Ketika 'Wakil Tuhan' Terjerat Dugaan Suap di Negeri ini, Pada Siapa Kita Harus Percaya?

Reporter : Seno
images - 2022-09-26T175450.160

Optika.id - Seorang 'Wakil Tuhan' atau Hakim Agung Sudrajad Dimyati telah ditahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Dugaan rasuah yang menjerat 'Wakil Tuhan' ini menimbulkan sejumlah kekhawatiran.

Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, menyoroti soal Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan suap pengurusan perkara di MA.

Baca juga: Komisi Yudisial Bentuk Satgasus Kasus Suap di Mahkamah Agung

Kalau hakim agung tersangka KPK, maka ini artinya gempa besar di Mahkamah Agung. Sebab hakim itu adalah wakil Tuhan di muka bumi ini, kata Nasir dalam keterangannya, Minggu (25/9/2022).

Menurutnya, ini sudah sangat membahayakan eksistensi lembaga pengadil tersebut.

Ini menunjukkan bahwa uang masih menjadi alat tukar ketukan palu hakim. Kalau di level Hakim Agung begitu, maka bagaimana potret transaksional putusan pengadilan di bawahnya? kata dia.

Politisi PKS ini menyebut badan pengawas Mahkamah Agung harus bekerja ekstra agar mampu mendisiplinkan para Hakim Agung dan hakim yang ada di bawahnya.

Pembusukan di lembaga peradilan bisa dihindari jika pengawasan melekat pimpinan ke bawahannya berjalan efektif dan subtantif, tukasnya.

Senada Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter Kaban mengaku khawatir dengan kasus ini. Dia menyebut ada kemungkinan masih banyak praktik korupsi di lembaga peradilan selain kasus yang menjerat Sudrajad.

"Lemahnya proses pengawasan lembaga, baik oleh Badan Pengawas MA maupun Komisi Yudisial, semakin membuka celah terjadinya korupsi di sektor peradilan. Kondisi tersebut memungkinkan masih banyaknya oknum hakim dan petugas pengadilan yang korup namun tidak teridentifikasi oleh penegak hukum," ujar Lalola, Minggu (25/9/2022).

Dia mengatakan kinerja MA belakangan juga sering menjadi sorotan masyarakat. Terutama, katanya, terkait vonis rendah bagi para pelaku korupsi.

"Jika dilihat beberapa tahun terakhir, kinerja MA justru mendapat banyak sorotan dari masyarakat. Beberapa di antaranya adalah pengenaan hukum ringan terhadap pelaku korupsi yang berulang. Berdasarkan data tren vonis yang dikeluarkan oleh ICW, tercatat pada 2021 rata-rata vonis pengadilan hanya mencapai 3 tahun 5 bulan," ujarnya.

Dia mengatakan Sudrajad merupakan sosok yang menjadi sorotan sejak proses seleksi calon Hakim Agung pada 2013. Saat itu, Sudrajad terkena isu 'lobi toilet' di DPR meski akhirnya dia dinyatakan bersih oleh MA dan Komisi Yudisial (KY).

Lalola mengatakan Sudrajad kembali ikut seleksi dan lolos pada 2014. Menurutnya, proses seleksi di DPR tidak mempertimbangkan sisi integritas.

"Setelah diperiksa oleh Komisi Yudisial, dia akhirnya gagal menjadi Hakim Agung pada 2013. Namun, setahun kemudian, dia dipilih menjadi Hakim Agung Kamar Perdata. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa proses seleksi calon Hakim Agung tidak mengedepankan nilai-nilai integritas," katanya.

Dia berharap KPK berani mengusut tuntas kasus ini dan membersihkan lembaga peradilan dari mafia kasus. "KPK mengembangkan perkara dan menindak seluruh pihak yang diduga terlibat dalam perkara ini, untuk memastikan pemberantasan mafia peradilan berjalan optimal," ucapnya.

Khawatir Fenomena Gunung Es

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga khawatir dengan kasus ini. YLBHI menilai banyak kasus suap menyuap hingga pungli terkait peradilan dan kasus yang menjerat Sudrajad cuma puncak 'gunung es'.

"Ini merupakan sebuah potret di mana menggambarkan gunung es permasalahan dari masih tingginya praktik suap menyuap, korupsi, praktik pungli dan praktik-praktik lain dari buruknya pelayanan peradilan, ini jelas gambaran dari masih bermasalahnya upaya-upaya reformasi peradilan gitu," kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur.

Isnur mengatakan reformasi peradilan belum berhasil menghilangkan praktik suap, bahkan di MA. Dia mengatakan kasus yang menjerat Sudrajad harus disikapi secara serius oleh MA.

