Fiqh Baru dan Piagam PBB

Reporter : Seno

Oleh: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA

Baca juga: Rebuilding Indonesia Anew

Optika.id - Dalam resepsi Hari Lahir NU ke 100 yang dilaksanakan di stadion Gelora Delta pada 7 Pebruari 2023, Gus Mus dan Yeni Wachid mendeklarasikan Rekomendasi Hasil Muktamar Fiqh Peradaban yang diselenggarakan sehari sebelumnya di sebuah hotel berbintang lima di Surabaya. Paling tidak rekomendasi ini mencakup pandangan NU sebagai berikut.

Pertama, tradisi fiqh klasik yang mencita-citakan menyatukan ummat Islam dalam sebuah naungan tunggal atau negara khilafah harus digantikan oleh fiqh baru demi mewujudkan kemaslahatan ummat. Negara khilafah yang menempatkan non-muslim sebagai musuh bukanlah hal yang pantas dilakukan, juga tidak pantas dijadikan aspirasi. ISIS disebut sebagai contoh paling meyakinkan bahwa cita-cita dan aspirasi ini telah menyebabkan kekacauan sekaligus bertentangan dengan maqashidus syari'ah.

Kedua, piagam PBB walaupun tidak sempurna dan mengandung masalah dipandang masih memiliki niyat baik untuk mengakhiri perang yang amat merusak dan praktek-praktek biadab yang mewarnai sejarah hubungan internasional. Piagam PBB dan PBB dinilai bisa menjadi pijakan paling kokoh bagi pengembangan fiqh baru untuk mewujudkan peradaban yang damai, adil dan harmonis.

Deklarasi NU ini perlu dicermati sekaligus disikapi. Pertama mengatakan bahwa secara konsep khilafah memperlakukan non-muslim secara tidak adil adalah tidak benar, dan secara historis tidak sesuai dengan fakta. Gereja dan sinagog dihormati oleh khilafah, sementara ilmuwan-ilmuwan non-muslim mencapai ketinggian iptek justru selama di bawah kekhilafahan Islam.

Kebangkitan Islam justru telah melahirkan peradaban baru yang telah menyelamatkan Eropa dari kegelapan ilmu pengetahuan dan spiritual akibat gereja yang korup. Kehidupan non-muslim jauh lebih baik dalam khilafah daripada di bawah Romawi ataupun Persia. Tentu ada sisi kelam dalam praktek khilafah, tapi menafikan peran khilafah dalam sejarah dunia adalah sikap gegabah.

Perang Dunia I mengakhiri khilafah Usmani. Lalu dunia memasuki era yang penuh konflik karena unfinished business yang ditinggalkan oleh PDI. Segera setelah PBB dibentuk usai Perang Dunia II, dunia justru memasuki masa yang penuh ketegangan perang dingin antara AS dan sekutunya melawan USSR.

Bahkan PDII hanya bisa diakhiri dengan Bom Atom atas Hiroshima dan Nagasaki. Kini, NATO yang dipimpin AS menjadikan Ukraina sebagai front baru konflik yang berpotensi meledak menjadi perang nuklir yang pasti akan menjadi Perang Dunia III.

Baca juga: Kekalahan Resmi Politik Islam di Indonesia

Selama kepemimpinan PBB, ekosistem global semakin rusak oleh model pembangunan yang terobsesi pertumbuhan yang dilakukan sebagian besar melalui eksploitasi sumberdaya alam di negara-negara miskin. Melalui WTO dan IMF, eksploitasi ini dalam praktek merupakan penjajahan baru yang oleh Bung Karno disebut sebagai nekolim. Melalui konsep democracy, reinventing government and new public administration, investasi asing dan hutang menjadi instrumen nekolimik.

Selama 70 tahun lebih di bawah PBB, kita menyaksikan perang Vietnam, dan Korea, lalu di awal abad 21 penghancuran Syiria, Iraq, dan Libya serta pendudukan Afghanistan oleh Rusia dan kekuatan2 Barat di bawah slogan demokrasi. Seperti yang dikatakan Blum, demokrasi adalah ekspor AS yang paling mematikan.

Bahkan oleh Noam Chomsky, organisasi yang paling berbahaya di planet ini adalah Partai Republik AS, bukan ISIS, Al Qaedah, apalagi HTI dan FPI. Organisasi lain yg bisa menandingi partai Republik AS hanya partai Demokrat AS. AS di bawah Trump atau Biden di dunia adalah semacam Satgas Merah Putih di bawah Sambo di Indonesia.

Benar bahwa kita membutuhkan fiqh baru. Tidak cuma itu, kita juga butuh tawhid baru, serta ilmu-ilmu lain termasuk ilmu ekonomi dan ilmu politik serta ilmu pemerintahan baru. Ilmu-ilmu yang kita kenal saat ini terbukti gagal membawa keadilan dan perdamaian, apalagi harmoni.

Baca juga: Kembali ke UUD1945: Challenges and Responses

Nubuwah Rasulullah SAW juga yang meramalkan kehadiran mujadid setiap seratus tahun. Setelah keruntuhan khilafah Turki Usmani pada 1924, ummat Islam merindukan kelahiran sang pembaru itu saat-saat ini. Kerinduan itu valid and legitimate, seperti kerinduan Barat pada kebesaran Romawi.

Seperti dikatakan Iqbal lebih seratus tahun silam, al Qur'an terlalu lama dilihat dengan sinar dari Yunani, kita memerlukan rekonstruksi pemikiran Islam. Mengambil rekonstruksi fiqh baru dari piagam PBB dan PBB yang gagal mewujudkan cita-citanya sendiri adalah jalan yang keliru, jika bukan sesat.

Surabaya, 9 Februari 2023

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru