Optika.id - Media South China Morning Post (SCMP) menyoroti gerakan 'Kabur Aja Dulu' yang sedang viral di media sosial Indonesia. Menurut SCMP Fenomena ini mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap berbagai masalah di Indonesia yang membuat para generasi muda ingin pindah ke negara asing.
SCMP mengungkap, anak muda Indonesia menyuarakan keinginan untuk merantau melalui tagar #KaburAjaDulu di platform seperti X dan TikTok. "Kalau kamu tidak terlalu terikat dengan negara ini, pertimbangkan benar-benar untuk #KaburAjaDulu. Serius," tulis pengguna X, Petra Novandi, Senin (17/2/2025).
Menurut Founder Drone Emprit Ismail Fahmi menjelaskan tagar #KaburAjaDulu ini adalah reaksi frustasi atas situasi di Indonesia yang dirasakan sebagian netizen.
"Mereka mencari informasi lowongan kerja, tip persiapan berangkat, resiko yang harus dipertimbangkan, dan perbandingan tinggal di Indonesia vs LN," kata dia dalam cuitannya, dikutip IDN Times, Senin (17/2/2025).
1. Drone emprit mencatat, topik #kaburajadulu dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama tagar itu digunakan untuk mengekspresikan keinginan pindah ke luar negeri dan reaksi terhadap kondisi di Indonesia.
Alasan pindahnya adalah karena kesempatan kerja yang lebih baik di luar negeri, kemudian gaji yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik serta pengalaman hidup atau belajar di negara lain. Selain itu, ada kondisi frustrasi dengan situasi di Indonesia.
Topik ini juga menjelaskan soal lowongan kerja di berbagai negara seperti Jepang, Malaysia, dan Qatar hingga tips serta saran untuk mencari pekerjaan di luar negeri dan pengalaman dari orang-orang yang telah berhasil pindah.
2. Hastag ini mulai terlihat di X pada Januari 2025. Drone Emprit menyebut, tren hastag ini mulai terlacak paling awal pada 8 Januari 2025 dengan interaksi yang kecil. Kemudian, baru viral setelah diangkat pada 14 Januari dan 6 Februari 2025.
Frustrasi netizen terhadap keadaan di Indonesia disebabkan berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan ekonomi, kualitas hidup yang menurun, ketidakadilan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak memadai, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik."Muncul lah #KaburAjaDulu," kata dia.
3. Ketidakpuasan ekonomi, kualitas hidup menurun hingga ketidakadilan social. Ismail dalam cuitannya menjelaskan, banyak netizen merasa frustrasi dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil, seperti tingginya pengangguran dan rendahnya upah.
Mereka mengeluhkan kualitas hidup yang menurun akibat polusi, infrastruktur buruk, dan kurangnya ruang publik. Ketidakadilan sosial juga menjadi sorotan, di mana akses kesuksesan terasa tidak merata.Kebijakan pemerintah yang dinilai tidak efektif semakin memperburuk situasi, membuat banyak orang merasa diabaikan. Frustrasi ini diperburuk oleh harapan tinggi yang tidak terpenuhi, sehingga muncul keinginan untuk mencari peluang di luar negeri sebagai solusi.
Keramaian di Media Sosial
Di media sosial, pengguna berbagi tips serta kelebihan dan kekurangan hidup di luar negeri. Pengguna X, Hafizha Anisa, misalnya, mengaku muak dengan masalah di Indonesia, tetapi tetap mencintai alam, makanan, cuaca, dan budaya negara ini.
Seorang warga Indonesia di Jerman, Yoel Sumitro, membagikan daftar negara dengan gaji tinggi, kualitas hidup baik, serta kemudahan visa dan peluang kerja di sektor teknologi. Ia merekomendasikan Singapura, Amsterdam, Tokyo, Berlin, dan Dubai sebagai tujuan utama bagi pekerja teknologi.