Isnur menyebut praktik suap pengurusan perkara sudah sering terjadi. Dia mengatakan kasus suap di lembaga peradilan membuat negara seolah tak memiliki hukum.

"Ini menjadi tamparan keras bagi Mahkamah Agung bisa menjawab dan saya juga mendengar sebenarnya praktik suap menyuap ini terjadi di perkara-perkara lain. Jadi bagi teman-teman advokat sudah jadi rahasia umum. Hakim minta uang gitu," katanya.

"Jadi ini harus segera disikapi serius karena peradilan itu benteng terakhir pengadilan masyarakat ya. Kalau kemudian benteng pengadilan masyarakat masih seperti ini ya tidak ada hukum di negara kita," tambahnya.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman mengaku prihatin dengan kasus yang menjerat Sudrajad Dimyati. Zaenur menyebut Sudrajad menyandang gelar 'agung' tapi malah terjerat kasus dugaan korupsi.

"Tetapi ada satu kebiasaan buruk, yaitu jual beli perkara tampaknya belum bisa bersih dari institusi MA. Setelah kita sering mendengar ada OTT para hakim di tingkat pertama maupun banding, kali ini tidak main-main, yaitu seorang hakim agung, hakim yang menyandang kata agung tetapi perilakunya sangat memprihatinkan," katanya.

Zaenur menyebut pembaruan di MA masih menyentuh kualitas pelayanan dan prasarana. Namun, katanya, pembaruan belum menyentuh sektor budaya dan perilaku para pegawainya.

"Pembaruan di Mahkamah Agung belum menyentuh aspek dasar, yaitu perubahan budaya. Memang ada beberapa hasil dari pembaruan di Mahkamah Agung, antara lain peningkatan kualitas pelayanan maupun sarana-prasarana. Pembaruan Mahkamah Agung harus menyentuh aspek mendasar, yaitu aspek perubahan budaya, aspek perubahan perilaku, dan aspek perubahan cara berpikir," ujarnya.

Merasa Berdosa

Mantan Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh mengaku merasa berdosa usai hakim agung Sudrajad Dimyati ditetapkan sebagai tersangka suap oleh KPK. Imam merasa berdosa lantaran dia merupakan penyeleksi yang meloloskan Sudrajad Dimyati menjadi hakim agung.

Imam saat itu sebagai anggota Komisi Yudisial (KY). Dia bertugas menelusuri rekam jejak Sudrajad Dimyati.

"Ada perasaan berdosa ikut merekrut hakim agung yang ternyata bermasalah," kata Imam, Minggu (25/9/2022).

Penelusuran terhadap rekam jejak Sudrajad Dimyati itu kali pertama dilakukannya pada 2014 lalu. Kala itu, Imam ditugaskan untuk menelusuri sosok Dimyati di Yogyakarta.

"Saya pernah dua kali terlibat urusannya. Pertama saat saya sebagai komisioner Komisi Yudisial (KY) mendapat tugas men-track dia sebagai calon hakim agung di rumahnya di Yogyakarta," bebernya.

Saat melakukan tracking rumah Sudrajad Dimyati di Yogyakarta, Imam melihat tidak ada yang mencolok. Kondisi rumah Sudrajad Dimyati disebutnya terbilang sederhana dan tidak ada mobil atau motor mewah.

"Rumah dan hartanya tidak mencolok sebagai hakim tinggi, waktu itu. Rumahnya sederhana, tipe 90-an di kawasan perumahan sederhana. Istrinya setiap hari sibuk dengan urusan simpan pinjam di pasar dekat rumahnya. Tidak ada mobil atau motor mewah. Anak-anaknya juga tertib kuliah dan sekolah. Isi rekeningnya juga wajar, hanya puluhan juta, bukan ratusan juta, apalagi miliaran. Hubungan dengan para tetangga dekat juga harmonis," tuturnya.

Imam lalu memberikan nilai baik. Wajar tanpa pengecualian (WTP), kata Imam Anshori Saleh, meminjam istilah BPK.

"Maka laporan saa diterima rapat tujuh komisioner. Hasilnya Sudrajad Dimyati bisa lanjut ke DPR. Saya memberikan ucapan selamat," kisahnya.

Imam juga menyinggung soal isu 'lobi toilet' antara Sudrajad Dimyati dan anggota DPR yang sempat heboh kala itu. Setelah dilakukan pemeriksaan, hasilnya isu itu tidak terbukti.

Imam mengaku sempat dimintai keterangan oleh Majelis Kehormatan Dewan (MKD) karena membuka ada praktik suap di DPR untuk meloloskan hakim agung.

"Itulah sepenggal kisah terkait persentuhan saya dengan Sudrajat Dimyati mulai dari calon hakim agung sampai dia jadi tahanan KPK hari ini," katanya.

