Pelik Hidup Kucing-Kucing Liar: Dari Rasa Kasihan Hingga Dampak Kesehatan

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Selasa, 10 Jan 2023 12:11 WIB

Pelik Hidup Kucing-Kucing Liar: Dari Rasa Kasihan Hingga Dampak Kesehatan

Optika.id - Kucing peliharaan atau yang kerap disebut sebagai anak bulu (anabul) seharusnya memperoleh perawatan maksimal dari pemiliknya, termasuk urusan makan. Beda nasibnya dengan ribuan kucing yang berada di jalanan, pasar, atau tempat umum lainnya.

Baca Juga: Melihat Makna Pahatan Fauna di Candi Borobudur

Kucing liar dengan manusia kerap berkonflik. Tak jarang kucing liar dilempar sandal, dipukul, bahkan disiram dengan air panas karena mengambil makanan adalah hal yang biasa dijumpai pada keseharian.

Kendati tak ada angka pasti terkait jumlah populasi kucing liar di Tanah Air, founder Lets Adopt Indonesia (LAI), Carolina Fajar atau yang disapa Carol meyakini jika populasi kucing liar lebih banyak ketimbang kucing peliharaan. Jumlahnya pun bertambah terus dalam hitungan bulan saja seiring dengan mudahnya berkembak biaknya kucing tersebut.

Carol pun mengaku khawatir terhadap keadaan overpopulasi kucing yang bisa menimbulkan masalah. Pasalnya, kucing-kucing tak bertuan tersebut rentan dicap sebagai hama oleh masyarakat sekitar. Atas dasar hal tersebut, Carol kemudian mendirikan LAI pada tahun 2011 silam. Langkah ini diambilnya dengan tujuan menyelamatkan hewan terlantar, termasuk kucing liar.

Pada tahun 2018 silam, LAI akhirnya resmi berbentuk yayasan dengan nama Yayasan Adopsi Hewan Indonesia yang tak hanya memfokuskan diri menyelamatkan hewan terlantar saja, namun juga mencegah kelahiran hewan yang tidak diinginkan. Fokus utama yayasan tersebut selama tiga tahun terakhir yakni melakukan strerilisasi hewan untuk mencegah overpopulasi, terutama kucing.

Bisa dicegah lebih dahulu dengan sterilisasi sebelum menjadi masalah yang besar, ucap Carol ketika dihubungi, Senin (9/1/2023).

Jumlah kucing yang sudah tidak terkontrol dan menyebabkan overpopulasi berpeluang menjadi ancaman baru bagi lingkungan dan kesehatan berupa munculnya sumber penularan penyakit atau zoonosis sehingga dapat berdampak buruk ke manusia.

Sementara itu, kucing kian rentan menjadi target kekerasan manusia. Banyak manusia yang menilai jika kucing-kucing liar merusak lingkungan seperti mengobrak-abrik sampah saat sedang mencari makanan, atau mengeluarkan kotoran di depan rumah.

Carol sempat menceritakan peristiwa yang dialaminya. Ada kucing di jalan bisa tiba-tiba ditendang tanpa alasan yang jelas bahkan kucingnya tidak berbuat apa-apa. Kemudian, saat dia makan di warung, pemilik warung yang tidak suka kucing mengusirnya dengan siraman air panas.

Kucing bahkan rentan menjadi korban keisengan orang-orang di sekitarnya, seperti mengikat ekornya dengan karet. Bahkan ada lho orang yang memasukkan petasan ke dalam dubur kucing, kata Carol.

Menurut Carol, solusi yang paling masuk akal guna mencegah overpopulasi kucing dan mencegah kucing terlantar di jalan yakni sterilisasi. Memindahkan kucing ke lokasi lain, ujar Carol, hanya sebatas memindahkan masalah baru saja. Carol menegaskan jika tindakan tersebut tergolong egois.

Ketika disinggung soal keterlibatan pemerintah, Carol tidak dapat berbicara banyak. Dia hanya berharap jika pemerintah baik daerah maupun pusat bisa membantu kegiatan sterilisasi, yakni dengan subsidi atau cuma-cuma. Sayangnya, ketika dia mencoba mendatangi kementerian terkait, tak ada respons yang memuaskan.

Hingga kini, pendanaan masih menjadi kendala kegiatan sterilisasi. Sebab kegiatan ini membutuhkan dokter dan obat-obatan. Setahu Carol, hal ini juga jadi masalah Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (DKPKP) ketika berniat mengadakan sterilisasi kucing liar.

Padahal dari sterilisasi, yang diuntungkan juga adalah manusia. Masyarakat bisa hidup harmonis dengan jumlah kucing yang terkendali tersebut.

Di Indonesia itu tidak terlalu menjadikan hewan sebagai perhatian utama, makanya solusinya itu selalu dibuang (kucing), ucap Carol.

Dia berpendapat, Indonesia perlu berkaca pada jejak negara-negara lain dalam menjaga populasi kucing.

Baca Juga: Apa itu Cat Scratch Disease?

Misalnya, Singapura yang melakukan suntik mati terhadap kucing liar. Di Singapura kucing liar dihitung sebagai hama. Ada pula Turki yang ramah terhadap hewan termasuk kucing, sehingga dana kegiatan sterilisasinya kuat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dampak Kesehatan

Dokter Hewan Lina yang sering aktif dalam kegiatan sterilisasi kucing liar juga mengaku khawatir terhadap overpopulasi kucing. Pasalnya, kucing dapat melahirkan 2 6 ekor anak dalam setiap periode birahi.

Dia menjelaskan, dalam setahun kucing bisa melahirkan tiga kali dalam periode birahi. Misalnya kucing melahirkan enam anak, maka dalam waktu satu tahun ada 18 ekor kucing yang lahir.

Hal ini tentunya sangat berpotensi menjadi overpopulasi karena siklus birahi yang pendek, tipe organ reproduksi kucing memiliki tipe bicornua (dua uterus jadi daya tampung anak makin banyak). Itu yang bikin khawatir ya, kata Dokter Lina, Selasa (10/1/2023).

Dia tak menampik bahwa overpopulasi kucing ini memiliki berbagai dampak yang signifikan. Mulai dari dampak kesehatan lingkungan seperti timbul bau tidak sedap yang berasal dari kotoran kucing, dan lingkungan juga tampak kumuh. Di sisi lain, kesehatan kucing juga terancam seperti penyakit kulit berupa scabies, penyakit virus kucing, maupun kaheksia atau kekurusan.

Pada akhirnya, kondisi tersebut dapat berdampak pada manusia seperti munculnya parasite protozoa toxoplasma yang menyebabkan keguguran dan kemandulan bahkan bayi cacat serta munculnya penyakit kulit menular yang menyebabkan gatal ke kulit.

Penyakit lainnya yakni kecacingan yang menyerang saluran pencernaan menjadi maldigest. Dampak penyakit ini menyebabkan manusia kekurangan nutrisi dalam tubuh.

Baca Juga: Kontroversi Terapi Ikan Dalam Perawatan Kecantikan

Adapun penanggulangan overpopulasi dapat dilakukan dengan cara euthanasia atau tindakan mengakhiri hidup (gas chamber) dan sterilisasi atau memandulkan hewan. Namun menurut Dokter Lina sterilisasi merupakan cara yang bisa ditempuh serta bisa beradaptasi dengan budaya Indonesia.

Menurutnya, sterilisasi penting dilakukan dalam penangangan overpopulasi agar mengurangi tingkat kematian manusia oleh virus rabies akibat gigitan kucing, dan penyakit-penyakit lainnya.

Lina menyarankan, jika jalan sterilisasi ditempuh maka kucing yang dijadikan target ditangkap sehari sebelumnya. Pasalnya, biasanya untuk memancing kucing supaya mau datang biasanya dipancing menggunakan makanan.

Bila kucing makan tepat enam jam sebelum operasi, karena kucing akan kesulitan untuk tidur selama operasi meski sudah menggunakan dosis yang optimal, ungkapnya.

Adapun proses operasi tersebut dia jelaskan berupa pembiusan, pencukuran bulu, membasmi hama kulit, kemudian operasi angkat bersih rahim dan pemberian obat-obatan secukupnya.

Setelah disterilkan, ujarnya, metabolism kucing akan melambat. Kendati makannya sedikit namun badan si kucing akan berisi dan menggemuk. Jadi, para kucing nampak lebih sehat karena tidak perlu banyak bersaing untuk mencari makan.

Selanjutnya, kucing yang sudah steril akan diberi tanda di telinganya yang disebut eartip. Tanda ini digunakan di belahan dunia manapun seperti Amerika, Singapura, hingga Turki.

Eartip dignakan, karena tidak ada yang sanggup mengingat kucing mana saja yang sudah disteril dan mana yang belum.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU