Optika.id - Semakin dekatnya Pemilu Serentak yang akan digelar pada tahun 2024 nanti membuat para peserta pemilu, baik partai maupun elit parpol berupaya menggaet simpati rakyat melalui berbagai hal. Salah satunya adalah teknologi yakni media sosial. Pasalnya, para pemilih muda yang rata-rata generasi Z alias Gen Z nanti sudah mulai bisa berkontribusi di pemilu.
Hal tersebut diamini oleh pemerhati teknologi, telekomunikasi dan informatika, Heru Sutadi yang menjelaskan bahwa gen Z adalah generasi yang sudah mulai melek teknologi dan terbiasa melakukan segala hal yang berbasis media baru. salah satunya adalah menganalisis dan mencari rekam jejak serta profil dari para capres di media sosial.
Baca Juga: Organisasi Gen-Z Perubahan Dukung Anies Baswedan!
Jadi, mereka sebetulnya generasi yang cukup kritis. Sehingga mereka bisa menentukan mana yang menjadi pilihannya, tuturnya, kepada Optika.id, Senin (13/11/2023).
Setiap jenis media sosial yang dimanfaatkan oleh capres, menurut Heru memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bagi Heru, saat ini X/Twitter sudah menjadi masa lalu lantaran banyak robot (bot) dan anorganik sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Apa yang disampaikan di Twitter, hanya meraih isu tertentu saja, ada hoaks segala macam, kata dia.
Berbeda dengan Twitter, Heru menyebut jika Instagram merupakan media yang cukup efektif untuk melihat seperti apa kiprah capres sebenarnya. Tak hanya itu, melalui TikTok, gen Z bisa melihat pemikiran capres kendati sepotong-sepotong saja karena di TikTok hanya bisa video pendek saja. Padahal, gen Z ini ingin melihat segala pemikiran capres secara utuh.
Kalau saya melihat, YouTube ini yang bisa lebih dipakai untuk menyampaikan apa yang menjadi pemikiran masa depan dari capres-cawapres dibanding yang soft video, ya, ucap Heru.
Heru menilai jika dilihat dari media sosial, gen Z tidak hanya sebatas melihat sisi tampilannya saja, melainkan melihat secara menyeluruh. Gen Z, imbuh Heru, kerap melihat program-program dari kandidat dan mereka adalah generasi yang sebenarnya sangat peduli pada nasib Indonesia ke depannya, khususnya dalam pembangunan berkelanjutan.
Baca Juga: Pelajar Surabaya Ini Kampanye Anti Kekerasan Seksual di Dunia Digital
Maka dari itu, Heru mengamati bahwa gen Z ini tidak mau terbujuk dan tidak mau diwarisi program capres-cawapres yang akan memberatkan mereka di masa depan. Maka dari itu, dengan menggunakan media sosial, maka capres dan cawapres bisa meraup suara untuk menang lantaran gen Z kerap menganalisis rekam jejak yang mereka dapatkan di media sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Heru yakin bahwa salah satu yang memengaruhi gen Z untuk memilih adalah tampilan media sosial capres cawapres yang banyak mengungkapkan program-program mereka.
Hal berbeda dikatakan oleh Wasisto Raharjo Jati selaku peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menyebut bahwa penggunaan media sosial dari para capres ini masih belum terlalu efektif untuk menggaet suara gen Z. alasannya yakni konten yang dibuat dan yang terpampang di media sosial dilakukan oleh pihak ketiga.
Itu lebih digerakan secara profesional daripada ekspresi personal dari capres-capres yang ada. Tentu di sini berpengaruh terhadap engagement (interaksi) dari para capres dengan gen Z karena konten yang dihasilkan pihak ketiga bisa jadi belum merepresentasikan ikatan emosional antara capres dengan pemilih, kata Wasisto.
Baca Juga: Pakar Ubaya Ungkap Gen Z Harus Pikirkan Skill untuk Dapat Peluang
Padahal, menurut Wasisto, gen Z lebih menginginkan agar para capres dan cawapresnya berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Engangement yang dihasilkan pun akan berbeda lantaran bukan kandidat sendiri yang mengunggah postingan di media sosial dan gen Z sendiri tahu akan hal tersebut sehingga menurutnya, kampanye di medsos tidak begitu efektif.
Jika bicara mengenai potensi meraup suara lewat media sosial, Wasisto menekankan itu tergantung dari konten yang dihasilkan para kandidat itu sendiri. sebab, dalam memanfaatkan media sosial, imbuhnya, tim dari kandidat pun perlu menyesuaikan platform media sosial itu sendiri. hal ini juga dipengaruhi dengan konten di TikTok, Instagram, atau Facebook yang berbeda-beda. Kemudian, hal tersebut bisa dikreasikan kembali sesuai kebutuhan sehingga menjadi konten yang cocok dan menarik.
Dari situ, baru bisa menyentuh si gen Z. Karena gen Z itu sendiri juga beda-beda, kan. Ada yang mengharapkan interaksi visual maupun narasi di Facebook atau Twitter, ucapnya.
Editor : Pahlevi