Optika.id - Gaya hidup generasi Z (Gen Z) selalu dinamis. Banyak faktor kehidupan yang menyebabkan mereka gampang berubah. Mulai dari cara pandang tentang kehidupan, merespon keadaan masyarakat dan negara, pola makan, pola pengelolaan keuangan, pola belanja, dan sebagainya.
Tren gaya hidup Gen Z terakhir berubah ke gaya hidup YONO. YONO (You Only Need One) merupakan filosofi yang menekankan kesederhanaan dan manajemen keuangan yang lebih sehat. Gaya hidup YONO menekankan bahwa seseorang hanya membutuhkan satu hal yang benar-benar esensial dalam hidupnya.
Gaya hidup ini mendorong generasi muda untuk lebih selektif dalam membeli barang, mengurangi konsumsi berlebihan, serta lebih fokus pada tabungan dan investasi.
Prinsip YONO tidak hanya berlaku dalam aspek finansial, tetapi juga dalam gaya hidup secara keseluruhan.
Gen Z yang mengadopsi konsep ini mulai menerapkan minimalisme, seperti memilih pakaian yang lebih fungsional, mengurangi barang yang tidak perlu, serta lebih sadar dalam mengelola keuangan demi masa depan yang lebih stabil.
Mengapa Gen Z berubah ke YONO. Ada beberapa faktor yang mendorong perubahan pola pikir ini:
Kesadaran Finansial yang Lebih Tinggi
Gen Z tumbuh di era di mana inflasi, kenaikan biaya hidup, dan ketidakpastian ekonomi semakin nyata. Banyak dari mereka yang menyadari pentingnya menabung, berinvestasi, dan mengelola keuangan dengan lebih bijak sejak dini.
Dampak Pandemi dan Krisis Ekonomi
Baca juga: Eri Cahyadi Resmi Launching Surabaya Expo Center, Wadah Kreasi Anak Muda
Pandemi menjadi salah satu titik balik bagi banyak orang, terutama anak muda, untuk lebih memikirkan stabilitas finansial jangka panjang. Banyak yang mengalami PHK, kesulitan ekonomi, dan ketidakpastian masa depan, sehingga mereka belajar untuk lebih selektif dalam membelanjakan uang.
Kesadaran Lingkungan yang Meningkat
Konsep YONO juga selaras dengan gerakan sustainability dan kepedulian terhadap lingkungan. Gen Z mulai memilih produk yang lebih tahan lama, mendukung bisnis lokal, serta mengurangi limbah konsumsi yang tidak perlu.
Pengaruh Digital dan Media Sosial
Tren YONO semakin kuat dengan munculnya banyak konten kreator di media sosial yang membahas tentang gaya hidup minimalis, keuangan sehat, dan investasi cerdas. Banyak anak muda yang terinspirasi untuk lebih berpikir panjang dalam mengatur hidup mereka.
Apa Sebabnya Gen Z Menganggap YONO Penting?
Tren YONO bukan sekadar gaya hidup minimalis, tetapi juga refleksi dari perubahan pola pikir dalam menghadapi tantangan ekonomi dan sosial.
Di tengah biaya hidup yang terus meningkat dan tekanan budaya konsumtif, semakin banyak anak muda yang menyadari bahwa memiliki lebih banyak bukan berarti lebih bahagia.
YONO mengajarkan bahwa dengan memilih hanya yang benar-benar esensial, seseorang bisa menjalani hidup yang lebih sederhana, terencana, dan bermakna. Berikut beberapa alasan mengapa YONO menjadi semakin relevan:
1. Menghindari konsumsi berlebihan. YONO membantu generasi muda lebih bijak dalam membeli barang, hanya memilih yang benar-benar dibutuhkan dan mengurangi pemborosan.
2. Menjaga stabilitas finansial. Dengan prinsip cukup satu, anak muda lebih fokus pada menabung, berinvestasi, dan mengatur keuangan untuk masa depan yang lebih aman.
3. Mendukung gaya hidup minimalis. YONO mengajarkan bahwa memiliki lebih sedikit barang justru bisa memberikan ketenangan, efisiensi, dan ruang hidup yang lebih rapi.
4. Peduli terhadap lingkungan. Mengurangi konsumsi berarti juga mengurangi limbah dan dampak negatif terhadap lingkungan, sejalan dengan konsep keberlanjutan.
5. Meningkatkan kualitas hidup. Fokus pada hal-hal esensial membuat hidup lebih sederhana, bebas dari tekanan sosial untuk terus mengikuti tren, dan lebih bahagia.
Bagaimana YONO Mempengaruhi Gaya Hidup?
Penerapan konsep YONO bisa dilihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari:
1. Fashion: Alih-alih membeli pakaian setiap tren berubah, banyak anak muda kini lebih memilih wardrobe minimalis dengan pakaian berkualitas yang bisa dipakai dalam berbagai kesempatan.
Baca juga: Organisasi Gen-Z Perubahan Dukung Anies Baswedan!
2. Gadget: Tidak lagi berlomba memiliki teknologi terbaru, sebagian dari mereka kini lebih memilih menggunakan gadget lebih lama sebelum menggantinya.
3. Hiburan: Pengeluaran untuk traveling dan nongkrong kini digantikan dengan kegiatan yang lebih produktif dan bermanfaat, seperti membaca buku, mengikuti kursus online, atau berinvestasi dalam pengembangan diri.
4. Keuangan: Tren belanja impulsif mulai berkurang, digantikan dengan perencanaan keuangan yang lebih matang seperti menabung, membeli asuransi, dan berinvestasi.
Tren YONO bukan sekadar pergeseran gaya hidup, tetapi juga mencerminkan perubahan pola pikir dalam menyikapi kehidupan.
Mereka tidak lagi hanya mengejar kesenangan sesaat, tetapi mulai memikirkan keberlanjutan dan stabilitas di masa depan.
Dengan semakin banyaknya anak muda yang sadar akan pentingnya pengelolaan keuangan dan gaya hidup yang lebih sederhana, YONO bisa menjadi fondasi bagi generasi mendatang untuk hidup lebih sejahtera tanpa terjebak dalam konsumsi berlebihan.
Apakah ini tanda bahwa budaya konsumtif perlahan mulai ditinggalkan? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, satu hal yang pasti, gen Z sedang bertransformasi menuju kehidupan yang lebih sadar, terencana, dan bermakna.
Mengadopsi YONO bukan berarti membatasi diri, tetapi justru membuka peluang untuk hidup lebih bijak, bebas dari tekanan konsumtif, dan lebih fokus pada hal yang benar-benar penting.
Dengan memilih kesederhanaan, kita bisa mengelola keuangan dengan lebih baik, menjaga lingkungan, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Saatnya beralih ke "YONO"! mulailah dengan memilah apa yang benar-benar dibutuhkan, dan rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari!
Gaya Hidup YOLO Ditinggalkan
Baca juga: Pakar Ubaya Ungkap Gen Z Harus Pikirkan Skill untuk Dapat Peluang
Sebagaimana kita ketahui dalam beberapa tahun lalu Gen Z mengikuti tren gaya hidup YOLO (You Only Live Once). YOLO beberapa tahun lalu menjadi slogan populer di kalangan anak muda. Konsep ini mendorong gaya hidup spontan, eksploratif, dan terkadang konsumtif dengan alasan bahwa hidup hanya sekali.
(Diambil dari artikel di Kompasiana, 1 Maret 2025)
Editor : Pahlevi