"Banyak yang bertanya langsung kepada saya bagaimana cara bekerja di luar negeri," kata Sumitro. Pria asal Solo ini telah bekerja di Jerman, Singapura, dan AS, serta kini menjabat sebagai senior director di perusahaan di Berlin sejak 2022.
Sumitro pertama kali tinggal di luar negeri pada 2011 saat menempuh pendidikan magister di University of Washington. Setelah lulus, ia bekerja di beberapa negara sebelum kembali ke Indonesia pada 2018.
"Bekerja di Indonesia menyenangkan karena dekat dengan keluarga dan teman. Saya tidak memiliki keluhan karena mendapatkan fasilitas dan gaji yang baik sebagai pekerja berketerampilan tinggi," ujarnya.
Namun, setelah empat tahun di Indonesia, ia merasa kariernya stagnan. "Jika ingin berkembang lebih jauh, saya harus ke luar negeri. Saya ingin merasakan menjadi eksekutif dalam tim multinasional," katanya.
Menanggapi tren ini, Menteri Perlindungan Pekerja Migran, Abdul Kadir Karding, menyatakan kesiapan membantu anak muda memperoleh keterampilan kerja di luar negeri. "Kalau mau pergi, pastikan untuk bekerja di luar negeri. Daripada pergi tanpa arah, kami akan membantu mempersiapkan kalian," ujarnya di kompleks parlemen Senayan.
Menurut Yanuar Nugroho, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura, fenomena ini bukan sekadar tren baru. Namun, motifnya kini lebih kompleks karena banyak yang merasa tidak ada harapan di Indonesia.
"Mereka melihat kondisi politik, ekonomi, sosial, dan hukum tidak membaik. Namun, migrasi dalam jumlah besar tetap sulit karena mencari pekerjaan di luar negeri tidaklah mudah," kata Yanuar.
Ia menilai gerakan ini lebih bersifat simbolis dibandingkan eksodus nyata. "Banyak yang hanya ingin menunjukkan bahwa jika mereka punya uang, mereka akan pergi," tambahnya.
Fenomena ini juga menunjukkan kontradiksi dengan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Prabowo Subianto. Di lapangan, sentimen yang berkembang justru menunjukkan ketidakpuasan yang signifikan.
Primawan Satrio, warga Indonesia di Korea Selatan sejak 2020, mengaku enggan kembali ke Indonesia karena kebijakan pemerintah. Ia menyoroti pemotongan anggaran pendidikan dan penelitian yang berdampak pada karier istrinya sebagai peneliti medis.
Pemerintahan Prabowo berencana memangkas anggaran kementerian dan lembaga negara sebesar Rp306 triliun. Pemotongan ini termasuk anggaran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berkurang Rp1,4 triliun atau hampir 25 persen dari total Rp5,8 triliun.
"Kami tidak berencana kembali karena istri saya ingin berkarier di luar negeri, baik sebagai dokter spesialis di Jepang atau Australia maupun peneliti di Korea Selatan. Tahun depan, kami mempertimbangkan mengajukan izin tinggal permanen di sini," kata Primawan.
Gerakan ini juga memicu kekhawatiran akan potensi brain drain. Pada 2023, terungkap bahwa hampir 4.000 warga Indonesia menerima paspor Singapura antara 2019 dan 2022.
Namun, Sumitro di Berlin tidak melihat hal ini sebagai kerugian bagi Indonesia. "India mendapat banyak manfaat dari warganya yang bekerja di AS dan Eropa, baik melalui remitansi maupun transfer pengetahuan," ujarnya.
Meski masih berupa diskusi daring, Yanuar menilai pemerintah harus segera bertindak. "Pemerintah Prabowo harus memenuhi janji-janji kampanyenya, seperti membuka lapangan kerja dan menjamin kepastian hukum, agar generasi muda tidak semakin ingin pergi," pungkasnya.
Tulisan: Aribowo
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Editor : Pahlevi