Jurnalisme Sehat: Komitmen Ideologi Dakwah Digital Muhammadiyah

Reporter : Seno
IMG-20220117-WA0026

[caption id="attachment_12269" align="aligncenter" width="150"] Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I (Dosen Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya)[/caption]

Optika.id - Memasuki abad ke-2 dakwah Muhammadiyah fokus pada tiga agenda yaitu: Internasionalisasi Muhammadiyah, Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Digitalisasi dakwah Muhammadiyah. Digitalisasi dakwah menjadi kebutuhan mendesak bagi pola baru dakwah Muhammadiyah di era disrupsi (Revolusi Industri 4.0).

Baca juga: Survei PUSAD UM Surabaya: Warga Muhammadiyah Jatim Anggap Khofifah Pemimpin Merakyat dan Jaga Kerukunan Beragama

Era Disrupsi dengan teknologi informasi (internet) sebagai basis katalisator perubahan masyarakat menjadikan relasi kehidupan sosial termasuk pada kehidupan keagamaan serba digital. Sehingga mendorong Muhammadiyah merespon secara cepat dengan pembuatan situs-situs dakwah digital, sebagai pola baru dakwah digital di era disrupsi

Dakwah digital Muhammadiyah berkomitmen menghadirkan jurnalisme sehat (jurnalisme maslahat). Jurnalisme sehat adalah jurnalisme yang memproduksi dan menyebarkan informasi secara bebas dan bertanggung jawab berdasarkan kode etik press dan etika keadaban publik berdasarkan nilai-nilai moralitas dan ajaran agama.

Jurnalisme sehat merupakan bagian komitmen implemintasi ideologi Muhammadiyah yaitu ideologi dakwah amar makruf nahi mungkar (mengajak kebaikan mencegah kejahatan). Prinsip mengajak kebaikan (Amar Makruf) adalah harus menghadirkan informasi yang baik dan benar mulai dari sumber produksi hingga penyebarannya ditengah masyarakat.

Menghadirkan jurnalisme sehat era digital saat ini menjadi kebutuhan mendesak dan hal yang sangat penting ditengah masyarakat informasi (information society)

Rogers (1991) menyatakan bahwa masyarakat informasi adalah sebuah masyarakat yang sebagian besar angkatan kerjanya adalah pekerja bidang informasi, dan informasi menjadi elemen yang dianggap paling penting dalam kehidupan.

Berdasarkan kajian Sadar (1991), tren perubahan tersebut menyasar pula terhadap relasi komunitas keagamaan terutama terkait komunikasi dakwah. Dimana anggota (jamaah) komunitas keagamaan harus beradaptasi dengan penggunaan teknologi informasi (internet).

Masyarakat digital secara budaya adalah segmental, artinya terpolarisasi dalam beragam orientasi kolektif, pola relasi, dan sistem pengetahuan yang majemuk serta gampang sekali berubah. Orientasi sosial komunitas ini eksklusif yang cenderung berada dalam dunia sendiri, tidak jarang memiliki sikap fanatik sosial tertentu.

Dalam orientasi keagamaannya heterogen, baik yang berafilias pada agama tertentu, lebih cair lagi diantara mereka tidak sedikit lebih mengedepankan orientasi spiritual yang besifat lintas yang jika dibiarkan dapat lepas, dan cenderung anti agama atau spritualiatas tanpa agama.

Masyarakat digital menjadi komunitas yang tercerabut alam pikiran dan budaya aslinya dan digantikan dengan budaya baru serba mesin digital yang maya. Hubungan sosial mereka laksana mesin dan bersifat impersonal, kehilangan personalitasnya selaku manusia yang memeliki rasa dan hati.

Orang bisa duduk berjam-jam sebelahan tetapi satu sama lain tidak saling komunikasi karena asyik dengan pihak lain (the other) di sebarang sana melalui media maya yang digenggamnya. Inilah fenomena chaos dan disrupsi dalam masyarakat digital. (Haedar Nashir, 2019).

Sehingga menjadi penting menghadirkan jurnalisme sehat dalam peradaban digital, mengapa? Situasi jurnalisme hari ini ada semacam ketidak jelasan atau kekaburan.

