Optika.id - Spesies manusia Homo Bataviensis bersusah payah membangun kota Batavia yang berulang kali dilanda wabah epidemi ganas. Leonard Blusse dalam Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, Belanda di Batavia Kompeni VOC dikutip Optika.id, Senin (31/7/2023) menyebut jika tantangan ekologi menelan ribuan korban jiwa, semakin parah akibat pembabatan hutan yang diganti dengan penanaman perkebunan tebu dan pendirian pabrik-pabrik. Limbah mencemari air bersih seiring dengan banyak tanah menjadi tandus.
Baca juga: PKS Meminta Maaf ke Warga Jakarta Usai Batal Dukung Anies-Sohibul: Ini Rasional!
Seleksi alam sangat ketat, kehidupan survival Homo Bataviensis sangatlah berat. Usai tantangan ekologi, Homo Bataviensis menghadapi tantangan dari kekuatan militer paling berkuasa di pulau Jawa. Pasukan Sultan Agung menggempur benteng Batavia pada 1628.
Situasi krisis telah berlalu, wabah pergi menjauh seperti prajurit-prajurit Jawa yang gagal menaklukkan Batavia. Habis gelap terbitlah terang. Suksesi dan anarki politik yang menimpa kerajaan Mataram membuka gerbang kolonialisme Belanda.
Politik Devide et Impera atau Undangan Kolonialisme
Pada abad ke-17 dan 18, Kompeni VOC hanya kongsi dagang dengan kekuatan militer yang tidak dapat disandingkan dengan Mataram. Kudeta berdarah yang terus-menerus bergulir memecah kekuatan militer bahkan tanpa campur tangan Kompeni VOC. Suksesi dan intrik politik yang mengancam keutuhan Mataram berlangsung selama fraksi-fraksi tidak puas terhadap kesepakatan.
Secara berkala peperangan berkobar di tanah Jawa dari pemberontakan Surapati (1686-1703), perang saudara 1703-1708, perang saudara kedua 1718-1723 sampai Geger Pecinan 1740-1745. Pada 1742, fraksi pembelot Amangkurat III menggempur keraton Kartasura dan Susuhunan melarikan diri untuk memohon bantuan Kompeni VOC yang meminta imbalan wilayah pesisir pantai Jawa setelah tahta kembali. Dengan aliansi darurat ini, posisi Kompeni VOC menjadi setara dengan Mataram.
Persekutuan Kompeni VOC dan Mataram berlanjut pengiriman perwakilan dan perjanjian peniagaan yang nantinya menciptakan sempalan-sempalan kisah dari persepsi orang Jawa terhadap orang Belanda.
Badut Belanda
Baca juga: Adian Napitulu Bicara Kans Anies di Pilgub Jakarta!
Homo Bataviensis mempunyai persepsi buruk terhadap air. Menurut Bernard H. Vlekke dalam bukunya Nusantara: Sejarah Indonesia mereka takut basah dan kehujanan bahkan mandi hanya sekali seminggu. Homo Bataviensis gemar meniru gaya hidup bangsawan Eropa dari berburu hewan liar, berpakaian Eropa ketika berdansa dan minum segelas gin saat perut kosong. Homo Bataviensis mengikuti kebiasaan masyarakat Jawa umumnya, menutup pintu rumah dan jendela pada jam sembilan pagi serta menurunkan kelambu bertiang empat yang mengelilingi ranjangnya untuk mencegah gigitan nyamuk.
Rutinitas Homo Bataviensis tidak dijumpai di Eropa dan gaya hidupnya tidak dapat ditemui di kepulauan Nusantara manapun kecuali berburu.
Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia & Orang Perancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX menulis seorang Eropa berkebangsaan Perancis bernama Jean Baptiste Tavernier terheran-heran dengan tingkah laku Homo Bataviensis yang tidak mencerminkan etika orang Eropa maupun keberadaban budaya Timur.
Para majikan gemar menyiksa budak dan mempertontonkannya ke publik padahal mereka bekerja siang-malam tanpa istirahat sedangkan mereka lebih sering bermabuk-mabukan. Kisah nyonya istri anggota Dewan yang tanpa malu berselingkuh dengan budak berkulit hitam pekat serta kapten pelit yang tidak mau mengurangi jatah selusin biskuitnya untuk serdadu rendahan cukup menggambarkan sikap, perilaku dan pola pikir Homo Bataviensis.
Baca juga: 5 Cara Melakukan Cicilan Smartphone dengan Paylater
Akan tetapi, persepsi kaum elit Jawa terhadap Homo Bataviensis berbeda dengan penilaian penjelajah Eropa yang termanifestasi dalam naskah Serat Baron Sakendher dan Serat Surya Raja.
Sementara itu, M.C Ricklefs dalam Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa menulis, bagi kaum elit Jawa, Homo Bataviensis adalah badut-badut yang logat berbicaranya memicu tawa serta tingkah laku aneh dan kebiasaan konyolnya menghibur.Badut Belanda itu juga dihormati sebagaimana tokoh dewa-dewa karena menolong keraton Jawa dari kehancuran akibat konflik berkepanjangan.
Dalam wayang, para punakawan bertindak baik sebagai abdi pelawak maupun sebagai dewa-dewa pelindung dan penasihat kepada tokoh-tokoh utama dalam drama...Tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Petruk, Bagong, Gareng, Togog dan Saraita memiliki penampilan fisik dan perilaku aneh-aneh, disertai sifat tak dapat mati dan ucapan-ucapan yang berisi kebijaksaan merakyat, tulis Ricklefs, dikutip Optika.id, Senin (31/7/2023).
Pertemuan dengan budaya Eropa sempalan khas Homo Bataviensis cukup membingungkan bagi orang-orang Jawa yang telah berulang kali menjumpai orang Eropa, Asia bahkan Afrika. Homo Bataviensis memaksakan berpenampilan menyerupai bangsawan Eropa terkesan aneh karena tidak sesuai dengan daerah beriklim tropis. Rambut lebat dengan tubuh besar dan kulit putih yang senantiasa berkeringat merupakan ciri fisik Homo Bataviensis yang seringkali ditertawakan seperti keterangan dalam naskah-naskah Jawa dan arsip-arsip VOC.
Editor : Pahlevi