Jangan Panggil Yang Mulia

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa mengaku prihatin atas kasus yang menjerat hakim agung Sudrajat Dimyati. Oleh sebab itu, Harifin menegaskan kembali agar masyarakat dan semua pihak tidak lagi memanggil hakim dengan panggilan 'Yang Mulia'.

"Betul (setop panggilan Yang Mulia). Dari dulu saya memang tidak setuju panggilan itu," kata Harifin, Senin (26/9/2022).

Harifin sudah mengingatkan agar panggilan Yang Mulia itu disetop sejak Juni 2020. Ada kegelisahan yang mendalam mengapa Harifin Tumpa menolak hakim dipanggil Yang Mulia. Dirinya sendiri pun menolaknya. Namun belakangan panggilan Yang Mulia kerap digunakan, bahkan dibuat aturan tertulis agar siapa pun memanggil Yang Mulia. Bahkan, di luar sidang pun dipanggil Yang Mulia.

"Hakim itu hanya manusia biasa. Hanya ia diberi amanah," ucap Harifin Tumpa yang menjabat sebagai Ketua MA 2009-2022.

Baca juga: KPK Geledah Kantor Hakim Agung dan Sekretaris MA

Kegelisahan Harifin kini terbukti. Hakim agung Sudrajat Dimyati kini ditahan KPK atas dugaan korupsi suap. Hakim agung yang menjadi penjaga final keadilan harus berurusan dengan lembaga anti korupsi itu. Padahal, putusan hakim agung final dan mengikat serta tidak bisa diubah lagi.

"Kami semua korps hakim turut merasa tercemar dengan ulah segelintir manusia yang masuk korps Hakim Agung. Mudah-mudahan ini yang pertama dan terakhir," tukasnya.

Kronologis Kasus

Kasus dugaan suap yang menjerat Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Jakarta dan Semarang sejak Rabu (21/9/2022). KPK mengamankan delapan orang dalam OTT itu. Sudrajad tidak termasuk yang diamankan dalam OTT.

Setelah melakukan gelar perkara, KPK menetapkan sepuluh orang sebagai tersangka, termasuk Sudrajad Dimyati. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan kasus dugaan suap ini terkait dengan proses pengajuan kasasi perkara pidana dan perdata aktivitas koperasi simpan pinjam Intidana (ID) yang awalnya diadili di Pengadilan Negeri Semarang.

Gugatan itu diajukan oleh debitur Koperasi Simpan Pinjam ID, Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS). Kedua pihak itu diwakili kuasa hukumnya, yakni Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES).

"Saat proses persidangan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, HT dan ES belum puas dengan keputusan pada dua lingkup pengadilan tersebut sehingga melanjutkan upaya hukum berikutnya di tingkat kasasi pada Mahkamah Agung," kata Firli dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (23/9/2022) dini hari.

Firli mengatakan Heryanto dan Ivan Dwi melakukan pengajuan kasasi dengan masih mempercayakan Yosep dan Eko sebagai kuasa hukumnya pada 2022. KPK menduga Yosep dan Eko melakukan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan Majelis Hakim yang nantinya bisa mengkondisikan putusan sesuai dengan keinginan Yosep dan Eko.

Firli menduga PNS di MA, Desy Yustria, mengajak Elly Tri Pangestu (ETP) selaku Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA dan Muhajir Habibie (MH) selaku PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung untuk menjadi penghubung penyerahan uang ke Majelis Hakim yang bakal mengadili kasasi. Desy dkk diduga menjadi representasi dari Sudrajad Dimyati (SD) dan beberapa pihak di MA untuk menerima uang dari pihak-pihak yang mengurus perkara. KPK juga menjelaskan dugaan aliran uang ke para pihak terkait perkara ini. Sudrajad Dimyati diduga telah menerima Rp 800 juta.

"Terkait sumber dana yang diberikan YP dan ES pada Majelis Hakim berasal dari HT dan IDKS. Jumlah uang yang kemudian diserahkan secara tunai oleh YP dan ES pada DY sejumlah sekitar SGD 202.000 (ekuivalen Rp 2,2 miliar) yang kemudian oleh DY dibagi lagi dengan pembagian DY menerima sekitar sejumlah Rp 250 juta, MH menerima sekitar sejumlah Rp 850 juta, ETP menerima sekitar sejumlah Rp 100 juta dan SD menerima sekitar sejumlah Rp 800 juta yang penerimaannya melalui ETP," jelasnya.

"Dengan penyerahan uang tersebut, putusan yang diharapkan YP dan ES pastinya dikabulkan dengan menguatkan putusan kasasi sebelumnya yang menyatakan KSP ID pailit," tambahnya.

Berikut daftar 10 tersangka kasus suap menyuap itu:

Sebagai Penerima:

- Sudrajad Dimyati, Hakim Agung pada Mahkamah Agung

- Elly Tri Pangestu, Hakim Yustisial/Panitera Pengganti Mahkamah Agung

- Desy Yustria, PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung

- Muhajir Habibie, PNS pada Kepaniteraan Mahkamah Agung

- Redi, PNS Mahkamah Agung

- Albasri, PNS Mahkamah Agung

Sebagai Pemberi:

- Yosep Parera, Pengacara

- Eko Suparno, Pengacara

Baca juga: Mahfud MD Sebut Upaya Pemberantasan Korupsi Boncos di MA

- Heryanto Tanaka, Swasta/Debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana)

- Ivan Dwi Kusuma Sujanto, Swasta/Debitur Koperasi Simpan Pinjam ID (Intidana)

Sudrajad Dimyati kemudian ditahan KPK pada Jumat (23/9/2022). Dia juga diberhentikan sementara oleh Mahkamah Agung.

"Jika aparatur pengadilan itu sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan maka Mahkamah Agung akan mengeluarkan surat pemberhentian sementara terhadap aparatur tersebut," kata Ketua Kamar Pengawasan MA Zahrul Rabain di Gedung KPK.

Hakim Agung Sudrajad Dimyati mengaku tak tahu apa-apa terkait kasus dugaan suap pengurusan perkara yang menjeratnya sebagai tersangka. Padahal, KPK menduga Sudrajad Dimyati merupakan pelaku utama dalam dugaan kasus suap tersebut.

Klaim tak tahu apa-apa itu disampaikan Sudrajad Dimyati saat dihubungi pada Jumat (23/9/2022) dini hari. Sudrajad mengaku dirinya bersih.

"Saya clear pak. Saya tidak tahu apa-apa," kata Sudrajad.

Sudrajad memang berada di rumahnya saat pengumuman tersangka disampaikan oleh KPK. Sudrajad Dimyati menyebut bila pada Kamis (22/9/2022) pagi dirinya ke kantor.

Dia mengatakan asistennya, Elly Tri Pangestu yang juga telah menjadi tersangka, pamit secara lisan dengan alasan diminta datang ke KPK untuk diminta menjadi saksi. Sudrajad Dimyati mengaku mempersilakan Elly untuk ke KPK. Dia menyebut Elly belum muncul hingga dirinya hendak pulang menjelang sore.

"Saya ke dokter gigi sore," kata Sudrajad Dimyati.

Klaim tak tahu apa-apa itu kemudian ditepis KPK. Menurut KPK, tersangka yang diduga sebagai pelaku utama dalam suatu kasus sering nyaris tak pernah berkomunikasi alias menggunakan kaki tangan.

"Dalam banyak kasus juga, pelaku utama itu hampir atau nyaris tidak pernah melakukan komunikasi yang bisa kemudian dicapture oleh KPK. Selalu menggunakan kaki tangan dan sebagainya. Dari pengakuan dan keterangan para pihak tersebut kemudian kami bisa meyakini terdapat cukup alat bukti untuk menetapkan tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di kantornya.

Hal itu disampaikan Alexander untuk menjawab pertanyaan tentang apa peranan Sudrajad Dimyati dalam kasus ini. Alexander juga mengatakan KPK melakukan penindakan atas kecukupan alat bukti.

"Itu yang kemudian kami lakukan penindakan terhadap para pelaku utama tersebut," ucapnya.

Alexander juga menyebut ada dugaan Sudrajad Dimyati tak cuma terlibat dugaan suap pada satu perkara. Hal tersebut disampaikan oleh Alexander saat ditanya apakah ada dugaan suap terkait perkara lain yang diduga melibatkan Sudrajad.

"Jadi dari keterangan beberapa saksi yang sudah diperiksa dan juga bukti elektronik maupun dari hasil apa, pemeriksaan sementara. Diduga, tidak hanya terkait dengan perkara yang kami sampaikan saat ini," ujar Alexander.

Dia mengatakan dugaan suap perkara lain itu juga diduga melibatkan orang-orang yang sama dengan kasus yang sedang diusut KPK. Dia mengatakan KPK bakal melakukan pengembangan terkait dugaan suap untuk perkara lain itu.

"Diduga juga ada perkara-perkara lain yang pengurusannya melibatkan orang-orang yang sama. Jadi, masih satu jalur, pengurusannya itu ada beberapa perkara yang tentu nanti ketika dari hasil pengembangan penyidikan, diperoleh kecukupan alat bukti dan menentukan siapa tersangkanya, tentu akan kami sampaikan," pungkasnya.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru