Optika.id - Belum lama Alun-alun Surabaya, yang berlokasi di komplek Balai Pemuda dibuka. Ruang terbuka (plaza) di antara gedung Merah Putih dan Balai Pemuda ramai dengan pengunjung. Ada muda-mudi, ada keluarga. Mereka bersuka ria menikmati ruang terbuka yang nyaman dan aman. Berfoto ria menjadi mainan.
Sementara ruang bawah tanah menjadi etalase perdagangan UMKM, yang bergaya plaza modern. Suasana di sana tak kalah ramainya dengan yang di luar. Apalagi ruang bawah tanah ber-AC. Kesejukan menambah kenyamanan.
Baca juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya
Adalah kegembiraan bagi publik karena ruang publik ini memberi wahana rekreasi murah meriah. Tapi sayang, ruang publik ini sangat membahayakan akan hilangnya nilai nilai sejarah yang terkandung di lokasi ini dan bahkan sejarah Kota Surabaya.
Tim Begandring Soerabaia ketika membuat konten video bersama artis ibu kota Isa Bajaj di lokasi bersejarah Balai Pemuda, yang kini dipopulerkan dengan nama 'Alun-alun Surabaya', bertanya secara acak kepada beberapa pengunjung. Pertanyaannya sama. Yaitu, "anda sekarang berada di mana?"
Jawabannya benar tapi mengkhawatirkan. Jawaban-jawaban yang diberikan mengataka, "saya ada di Alun-alun Surabaya.
[caption id="attachment_12446" align="alignnone" width="300"] Anggota Forum Begandring Soerabaia di Balai Pemuda. (Nanang for Optika)[/caption]
Woow. Para milenial itu tidak menyadari bahwa mereka duduk di teras bangunan bersejarah yang menjadi saksi bisu Pemuda Republik Indonesia ketika berperan dalam peristiwa November 1945. Tim Begandring tentu prihatin mendengar jawaban-jawaban itu. Karena para milenial ini tidak melihat latar belakang sejarah dari hasil pembangunan Alun-alun Surabaya di lokasi bersejarah Balai Pemuda. Tentu, ini bukan kesalahan mereka.
Namun, jika kesalahan ini terus berlanjut tanpa adanya upaya pelurusan sejarah maka bukan tidak mungkin, cepat atau lambat cerita dan fakta sejarah yang pernah terjadi di Balai Pemuda pada 1945 akan hilang. Nama Balai Pemuda tertindas oleh nama Alun-alun Surabaya.
Sesungguhnya, tidak hanya sejarah Balai Pemuda yang akan sirna, tapi ada sejarah kota lainnya yang menjadi korban keganasan nama Alun-alun Surabaya. Yaitu sejarah Alun-alun Surabaya sendiri yang memang pernah ada.
Alun-alun Surabaya pernah ada di kawasan Tugu Pahlawan di era pemerintahan Jayalengkara, Pangeran Pekik, hingga Trunojoyo yang deskripsi lokasinya sangat jelas tergambar pada peta penyerangan Cornelis Speelman pada 1677. Alun-alun sendiri menjadi perlambang sebuah sistem pemerintahan lokal (pribumi) yang disebut pemerintahan Kabupaten, bahkan ke belakang adalah pemerintahan Kadipaten.
Ketika bangsa kolonial sudah menempati wilayah Surabaya pun, mereka masih menghargai keberadaan sistem pemerintahan lokal yang ada beserta simbol simbol fisiknya. Misalnya di jaman kolonial, katika pemerintahan VOC di Surabaya (1612 1799) beralih ke pemerintahan Hindia Belanda (1800-1950), pemerintahan kolonial masih melestarikan model pemerintahan lokal.
Misalnya adanya sistem Karesidenan dan Kabupaten. Untuk tingkat Karesidenan dipimpin oleh seorang Residen yang memang dijabat oleh orang Eropa (Belanda). Kemudian di bawah Karesidenan terdapat beberapa pemerintahan Kabupaten yang masing masing Kabupaten dikepalai oleh seorang bupati.
Baca juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Misalnya untuk Karesidenan Surabaya membawahi Kabupaten Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang dan Gresik. Di setiap Kabupaten dipimpin oleh seorang pejabat pribumi yang bernama bupati. Tetapi di setiap wilayah kabupaten selalu ada pejabat Belanda yang bernama Wakil Residen, mewakili seorang Residen yang berkedudukan di ibu kota Karesidenan. Yaitu Surabaya. Jadi kalau itu Surabaya selain sebagai ibu kota Karesidenan, juga sebagai Kabupaten.
Kediaman wakil Residen yang juga berfungsi sebagai kantor wakil Residen ini umumnya tidak jauh dari Pendopo Kabupaten yang menjadi kediaman dan kantor bupati. Keduanya berada di sekitar Alun-alun.
Artinya ketika pemerintah kolonial Belanda masuk, mereka tidak menghilangkan struktur pemerintahan yang ada berikut sarana-sarananya. Bahkan sebaliknya, mereka melestarikannya. Tidak hanya melestarikan keberadaan Alun-alun, sebuah jalan yang melintas di area Alun-alun pun dinamakan jalan Alun-alun (Alun-alun Straat), seperti di Surabaya. Ini semua adalah fakta yang ada di Surabaya. Kini Alun-alun Straat berubah nama menjadi Jalan Pahlawan. Sementara lapangan terbuka Alun-alunnya sendiri sebagian tersisa menjadi area Tugu Pahlawan.
Alun-alun tidak sekedar Alun-alun bagi Kota Surabaya. Tapi sejarah Alun-alun adalah sejarah dan fakta pernah adanya sistem pemerintahan Kabupaten di Surabaya. Bahkan di komplek pemakaman Boto Putih, Bibis dan Ampel terdapat makam para Bupati Surabaya. Mereka adalah tokoh Surabaya. Mereka adalah bagian dari sejarah Surabaya. Sejarah Surabaya harus dijaga, bukannya dihanguskan dan dihilangkan.
Nah, dengan munculnya nama 'Alun Alun Surabaya' di lokasi bersejarah Balai Pemuda berarti membahayakan sejarah Surabaya karena sangat berpotensi menghilangkan:
1. Sejarah Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang pernah berkiprah di gedung yang pernah dipakai sebagai pusat hiburan elit Eropa Simpangsche Societeit dan
Baca juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
2. Sejarah pemerintahan lokal kadipaten dan atau Kabupaten Surabaya dengan Alun-alunnya.
Karenanya, sebelum terlambat, sejarah Surabaya menjadi hilang karena adanya nama Alun-alun Surabaya di komplek Balai Pemuda, maka hendaknya nama Alun-alun Surabaya ditinjau kembali dan dicari nama baru yang lebih sesuai dan tidak mengaburkan fakta sejarah.
Forum Begandring Soerabaia mengusulkan nama-nama seperti: Alun-alun Simpang, Alun-alun Pemuda, Plaza Pemuda atau Plaza Simpang.
Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya)
Editor: Amrizal
Editor : Pahlevi