Jakarta (optika.id) - Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menilai pemberian gelar kehormatan Jenderal Bintang Empat kepada Prabowo Subianto merupakan langkah politik Presiden Jokowi.
Menurutnya, langkah tersebut justru menghina pada korban dan pejuang HAM di Tanah Air.
Baca Juga: Prabowo Subianto Fokus Pangkas Anggaran Demi Pendidikan dan Swasembada Pangan
Menghina dan merendahkan korban dan pembela HAM, terutama dalam Tragedi Penculikan Aktivis 1997-1998, katanya dalam keterangan resminya, Kamis, (29/2/2024).
Ia menyampaikan, dugaan keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis itu sudah jelas dinyatakan oleh satu lembaga ad hoc kemiliteran resmi yang dibentuk oleh negara bernama Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang rekomendasinya pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran, dan kemudian dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden.
Negara jelas menyatakan bahwa Prabowo merupakan pelanggar HAM, berdasarkan keputusan Negara. Maka langkah politik Jokowi tersebut nyata-nyata bertentangan dengan hukum negara tentang pemberhentian Prabowo dan pada saat yang sama melecehkan para korban dan pembela HAM yang hingga detik ini terus berjuang mencari keadilan, jelasnya.
Baca Juga: Prabowo Desak Vonis Berat untuk Harvey Moeis: 'Rakyat Juga Tahu Ketidakadilannya!'
Selanjutnya, dari sisi etika kepublikan, langkah Presiden Jokowi memberikan bintang kehormatan itu juga bermasalah. Presiden Jokowi, kata dia, seharusnya lebih memikirkan nasib sebagian besar rakyat yang saat ini sedang mengalami kesulitan ekonomi serius, karena naiknya harga beras dan harga-harga sembako lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bukan mengambil langkah politik untuk memberikan Bintang Kehormatan bagi Prabowo dengan pertimbangan dan untuk kepentingan politik, yaitu menanam jasa kepada Prabowo yang diproyeksikan oleh Joko Widodo menjadi Presiden RI selanjutnya, katanya.
Oleh karena itu, SETARA Institute menuntut agar Jokowi membatalkan pemberian bintang kehormatan kemiliteran untuk Prabowo.
Jika tuntutan ini diabaikan, maka semakin jelaslah bahwa di ujung periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo lebih sering menampilkan tindakan politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan hukum, melawan arus aspirasi publik, dan mengabaikan hak asasi manusia, ujarnya.
Editor : Pahlevi