Oleh: Prof Ir Daniel Mohammad Rosyid
Optika.id - Hubungan antara cendekiawan/akademia dan komunitas bisnis memiliki banyak dimensi dan bersifat dinamis. Relasi ini dapat tergambar dalam bentuk kerja sama, pengaruh timbal balik, serta, terkadang, ketegangan. Interaksi keduanya dapat mendorong inovasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan masyarakat. Namun, di Indonesia, penelitian dan pendidikan di banyak kampus gagal mengubah pandangan masyarakat yang melihat kekayaan (ekonomi) dan kekuasaan (politik) sebagai sesuatu yang buruk. Akibatnya, umat Islam dan pribumi terpuruk secara ekonomi dan politik, sementara kekayaan justru sering diperoleh melalui korupsi sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Baca juga: Imlek dan PSN
Untuk menjadi bangsa yang maju secara berkelanjutan, kita membutuhkan:
1. Pendidikan yang memerdekakan, termasuk menghilangkan feodalisme.
2. Pasar yang terbuka dan adil (bebas riba).
3. Investasi yang memandirikan dan berbasis pada potensi agro-maritim yang melimpah melalui hilirisasi (downstreaming).
4. Birokrasi yang kompeten dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
5. Pasokan energi yang cukup.
6. Pemerintahan di laut yang efektif, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan.
Dalam konteks ini, peran umat Islam Indonesia justru marginal karena adanya pandangan negatif terhadap harta dan kuasa.
Sementara itu, Emmanuel Todd dalam bukunya The Defeat of the West (2024) menjelaskan mengapa Amerika Serikat (AS) dan Barat belakangan ini mengalami krisis imajinasi serta kepemimpinan moral. Krisis ini disebabkan oleh:
1. Pendidikan yang tidak membebaskan.
2. Pengabaian agama sebagai sumber nilai kolektif.
3. Terjebak dalam nihilisme yang merusak dari dalam.
Krisis Ukraina menunjukkan bahwa Uni Eropa tidak memiliki kebijakan yang mandiri sehingga menjadi boneka AS. Ironisnya, meskipun kampus-kampus AS dan Eropa menduduki peringkat teratas dalam pemeringkatan universitas dunia, kekalahan Barat ini merupakan sebuah ironi, jika bukan paradoks.
Dengan adanya multipolaritas dan pergeseran gravitasi dunia ke Asia, di mana Tiongkok dan India menjadi new power houses, komunitas akademia dan bisnis Indonesia perlu membangun relasi baru agar Indonesia tidak sekadar menjadi satelit Tiongkok atau terus menjadi boneka Barat. Kampus sebagai pusat cendekiawan harus melihat ini sebagai tantangan sekaligus peluang untuk memperkuat hubungan akademia dan komunitas bisnis agar Indonesia bisa memimpin ASEAN serta mengimbangi Tiongkok.
Baca juga: Pembangunan Berkelanjutan
Relasi akademia dan pengusaha di AS serta Eropa dapat digambarkan melalui fenomena kompleks industri militer (military-industrial complex), di mana industri militer menjadi pemicu berbagai perang di berbagai belahan dunia. War is business, and a very good one. Riset-riset mutakhir di bidang Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) yang menghasilkan banyak doktor dibiayai dan pertama kali dimanfaatkan oleh industri senjata. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kampus-kampus seperti MIT menempati peringkat tertinggi dunia. Selain itu, kajian-kajian kewilayahan di kampus-kampus top AS dan Eropa, seperti The Indonesia Project di Cornell University, sering dijadikan instrumen untuk memahami dan kemudian menguasai budaya serta ekonomi negara-negara lain, terutama yang kaya sumber daya seperti Indonesia.
Di Tiongkok, relasi antara kampus dan komunitas bisnis sangat kuat, terutama dimotori oleh BUMN dengan sistem perencanaan dan pembiayaan yang terpusat. Sementara itu, di India, relasi ini tidak sekuat di Tiongkok karena lebih terdesentralisasi. Jika Tiongkok fokus pada riset terapan, India masih lebih condong pada riset teoretis serta mengandalkan start-ups. Namun, sebagai bekas jajahan Inggris yang masih terbelenggu oleh sistem kasta, India menghadapi tantangan kemiskinan yang serius.
Sementara itu, relasi akademia dan pengusaha di Indonesia boleh dikatakan buruk. Iklim bisnis di Indonesia tidak menghargai riset dan pengembangan (R&D), sementara litbang di kampus tidak berorientasi pada bisnis. Litbang yang kuat umumnya tidak difokuskan untuk pengembangan bisnis, melainkan untuk kepentingan pemerintah yang sejak awal sangat memandang AS dan Barat sebagai model. Kampus harus mewaspadai agar tidak menjadi lembaga think tank yang bersifat Hamanic sekaligus Balamic, yang hanya melahirkan pengusaha Qorunic yang mengabdi pada pemerintah Firaunic. Jika ini terus terjadi, ekonomi Indonesia akan terus terpapar penyakit Belanda dengan hanya mengandalkan ekspor bahan mentah bernilai tambah rendah, tanpa membangun hilirisasi.
Kampus-kampus di Indonesia perlu memperbaiki hubungan dengan komunitas bisnis dengan menghasilkan pemikiran dan penelitian yang relevan dengan kebutuhan pengusaha nasional. Pengembangan komunitas pengusaha juga perlu menjadi prioritas kampus, dengan mengubah pandangan negatif terhadap kekayaan. Jika tidak, maka investasi akan terus didominasi oleh asing, aseng, dan asong, yang sering kali bersifat ekstraktif serta eksploitatif, menjebak Indonesia dalam perangkap negara berpenghasilan menengah (middle-income trap). Ini penting dicermati karena sejak kemerdekaan, kampus-kampus di Indonesia lebih banyak menjadi konsumen ilmu dari Barat/AS daripada menghasilkan body of knowledge yang berpijak pada nilai-nilai UUD 1945 sebagai pernyataan perang terhadap segala bentuk penjajahan.
Baca juga: Pintu, Musyawarah, dan PSN
Salah satu akibat kelalaian kampus adalah sikap ragu terhadap ekonomi riba yang tidak adil di kalangan pengusaha. Hal ini terjadi karena para cendekiawan gagal membuktikan dampak buruk riba bagi perekonomian nasional. Bahkan, Muhammadiyah dan NU membiarkan praktik riba berlangsung lama dengan alasan darurat. Konsekuensinya, kemiskinan menjadi persisten, dan peran pengusaha pribumi Muslim dalam ekonomi nasional tetap minimal.
Kampus harus memprakarsai upaya untuk mengikis sikap umum yang merendahkan nilai kekayaan dan kekuasaan, karena hal ini berdampak pada rendahnya selera ekonomi dan politik umat Islam. Akibatnya, secara ekonomi dan politik, umat Islam tetap marginal dan hanya menjadi jongos politik bagi elite partai yang berselingkuh dengan para taipan oligarki.
Surabaya, 14 Maret 2025.
Editor : Pahlevi