Ini Catatan Khusus Demokrat Terkait UU Ibu Kota Negara

Reporter : Seno
images - 2022-01-18T141632.418

Optika.id - Meskipun Fraksi Demokrat DPR RI telah menyetujui pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara. Namun, Demokrat memberikan catatan khusus terkait itu.

"Oleh kesempatan yang baik ini kami Fraksi Demokrat ingin menegaskan kembali bahwa sesungguhnya fraksi kami tetap konsisten bersepakat menerima RUU IKN menjadi UU, namun demikian kami ingin menegaskan kembali beberapa catatan," ujar Anggota Fraksi Demokrat Suhardi Duka dalam interupsi di rapat paripurna, Selasa (18/1/2022).

Baca juga: Kepala Otoritas IKN Berharap Masyarakat Bisa 'Urunan' Bangun Ibu Kota Negara

Suhardi menekankan pemerintah untuk memprioritaskan kebutuhan masyarakat. Mulai dari fasilitas sosial, transportasi hingga kesehatan.

"Pertama bahwa kita harus sadari pemindahan ibu kota tidak hanya memindahkan ruang kerja, tapi memindahkan ruang hidup orang banyak. Oleh karena itulah perlu menjadi perhatian, jadi prioritas, kebutuhan sekolah, transportasi, fasilitas rumah sakit dan fasilitas sosial lainnya termasuk pembuangan limbah dan sampah," katanya.

Suhardi juga mengingatkan pentingnya perencanaan lingkungan yang matang. Dia mewanti-wanti jangan sampai lingkungan yang ada jadi rebutan beberapa pihak.

"Di lain sisi, kawasan hutan ratusan ribu hektare akan berubah fungsi jadi kawasan pemukiman, dengan demikian rencana lingkungan yang matang dan teliti jadi substansi, jangan sampai mengubahnya kawasan hutan 258 ribu hektare yang di dalamnya punya potensi kayu, tambang dan lain-lain, menjadi rebutan para pihak yang justru akan merusak lingkungannya," ujarnya.

Oleh karena itu, dia meminta pemerintah untuk berhati-hati agar tujuan pembangunan ibu kota baru untuk kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.

"Maka pemerintah harus berhati-hati dan sekaligus perencanaan yang matang untuk ke semuanya bisa menjadi kepentingan bangsa dan negara bukan orang per orang," ujarnya.

Fadli Zon Tak Sepakat Nama Nusantara

Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon tidak sepakat Nusantara digunakan sebagai nama Ibu Kota baru Indonesia.

Fadli Zon mengusulkan nama Jokowi dijadikan sebagai nama Ibu kota baru, mengingat nama Nusantara sudah memiliki pengertian sendiri bagi masyarakat Indonesia.

Kritik itu disampaikan Fadli Zon melalui akun Twitternya @fadlizon. Cuitan terkait nama ibu kota negara itu diunggah Fadli pada Selasa (18/1/2022) dini hari pukul 02.47 WIB.

Nusantara punya pengertian sendiri sebagai wilayah Indonesia, belum lagi ada Wawasan Nusantara. Usul saya nama Ibu Kota langsung saja Jokowi. Sama dengan Ibu kota Kazakhstan Nursultan (dari nama Presiden Nursultan Nazarbayev), ujarnya

Fadli menganggap nama Nusantara tidak cocok jadi nama ibu kota.

Nusantara kurang cocok jadi nama Ibu Kota baru, ungkapnya.

Asal Usul Kata Nusantara

Baca juga: PPN Naik Jadi 11 persen, Karena Proyek Ibu Kota Negara Nusantara?

Terkait nama Nusantara, sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Margana mencoba menjelaskannya.

"Nusantara itu sebuah konsep geopolitik untuk mencakup secara keseluruhan wilayah yang terdiri unsur darat dan air (kepulauan dan lautan) di bawah suatu entitas negara. Nama diambil untuk ibu kota tentu yang bisa mencakup pengertian itu," kata Margana dalam keterangannya, Selasa (18/1/2022).

Margana menyebut, dari segi bahasa, 'Nusantara' saat ini sudah diadopsi dalam Bahasa Indonesia dan sudah menjadi bahasa nasional. Kata 'Nusantara' sendiri sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang bermakna 'sebutan (nama) bagi seluruh wilayah Kepulauan Indonesia'.

"Bahasa Indonesia itu umumnya diadopsi dari Bahasa Melayu, Jawa dan bahasa asing dan daerah lainnya. Itu perlu ditekankan sudah diadopsi dalam bahasa nasional," ujar Margana.

Selain itu, Bahasa Jawa kuno dan Bahasa Sansekerta juga tidak hanya dipakai di Jawa saja. Banyak prasasti di Kalimantan atau Sumatera juga menggunakan Sansekerta. Hal ini sekaligus menganulir jika nama Nusantara terlalu Jawa-sentris.

"Bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta itu tidak hanya dipakai di Jawa. Prasasti-prasasti masa Hindu di Sumatera dan di Kalimantan juga pakai Bahasa Sansekerta," urainya.

Menurut Margana, nama 'Nusantara' lahir di masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Pusat pemerintahan atau ibu kota kerajaan Majapahit sendiri memang berada di Jawa, tepatnya di Mojokerto, Jawa Timur.

"Terus kalau dari Majapahit kenapa, ini kerajaan yang dulu wilayahnya meliputi wilayah Nusantara atau Indonesia sekarang. Kenapa nama Ibu Kota Jakarta itu tidak diprotes itu juga jawa. Jangan terjebak pada nama, tapi makna," tegasnya.

Baca juga: Kepala Otorita IKN Kunjungi KPK, Ada Apa?

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki Wawasan Nusantara yang sudah disepakati secara nasional sebagai cara pandang bangsa terhadap wilayahnya. Dunia internasional juga sudah mengakui wawasan itu yang diterjemahkan dalam Deklarasi Djuanda 1957 dengan istilah Archipelagic State (negara kepulauan).

"Dijadikan dasar Deklarasi Djuanda untuk konsep archipelagic state. Makananya sebagai cara pandang bangsa 'Indonesia' (bukan Jawa) atas wilayahnya yang terdiri dari darat, laut dan udara sebagai satu kesatuan," jelasnya.

Margana menyebut, ibu kota merupakan milik nasional. Oleh karena itu pilihan nama bisa mencerminkan kepemilikan bersama itu. Sehingga pemerintah mencari istilah netral yang bisa diterima semua suku dan budaya di Indonesia.

"Mungkin beliau (Presiden Jokowi) ingin menghindari istilah yang hanya bagian dari satu suku tertentu di Indonesia, karena bisa menimbulkan sentimen primordialisme. Nama ini terkesan archaic (kuno) tetapi cukup berakar dalam sejarah dari masa kuno dan masih di-preserve (dilestarikan) hingga sekarang sebagai istilah yang netral," pungkasnya.

Reporter: Amrizal

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru