Optika.id - Dewan Kesenian adalah salah satu lembaga bentukan pemerintah yang sejak 1991, terlembaga melalui Inmendagri No. 5A Tahun 1991. Mengingat bentuknya hanya sebagai instruksi, maka tidak ada ketetapan hukum yang cukup untuk menaunginya, oleh sebabnya perdebatan menyeruak di daerah-daerah. Tidak jarang Dewan Kesenian di daerah menjadi kelompok oposisi bagi pemerintah daerah yang sedang berkuasa.
Relevansi Dewan Kesenian semakin dipertanyakan sejak munculnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam UU tersebut, Seni hanyalah salah satu dari 10 Objek Pemajuan Kebudayaan.
Baca Juga: Tiga Seniman Raih Penghargaan Seni 2021 Dewan Kesenian Jawa Timur
Memang seni tetap menjadi hal yang penting untuk dimajukan: dilakukan pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sesuai mandat dalam UU. Sebagian besar menambahkan kata Kebudayaan di nama lembaganya, atau mengubah diri menjadi Dewan Kebudayaan.
Sebagian kecil lainnya bertahan dengan nomenklatur Dewan Kesenian. Namun masih menjadi pertanyaan apakah peran dari Dewan Kesenian masih relevan?
Struktur Kompleks dan Komposisi Bermasalah
Berdasarkan pengalaman-pengalaman di daerah, Dewan Kesenian hanya diisi oleh sekelompok seniman dari berbagai latar belakang. Mulai dari film, musik, teater, rupa, sastra, dan tari sehingga aneka Dewan Kesenian melengkapi diri dengan departemen atau komite berkaitan dengan 6 bidang seni tersebut.
Ada pula yang membentuk divisi yang menangani tentang Penelitian dan Pengembangan, Hukum, Hubungan Masyarakat, dan Pemasaran. Seniman-seniman yang terhimpun dalam Dewan Kesenian ini barangkali memiliki posisi yang sebenarnya cukup rentan di daerah setempat, yang menjadi tempatnya bernaung: regulasi yang kurang berpihak pada seniman, karya yang barangkali tidak diapresiasi cukup oleh masyarakat, dan bentrokan soal penyaluran bantuan sosial berhubungan dengan seniman di daerah.
Tidak jarang perkara bantuan sosial seniman, Dewan Kesenian meminta untuk dilibatkan dalam pembagian atau distribusi bantuan sosial atau tali asih pada seniman di daerah. Apabila tidak dilibatkan dan terjadi kebuntuan dalam negosiasi, hanya satu jalannya: turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi.
Siklus ini terus terulang, di mana kompleksitas masalah yang ada ditambahkan dengan persoalan rekrutmen yang sama sekali tidak terbuka. Musyawarah Daerah tidak tuntas, termasuk tidak dapat merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang konkret.
Komposisi kepengurusan terkesan gemuk, dengan dinaunginya seniman-seniman yang sebatas andal dalam membuat karya seni namun tidak memahami pola administrasi dan organisasional dalam sebuah lembaga sekelas Dewan Kesenian. Bahkan ada yang membuat karya seni juga tidak mampu atau menyamar menjadi seniman.
Belum lagi aktivis-aktivis yang memang memahami organisasi justru mengeruhkan suasana. Dewan Kesenian layaknya bak lembaga politik, karena tidak jarang sekretariatnya disalahgunakan menjadi markas pemenangan calon tertentu. Seolah tidak ada urat malu, karena fasilitas yang digunakan semuanya adalah aset pemerintah daerah.
Ketika ada isu kebudayaan yang bersentuhan langsung dengan seniman (apa lagi dengan kondisi perut personil dari Dewan Kesenian), dikonsolidasikanlah massa untuk mendemo pemerintah.
Pola ini juga ditambahkan dengan komunikasi yang buruk dengan Pemerintah Daerah dalam hal ini Kepala Daerah yang semestinya ditempatkan sebagai mitra.
Mengingat Dewan Kesenian SK-nya ditandatangani oleh kepala daerah baik Gubernur, Bupati, atau Walikota maka sudah seyogianya lembaga secara rutin dapat berkonsultasi ke kepala daerah minimal 1 tahun sekali. Masalahnya, embel-embel dan juga perasaan bahwa Dewan Kesenian adalah lembaga yang dapat melakukan cawe-cawe pada urusan pemerintah daerah di bidang kesenian dan bahkan kebudayaan mengalahkan inisiatif untuk beraudiensi dengan kepala daerah setempat.
Baca Juga: Jatim Art Forum: Pemutaran Film Pemenang East Java Call 2021
Alhasil, anggaran dana selalu seret ditambahkan dengan persoalan kompleks terkait masalah pengaturan internal antara kerumahtanggaan dan pelaksanaan program-program kerja yang dari dulu ada auto kritik bahwa hanya Dewan Kesenian bekerja seperti event organizer (EO) namun tidak ada dorongan kuat untuk mereposisi kedudukannya di daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Minimnya tokoh-tokoh intelektual dari kampus atau sekolah, dan posisinya yang minor dalam penentuan kebijakan semakin membuat kualitas dari perencanaan program di Dewan Kesenian semakin merosot.
Program-program yang dilakukan hanya terkesan Bandung Bondowoso sekali jadi dan tidak ada output yang konkret terhadap pemajuan kebudayaan di bidang kesenian.
Sikap Non-kooperatif dengan Pemerintah Daerah
Berbagai permasalahan di atas tentu perlu strategi penyelesaian jangka pendek, menengah, dan panjang. Jangka pendek dapat ditempuh misalkan dengan mempercepat terselenggaranya Musyawarah Daerah untuk memilih kembali siapa saja yang berhak duduk di Dewan Kesenian sebagai representasi tidak hanya seniman, namun juga budayawan dan intelektual di dalam lingkup budaya.
Peserta dari Musyawarah pun juga
dapat disaring dengan ketat agar nantinya Dewan Kesenian yang nantinya terpilih dapat memenuhi unsur kompetensi dan profesionalisme dalam menjalankan perannya di dalam organisasi. Kemudian dalam rapat penyusunan AD/ART perlu dipertegas relasi pemerintah termasuk
dasar hukum pembentukan Dewan Kesenian.
Selain itu, pertimbangan besar untuk
bertransformasi menjadi Dewan Kebudayaan dapat menjadi agenda penting untuk diangkat dalam Musyawarah Daerah mengingat peran dari person yang ada di dalam Dewan Kesenian akan menjadi semakin luas.
Artinya, dalam seleksi siapa-siapa saja yang akan masuk sebagai formatur dan pengurus inti di Badan Pengurus Harian seperti Ketua, Sekretaris, dan Bendahara penting untuk mempertimbangkan komposisi antara pelaku budaya, intelektual, dan unsur-unsur lain yang dirasa perlu.
Selain itu, mempertegas unsur-unsur pendukung seperti Departemen atau Komite sehingga tidak hanya terkesan seperti penghias ruangan dan sapi perah yang diperas pikiran dan tenaganya bagi organisasi penting kiranya untuk dijadikan agenda strategis.
Selama ini, di level akar rumput justru divisi-divisi yang membantu secara teknis organisasi dan dekat dengan para pelaku budaya di daerah ini telah banyak mengambil peran namun dalam pengambilan keputusan dan representasi organisasi kerap kali sangat sedikit peluangnya untuk dilibatkan.
Padahal berbagai pertimbangan strategis untuk suatu misal perlu sentuhan intelektual dari salah satunya divisi yang membidangi penelitian dan pengembangan organisasi. Mari bersama-sama revolusi Dewan Kesenian.
Tulisan: Probo Darono Yakti (Aktivis Kebudayaan, Ketua II Budaya Nusantara Seni Tradisi Lokal HIPREJS Jawa Timur)
Editor : Pahlevi