya tempat Ibadah (Pura) maka atas kebijakan Mbah Bathi selaku Kepala Desa orang Hindu dikasih tanah untuk dibangun tempat Ibadah (Pura) yang didekatkan dengan Masjid dan Gereja.
Kebijakan politik tersebut memang disengaja supaya tidak terjadi gesekan. Pola kebijakan tersebut, akhirnya berhasil membangun budaya toleransi di masyarakat Balun walau berbeda agama. Sehingga selama ini tidak ditemukan terjadi konflik atau sikap saling menjatuhkan atau menjelekkan antar pemeluk agama yang berbeda.
Baca Juga: PSI dari Politik Progresif ke Politik Oportunis
Belajar Dari Balun: Berbeda Tidak Harus Konflik
Sejarah di atas dapat diambil pembelajaran diantaranya: Pertama, proses kesadaran keberagamaan seseorang tidaklah dapat dipaksa tetapi melalui kesadaran diri dalam proses pencarian yang sesuai dengan rasa hati rasa pikir dan perilaku ajaran keagamaan yang diyakini. Kedua, proses perkembangan sebuah komunitas keagamaan juga sangat dipengaruhi oleh faktor ikatan keluarga dan kearifan lokal yang berkembang di daerah tersebut.
Dari gambaran sejarah tersebut, menunjukkan bahwa, masuknya seseorang pada agama baru adalah disebabkan oleh ketertarikan pribadi tanpa ada paksaan dari pihak luar atau orang lain. Sehingga dengan kesadaran tersebut, mereka sangat dapat memahami dan menghargai pilihan berbeda orang lain. Dan itu sudah terbukti di mana praksis moderasi keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat Balun dengan kekuatan kearifan lokalnya sebagai media integrasi dan harmonisasi keagamaan. Berbeda tidak harus konflik, tetapi berbeda adalah saling mengisi dan memberi.
Dari potret sejarah di atas dapat diambil satu gambaran teoritis bahwa teori yang menyatakan berbedaan sering menjadi pemicu benturan peradaban (The Clash of Civilization) sebagaimana yang disebutkan oleh seorang pemikir dari Amerika Serikat Samuel P Huntington ternyata tidak selamanya benar dan itu terbantahkan dalam potret sejarah di atas.
Editor : Pahlevi