Tayangan-tayangan yang muncul di televisi dan media sosial (online) hari ini, banyak yang berdasarkan keinginan masyarakat, bukan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat pun tak mendapatkan manfaatnya. Artinya situasi dan kondisi media kita saat ini cenderung dibanjiri oleh media berselera rendah, media hoax, media penuh kebencian menyimpang dari asas jurnalisme sehat.

Di era saat ini muncul istilah jurnalisme selera rendah, yang mengemas berita gossip, sensasi, konflik dan seks menjadi berita yang asal laku dijual tanpa memperdulikan etika, kepatutan, dampak negatif dan kode etik jurnalistik.

Ada pula istilah jurnalisme plintiran, yang memutarbalikkan fakta dan mencampuradukan antara fakta dan opini. Ada pula praktek jurnalisme talang-air, yang menuangkan begitu saja informasi dari lapangan/sumber berita ke halaman suratkabar tanpa dipilah-pilah terlebih dahulu melalui kacamata kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut Paul Johnson (2007), menyebut ada tujuh dosa mematikan (seven deadly sins) jurnalisme yaitu:

Baca juga: 73,7 Persen Warga Muhammadiyah Puas dengan Kepemimpinan Khofifah-Emil

Pertama, distorsi Informasi. Praktek distorsi informasi ini lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi informasi baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual, yang tidak sesuai dengan sumber aslinya dengan akibat makna menjadi berubah.

Kedua, dramatisasi fakta palsu. Dramatisasi ini dipraktekkan dengan memberikan illustrasi secara verbal, auditif atau visual yang berlebihan tentang suatu obyek.

Ketiga, mangganggu privacy. Pada umumnya praktek ini dilakukan dalam peliputan kehidupan kalangan selebritis dan kaum elite, terutama yang diduga terlibat dalam suatu skandal. Berbagai cara dilakukan, antara lain melalui penyadapan telepon, penggunaan kamera dengan telelens, dan sering pula wawancara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat pribadi, memaksa atau menjebak.

Keempat, pembunuhan karakter. Praktek ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi/ perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan.

Kelima, eksploitasi seks. Praktek eksploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli dunia periklanan. Praktek tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara menempatkan di halaman depan surat kabar tulisan yang bermuatan seks.

Keenam, meracuni benak/pikiran anak. Praktek ini dilakukan di dunia periklanan dengan cara menempatkan figur anak-anak.

Ketujuh, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of the power). Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi di lingkungan pejabat pemerintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol kebijakan editorial/pemberitaan media massa.

Praktek jurnalisme kotor sering dijumpai di media Indonesia dalam bentuk:

Baca juga: Zulkifli Hasan Dampingi Prabowo Saat Hadir dalam Acara Dialog Terbuka Muhammadiyah!

1) eksploitasi judul, cara ini sering dipraktekkan dengan membuat judul yang tidak sesuai dengan isi beritanya. 2) sumber berita konon kabarnya (anonim-hoax). 3) dominasi opini elit dan kelompok mayoritas (monopoli berita). 4) penyajian informasi yang tidak investigatif (hoax).

Melihat fakta di atas sungguh sangat membahayakan bagi relasi sosial kehidupan masyarakat plural seperti Indonesia. Masyarakat plural dengan beragam orientasi dan kultur mudah dijadikan bahan memproduksi jurnalisme kotor dengan beragam tujuan. Terutama bagi kelompok-kelompok yang mengambil untung dari kondisi choas di masyarakat.

Selain itu, masyarakat Indonesia sedang memasuki masyarakat digital yang sangat tergantung dengan media informasi berbasis digital, sangat berbahaya jika mereka sering diasupi oleh informasi jurnalisme kotor. Hal itu dapat merusak kesadaran dan informasi publik. Sehingga, dapat berpotensi terjadi konflik, kebencian dan kekacauan antar masyarakat. Situasi ini tent sangat membahayakan kehidupan bangsa Indonesia yang damai.

Maka disinilah, makna penting menghadirkan ideologi jurnalisme sehat yang diusung oleh dakwah digital Muhammadiyah. Sebagai bagian ikut menjadikan kedamaian dan persatuan bangsa Indoesia.

Demikian tulisan ini semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memiliki ilmu dan kebenaran sejati kita hanya disuruh belajar.

Oleh: Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I (Dosen Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya)

Editor: Amrizal

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru