Imlek dan PSN

author Pahlevi

- Pewarta

Jumat, 17 Jan 2025 08:27 WIB

Imlek dan PSN


Oleh: Prof Ir Daniel Mohammad Rosyid 

Optika.id - Beberapa hari ini semarak perayaan Imlek tampak di banyak sudut kota ditandai dengan lampion-lampion berwarna merah bertuliskan Gong Xi Fat Choi. Ini terjadi hampir setiap tahun. Sebagai 'udeg-udeg' seorang perempuan Tionghoa yang dipanggil Mbah Nyonya di Klaten di zaman perang Diponegoro, saya teringat satu peristiwa saat diundang makan malam bersama merayakan Imlek oleh rekan dagang almarhum ayah saya di Semarang saat saya masih SMA.

Baca Juga: Pagar Laut dan Kekosongan Pemerintahan di Laut

Siangnya hari itu terjadi tawuran antara anak-anak STMN dan anak-anak SMA Karangturi. Salah satu anak perempuan rekan ayah saya itu berseloroh "Gandung tadi ikut memeriahkan tawuran itu, ya ?". Saya hanya bisa tersenyum kecut.

Bukti bahwa saya memang memiliki darah Tionghoa ada di anak laki-laki saya, Luqman yang di kalangan teman-temannya sering dipanggil Koko. Demikian juga sapaan para penjaga toko saat kami jalan-jalan di pertokoan. Bukti bahwa saya juga punya darah Pakistan ada pada anak perempuan saya, Fathimah. Sedangkan cucu saya Geca benar-benar full-blown chinese looking dengan wajah khas Tionghoa.

Sebagai muslim yang dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah di Klaten, lalu di Semarang, saya dibesarkan di lingkungan yang relatif heterogen, baik bertetangga dengan kekuarga Tionghoa ataupun Arab. Saya kira Islam berperan besar dalam cara pandang kami melihat keragaman etnis ini. Menjadi orang Jawa, Madura, Batak, Arab atau Cina bukanlah keputusan kita.

Asal usul primordial kita ini seperti panah yang ditembakkan ke kita tanpa bisa kita tolak. Islam adalah sebuah ajaran yang melampaui sukuisme. Ini juga menjelaskan mengapa bangsa Indonesia sebagai imajinasi bisa diterima oleh ratusan suku yang berbeda namun memeluk Islam di Indonesia.

Prasangka buruk terhadap etnis Tionghoa di Indonesia adalah hasil dari kombinasi sejarah panjang, politik, dan dinamika sosial-ekonomi yang kompleks. Perkampungan Tionghoa sudah ada sebelum era Majapahit dan Demak Islam di Trowulan dan Pantura. Pada masa penjajahan Belanda, etnis Tionghoa sering diberi peran sebagai pedagang, perantara ekonomi, atau pemungut pajak, sementara pribumi dijadikan pekerja atau petani.

Sistem ini menciptakan stratifikasi sosial yang memperdalam kesenjangan dan melahirkan kecemburuan. Politik divide et impera juga sengaja memecah belah hubungan antara kelompok etnis untuk mempertahankan kekuasaan kolonial.

Banyak etnis Tionghoa yang terlibat dalam sektor perdagangan dan bisnis, yang membuat mereka terlihat lebih sejahtera dibandingkan sebagian besar pribumi. Hal ini memperkuat stereotip bahwa mereka menguasai ekonomi, meskipun tidak semua etnis Tionghoa kaya. Ketimpangan ini kerap digunakan oleh pihak tertentu untuk menyebarkan narasi negatif.

Pada era Orde Baru, kebijakan asimilasi dipaksakan, termasuk pelarangan budaya Tionghoa secara terbuka. Hal ini membuat etnis Tionghoa terlihat eksklusif karena dipaksa menyembunyikan identitas budayanya. Di sisi lain, narasi bahwa etnis Tionghoa bukan "pribumi sejati" sering digunakan oleh pemerintah untuk mengalihkan isu sosial-politik.

Dalam sejarah Indonesia, seperti kerusuhan 1998, isu-isu terkait etnis Tionghoa sering dieksploitasi untuk memicu sentimen massa. Propaganda yang menyalahkan etnis tertentu menjadi alat politik untuk mencari kambing hitam. Media massa atau konten tidak bertanggung jawab kadang memperkuat stigma ini.

Baca Juga: Pembangunan Berkelanjutan

Keterbatasan ksempatan untuk berinteraksi langsung dan pendidikan lintas budaya menciptakan jarak emosional. Ketidaktahuan sering kali melahirkan prasangka dan stereotip.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hal ini bisa diatasi dengan pendidikan yang mengajarkan sejarah multikultural Indonesia secara objektif untuk menghilangkan stigma. Juga perlu dilakukan dialog antarbudayanuntuk memperbanyak ruang diskusi antara komunitas untuk memahami satu sama lain. Juga perlu dilakukan pemberdayaan ekonomi pribumi untuk mengurangi kesenjangan ekonomi agar tidak menjadi pemicu konflik.

Kemudian juga perlu hukum yang tegas dengan menindak ujaran kebencian atau diskriminasi berbasis etnis.

Prasangka buruk ini sebagian juga disebabkan propaganda Barat selama perang dingin yang memposisikan RRC sebagai bahaya kuning dari Utara. Meski prasangka ini masih ada, banyak juga masyarakat yang semakin terbuka dan inklusif terhadap keragaman etnis, terutama di kalangan generasi muda.

Hal ini menunjukkan potensi perubahan positif ke depan. Ini perlu difasilitasi dengan cara mengurangi penggunaan mobil dan motor ke sekolah yang semakin menjadi alat segregasi sosial baru. Kota-kota besar perlu menyediakan lebih banyak bus-bus sekolah di mana pelajar dari berbagai latar belakang agama dan etnis bisa ngobrol di bus-bus sekolah itu.

UUD2002 yang sangat liberal kapitalistik telah menyebabkan pemusatan sumberdaya ekonomi dan politik ke segelintir elite parpol dan pengusaha keturunan.

Baca Juga: Pintu, Musyawarah, dan PSN

Dibesarkan semula oleh Soeharto sebagai ersatz capitalists, kelompok-kelompok pengusaha keturunan ini telah berkembang menjadi full-fledged capitalists yang mendominasi ekonomi nasional, terutama melalui penguasaan lahan yang tidak masuk akal.

Perkembangan ini adalah perkembangan yang berbahaya. Proyek-proyek Strategis Nasional yang marak di era Jokowi kini banyak dinilai sebagai bagian dari perluasan sekaligus pendalaman dominasi para pengusaha keturunan dalam perekonomian nasional. Kita jelas membutuhkan investasi besar untuk tumbuh, namun kita berharap investasi itu tidak memperparah kesenjangan, tapi justru menguranginya.

Kini Indonesia sudah menjadi anggota BRICS yang dimotori RRC. Indonesia yg pada saatnya bakal memimpin ASEAN tidak boleh melakukan kesalahan stratejik seperti yang dilakukan Uni Eropa: memusuhi tetangga dekatnya sendiri Rusia demi menyenangkan tetangga jauhnya AS.

Lebih baik kita meningkatkan kapasitas nasional untuk berkolaborasi setara dengan RRC, agar tidak menjadi satelitnya belaka. Oleh karena itu banyak PSN yang semula sangat teknokratik dan top-down dengan bias politik tinggi harus direkonstruksi agar menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal melalui proses-proses bottom-up yang inklusif untuk memastikan bahwa no one is left behind. Saya harap perayaan Imlek tahun 2025 mencerminkan semangat baru ini.

Gunung Anyar, Surabaya (17 Januari 2025).

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU