Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah
Optika.id - Dalam praktek perdagangan internasional banyak negara-negara maju mendorong agar negara-negara lain didunia ini menganut perdagangan bebas atau Fre Trade. Kadangkala dorongan itu dilakakukan dengan tekanan politik agar negara mitra daganganya membuka sebebas-bebasnya kran impor.
Namun perlu disadari bahwa negara-negara maju seperti Amerika Serikat pun yang mendesak negara lain mengikuti sistem perdagangan bebas itu ternyata menelan ludah nya sendiri dengan melakukan proteksi industri dalam negerinya agar tidak diserbu oleh produk-produk impor murah seperti dari negeri Cina.
Beberapa kebijakan untuk melindungi industri dalam negeri tersebut dilakukan dengan berbagai cara antara lain memberlakukan tarif atau pengenaan pajak atas barang-barang impor; kebijakan non tarif misalkan menyangkut kandungan kesehatan atas barang impor tertentu, atau menyangkut tekanan politik; misalkan negara AS tidak akan meng-impor barang dari suatu negara karena negara yang bersangkutan dituduh melanggar HAM; ada juga kebjikan berupa Kuota penetapan pembatasan kuantitas barang impor.
Baca Juga: Seperti Kisah Mafia Al-Capone
Misalkan AS hanya membolehkan barang dari Indonesia sebanyak 10 kontainer. Diatas 10 kontainer tidak diperbolehkan. Kebijakan tariff, non-tariff dan quota itu dikenal dengan sebutan barriers to trade atau hambatan perdagangan.
Negara-negara maju, Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya di Eropa, Jepang, Kanada, Australia misalnya, memonitor secara teliti kenapa barang-barang dari negeri Cina itu sangat murah; apakah harganya benar-benar real price; atau harga bantingan atau dumping price atau harga yang murah karena diberi subsidi atau subsidized price.
Baca Juga: Biden Sebut Pendukung Trump Sampah
Kalau misalkan ditemukan negara Cina memberikan subsidi yang terlalu tinggi pada produk-produknya yang akan diekspor; maka negara AS dan sekutunya tadi melakukan reciprocal measures atau tindakan balasan dengan menerapkan kebijakan hambatan perdagangan diatas yaitu berupa pengenaan tarif, atau non-tarif dan kuota.
Saya baca berita terbaru tentang presiden Prabowo mengerahkan sejumlah menterinya untuk menyelamatkan pabrik/perusahaan tekstil terkemuka di Indonesia dan terbesari di Asia Tenggara yaitu PT. Sritex yang dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Niaga kota Semarang karena dianggap gagal membayar kewajiban-kewajibannya kepada mitra usahanya. Akibatnya PT. Sritex yang dulu dikenal memasok pakaian militer keseluruh dunia termasuk AS dan negara-negara Eropa akan mem PHK puluhan ribu karyawannya.
Saya menilai bahwa pemerintah seakan terkejut dengan kejadian itu, dan tidak melakukan antisipasi sebelumnya dikarenakan adanya kebijakan pemerintah sendiri.
Soal kehancuran PT. Sritex akibat kebijakan pemerintah itu diakui sendiri oleh pihak Sritex. Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan Setiawan menyebut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor telah mengganggu operasional industri tekstil dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Kalau itu (mengganggu operasional) secara nyata pasti iya. Karena teman-teman kita juga kena, banyak teman-teman di tekstil ini," ujar dia saat ditemui di Gedung Kementerian Perindustrian, Jakarta Selatan, Senin (28/10). Ia menuding lahirnya Permendag 8/2024 telah membuat sejumlah pelaku usaha industri tekstil terpukul secara signifikan hingga pada akhirnya gulung tikar. Adapun satu per satu pabrik tekstil di Indonesia dilaporkan tutup dan bangkrut hingga menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai lebih dari 15 ribu orang.
Baca Juga: Cara Baru Israel Membunuh Bangsa Palestina
Saya menyebutkan bahwa pemerintah tidak melakukan antisipasi karena sebelumnya sudah terjadi PHK ribuan karyawan perusahaan textile di Jawa Barat karena kebijakan pemerintah melonggarkan kran impor tekxtil. Adalah Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana dalam tayangan CNBC Indonesia mengkritisi kebijakan pemerintah yang terkesan tidak mendukung industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri. Salah satu kebijakan yang dianggap lebih berpihak ke kepentingan asing adalah Permendag 8/2024 yang memberi ruang bagi masuknya impor tekstil asing. Imbasnya industri lokal harus kembali menghadapi persaingan dengan produk asing di pasar dalam negeri. Bukti Permendag 8/2024 berpihak ke asing juga tercermin dari apresiasi yang diberikan 9 Kadin Asing kepada Menko Perkeonomian waktu itu - Airlangga Hartarto terkait Permendag 8/2024.
Pak Danang pernah mengeluh dan memprediksi bahwa akibat peraturan pemerintah memudahkan produk tekstil impor masuk ke Indonesia maka akan ada sekitar 10.000 30.000 kontainer produk tekstil impor masuk ke Indonesia setiap bulan tahun 2024. Saya bisa menduga ribuan kontainer itu sebagian besar berasal dari negeri Cina. Padahal satu kontainer itu berisi ribuan jenis produk garmen baik untuk dewasa maupun anak-anak. Dia juga memprediksi para penjual garmen terkenal yang ada di Bandung misalnya akan terdampak dengan adanya kemudahan impor tekstil ini. Dan yang hancur tidak hanya penjual garmen tapi para industri tekstil nasional.
Sayangnya menurut pak Danang tadi, pemerintah ketika membuat Peraturan Kementrian Perdagangan nomor 8/2024 itu tidak mengajak diskusi para pemangku asosiasi tekstil. Pada dasarnya keluhan pak Danang itu tersirat pertanyaan kenapa negara kita lebih memberikan kemudahan kepada asing daripada kepada anak-anak bangsa sendiri yang seperti industri tekstil, penjual pakaian dan para pengelola UMKM.
Itu juga memunculkan pertanyaan, kenapa Indonesia tidak melakukan kebijakan untuk melindungi industri dalam negeri dengan mengenakan kebijakan tarif, non-tarif maupun kuota terhadap produk-produk impor murah dari Cina seperti yang dilakukan negara-negara lain. Saya dengar negeri Jiran Malaysia juga mengenakan tarif yang tinggi terhadap produk batik dari Indonesia dalam rangka melindungi produsen batik dalam negerinya Malaysia.
Untuk kasus PT. Sritex katakanlah pemerintah akan membantu keuangan perusahaan dengan cara memberi dana talangan atau bail-out; itu tidak akan bermakna terlalu signifikan bila pemerintah masih melakukan kebijakan membuka kran lebar-lebar impor produk tekstil murah dari luar negeri (terutama dari Cina).
Editor : Pahlevi