Revisi UU KPK dan Indeks Persepsi Korupsi, Jokowi Tak Bertanggung Jawab?

Reporter : Danny

Optika.id -Persoalan korupsi terus menerus menderap bangsa Indonesia. Hampir setiap lini cabang kekuasaan pernah terlibat praktik rasuah, mulai dari eksekutif, legislatif, sampai pada ranah yudikatif. Bukan hanya merusak perekonomian, namun efek dari kejahatan korupsi juga menyentuh aspek demokrasi, bahkan lebih jauh pada pelanggaran hak azasi manusia.

Data Indonesia Corruption Watch sepanjang tahun 2018 negara telah dirugikan Rp 9,2 triliun akibat praktik-praktik korupsi. Kontestasi elektoral pun terganggu akibat praktik rasuah, kepala daerah silih berganti menjadi tersangka karena terbukti menjadikan kewenangan luas sebagai bancakan korupsi.

Citra Indonesia di mata dunia pun tidak menunjukkan perbaikan signifikan, Indeks Persepsi Korupsi terbitan Transparency International tahun 2019 masih menempatkan Indonesia pada peringkat 85 dari total 180 negara.

"Terdapat korelasi dengan dilemakannya KPK, istilahnya kpk sudah dimatikan. Tidaklah masih eksis bagi saya, sudah berubah wujud nama aja tapi juga spiritnya sudah hilang dan berbeda. Karena disitulah, ros anti korupsi ditiupkan dari KPK, termasuk indepedensi kelembagaan integritas, personalnya dan tidak kalah penting yakni kemampuan untuk menjaga jarak, menghindar dari politik praktis yang mengganggu penegakan hukum," ungkap Prof. Deny Indrayana kepadaOptika.id,Jumat, (17/2/2023).

Merujuk pada penjelasan Lawrence M Friedman menyatakan bahwa untuk mengukur efektivitas dari implementasi hukum di sebuah negara merujuk pada 3 (tiga) indikator, yakni struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Keseluruhan poin tersebut masih menjadi persoalan di Indonesia, utamanya terkait komitmen negara terhadap kejahatan korupsi.

"Berdasarkan hasil kajian yang saya buat dari teman-teman ICW kemudian dijadikan judul "Bunuh KPK" disitu ada beberapa konsep bagaimana seharusnya KPK dikuatkan dan dikukuhkan. Salah satu elemen vitalnya adalah independensi kelembagaan, identitas personilnya bagi hadirnya KPK yang kuat untuk menjaga Indonesia dari tindakan korupsi," jelasnya.

Perubahan UU menurutnya akan merusak banyak elemen seperti KPU, Komnas HAM. KPK adalah independen agency yang hadir sebagai lembaga negara non konvensional. Sehingga, tidak akan memungkinkan jika UU KPK direvisi.

"Jadi, jika kita membaca, dengan tegas mengatakan model pemisahan kekuasaan KPK ini sudah ketinggalan jaman. KPK memerlukan eksistensi dari Komisi Yudikatif dan Eksekutif," terangnya.

"Dengan demikian, KPK sangat mudah ditarik ke ranah politik, rekam jejak pimpinan KPK yang sekarang bisa dilacak bagaimana problematikanya, bagaimana melanggar etika bahkan ketika dituntut bisa masuk dalam tindakan korupsi itu. Hal ini sudah menjadi rahasia umum dan pemberitaan bagaimana fasilitas yang seharusnya menjadi etika dasar itu sudah dilanggar oleh pimpinannya. Akhirnya merubah slogan KPK dari berani itu jujur, menjadi keluarkan orang yang jujur. Mengetahui ini, saya sangat kecewa karena orang-orang penting dan orang hebat di KPK sudah tidak ada lagi disana," ujarnya.

Maka dari itu, perubahan revisi UU KPK seharusnya tidak melakukan ini karena akan merusak seluruh komponen, dari awalnya baik-baik saja akan menjadi tidak seperti semula.

"Itu inisiatif dpr jadi tidak bisa dihindari," ujar Jokowi.

Masih menurut Deny, peraturan dianggap menjadi tujuan bersama sehingga banyak pihak yang mempunyai wewenang untuk tidak menyetujui hal tersebut.

"Sistem legislasi Indonesia, peraturan itu persetujuan bersama, seharusnya presiden bisa tidak menyetujui hal itu, maka perubahan uu kpk tidak akan lolos menjadi uu kpk. Menurut saya, argumentasi dari presiden yang tidak bisa mengganti menandakan bahwa Jokowi tidak bertanggungjawab atas semua ini," pungkasnya sembari memberikan closing statement melalui platform Zoom bertajuk "Diskusi Akhir Pekan" itu.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru