Generasi Muda Perlu Jeli Membaca Sejarah

Reporter : Seno
Screenshot_20221012-100218_Docs

[caption id="attachment_15157" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah[/caption]

Optika.id - Kalau saya ingin mendapatkan berita yang seimbang tentang kejadian-kejadian politik ekonomi di dunia ini saya selalu menonton saluran TV internasional baik yang dari pihak barat seperti CNN, FOX, CNBC, Bloomberg, BBC, ABC dsb juga dari pihak yang berseberangan dengan narasi yang dibangun pihak barat yaitu CGTN dari Cina, TRT Turkiye, Russian Today (RT) dari Rusia dsb.

Baca juga: Keturunan India Menjadi Presiden Singapura

Khusus RT dari Rusia itu saya selalu melihat berita dunia maupun acara debat dengan pembicara tokoh-tokoh penting dari Amerika Serikat, India, Inggria, Rusia dsb ttentang perseteruan barat dengan Rusia terutama soal perang antara Rusia Vs Ukraina yang masih berlangsung. Kalau ada berita dari pihak media barat tentang kemenangan Ukraina diberbagai front, lalu saya cek berita di RT tentang kebenarannya, dan begitu sebaliknya.

Namun sejak tanggal 9 Oktober 2022 saya agak terkejut ketika Russian Today menanyangkan film tentang pembunuhan masal tahun 1965 atau Genocide in Indonesia 1965. Saya agak terkejut karena film yang berdurasi 30 menit ini ditayangkan sebanyak 3 X (ini yang saya tonton) dan dengan tujuan apa RT menayangkan film itu saya tidak tahu (tentu saya yakin tidak ada hubungannya dengan isu-isu pemerintah akan meminta maaf kepada korban pembunuhan tahun 1965.)

Saya yang pada saat pemberontakan G30S PKI tahun 1965 sudah dikelas 6 Sekolah Rakyat (sekarang SD) menyaksikan bagaimana situasi genting menjelang dan sesudah G30S PKI. Saya juga sudah banyak mendengar dari keluarga saya yang menjadi aktivis organisasi Islam baik NU maupun Muhammadyah tentang sejarah pemberontakan PKI tahun 1948 dimana banyak ulama dan pemuda Islam dibantai PKI dengan cara-cara yang brutal maka nalar saya sudah bisa melakukan self-filtering atau menyaring sendiri informasi dari film yang ditayangkan channel TV Rusia itu.

Namun bagi generasi muda terutama generasi milenial tentu sedikit banyak bisa terpengaruh dengan tayangan film itu. Film itu sebenarnya adalah garapan wartawan Jerman tentang sikap pemerintah Jerman Barat terhadap pembunuhan masal terhadap orang-orang yang diduga anggota PKI. Film Genocide in Indonesia 1965 itu memunculkan tokoh yang bernama Kristian Erdianto Bedjo Untung yang lahir pada 14 maret 1948 seorang pimpinan yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965. Di awal tayangan film ini menunjukkan Bedjo Untung sebelum diwawancarai sedang bermain piano dengan lagu Genjer-Genjer, sebuah lagu yang populer dikalangan anggota Partai Komunis Indonesia atau PKI dan bahkan dijadikan semacam lagu kebangsaannya.

Bedjo Untung ketika masih usia 22 tahun tahun 1970 ditangkap pihak TNI karena dituduh terlibat dalam gerakan PKI menceritakan secara grafik/detail cara-cara pihak aparat menangkap anggota PKI, disiksa, jari-jari diikat kawat kecil dan dihubungkan dengan aliran listrik, badan disayat-sayat dengan silet dan bahkan kepalanya dipenggal. Para korban penangkapan yang masih hidup yang ada di film ini juga menunjukkan kuburan masal korban pembunuhan di Pemalang Jawa Tengah maupun Purwodadi Jawa Timur.

Baca juga: Kecurangan Pemilu Tidak Hanya di TPS

Bahkan ada ibu-ibu yang diwawancarai itu menceritakan bagaiman mereka diperkosa secara bergiliran oleh pihak-pihak aparat padahal usianya masih 14 tahunan. Di penghujung film ditampilkan aktivis hukum Nursyahbani Katjasungkana yang mengeluarkan pendapat bahwa kalau pihak pemerintah Jerman meminta maaf atas sikap pembiarannya terhadap pembunuhan masal di Indonesia tahun 1965 itu akan berdampak serius bagi pemerintah Indonesia.

Memang di film itu sering ditunjukkan dokumen-dokumen resmi pihak pemerintah Jerman Barat (waktu itu) berdasarkan laporan dari Kedutaan Besarnya di Jakarta yang menjelaskan peristiwa G30S PKI berikut tokoh-tokoh yang terlibat dan jumlah anggota PKI yang dibunuh yang berkisar 500 ribu s/d 3 juta orang. Pemerintah Jerman Barat menganggap PKI sangat bahaya terhadap barat dan kalau PKI menang jelas akan membuka hubungan dengan Jerman Timur yang komunis.

Para generasi muda kalau melihat film seperti itu harus melakukan check dan Recheck baik dengan membaca berbagai sumber maupun berdikusi dengan tokoh-tokoh yang mengetahui dan mengalami bagaimana kejamnya PKI itu baik pada saat memberotak pada tahun 1948 juga tahun-tahun menjelang tahun 1965. Generasi muda perlu juga melengkapi dirinya dengan berbagai informasi serta jeli menangkap narasi yang dimunculkan dalam sebuah film (atau buku, berita dsb).

Baca juga: Polusi Udara DKI Sebagai Pembenar Perlunya IKN

Misalnya dalam film yang ditayangkan Russian Today itu disebutkan bahwa Jendral Suharto take advantage atau mengambil keuntungan dari peristiwa G30S PKI, dan ada subtitle dari wawancara dengan tokoh pendiri Fron Anti Komunis Indonesia yang mengatakan semangat mengganyang PKI itu dengan terjemahan Excited sehingga otak pemirsa akan merekam bahwa si bapak itu sangat senang membunuh PKI. Narasi seperti itu sangat menyesatkan pemirsa yang tidak jeli. Apalagi film itu tidak berimbang karena tidak mewancarai korban (para ulama, Jendral TNI AD) kebiadaban PKI.

Kalau kita tidak jeli, maka akan muncul pembenaran bahwa PKI hanyalah korban karena itu pemerintah harus meminta maaf pada mereka atau bahwa sebenarnya PKI tidak memberontak, tapi Angkatan Darat dsb.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru