Optika.id - Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa mantan Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, 4 tahun 2 bulan penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan penjara, Senin (24/1/2022) di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Menanggapi tuntutan itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengaku tidak mengagetkan. Bagi ICW tuntutan ini semakin menguatkan dugaan bahwa KPK memang enggan memberikan efek jera maksimal kepada pelaku korupsi yang mempunyai irisan dengan wilayah politik, ujar Kurnia dalam keterangannya, Senin (24/1/2022).
Baca juga: Ahmad Labib, Wajah Baru Golkar yang Lolos ke Senayan dari Dapil Jatim X
Sebelum Azis, Kurnia melanjutkan, ICW mencatat terdapat Edhy Prabowo dan Juliari Batubara yang juga dituntut ringan oleh KPK. Menurutnya, hal itu tentu bukan kesalahan dari jaksa penuntut umum, karena perumusan tuntutan di KPK tidak diputuskan sepihak oleh penuntut, melainkan berkoordinasi dan menunggu dari pimpinan KPK.
Maka, kata Kunia, ICW menyimpulkan bahwa pimpinan KPK yang patut untuk dipertanyakan mengapa Azis hanya dituntut 4 tahun 2 bulan penjara. Bagi ICW, ia sangat layak dan pantas dituntut maksimal 5 tahun penjara, tutur Kurnia.
Di luar itu, Kurnia juga menjelaskan mengenai adanya permasalahan dalam UU Tipikor. Menurutnya, mestinya untuk pihak pemberi suap, konstruksi pasalnya bisa didetailkan, misalnya, memberi suap kepada penegak hukum maka sanksinya bisa ditambah, bukan hanya maksimal 5 tahun, melainkan ditinggikan menjadi 10 tahun penjara.
"Jadi, orang-orang seperti Azis Syamsuddin atau mungkin dalam perkara lain, Djoko Tjandra, hukuman mereka bisa lebih berat, kata Kurnia.
Sementara, pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, menjelaskan bahwa tuntutan tersebut sudah mempertimbangkan semua fakta-fakta di persidangan. "Tentu berdasarkan analisa seluruh fakta-fakta hasil persidangan perkara dimaksud," ujarnya.
Diketahui menurut Jaksa Penuntut Umum, yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selain itu, jaksa melanjutkan, hal yang memberatkan lainnya adalah terdakwa merusak citra kepercayaan masyaarakat karena anggota dewan perwakilan rakyat. "Serta terdakwa tidak mengakui kesalahannya, dan berbelit-belit dalam persidangan," katanya.
Azis dinyatakan terbukti secara sah melakukan tidak pidana korupsi. Menurut jaksa penuntut umum, Azis dinyatakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP," kata jaksa.
Azis menjadi terdakwa kasus dugaan suap terhadap bekas penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju. Duit suap sebesar Rp 3,1 miliar itu ditengarai untuk mengurus penanganan perkara suap Dana Alokasi Khusus (DAK) Lampung Tengah. Kuasa hukum mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa, Muhammad Yunus mengatakan Azis melalui Aliza Gunado, kolega Azis di Partai Golkar mendapat uang Rp 2 miliar sebagai bentuk komitmen atas pengucuran DAK Lampung Tengah tahun 2017.
Baca juga: KPK Panggil Sekretaris BPBD Kabupaten Sidoarjo, Soal Apa ya?
Azis menghubungi Robin pada Agustus 2020 dan meminta tolong mengurus penanganan kasus dugaan suap DAK Lampung Tengah. Robin lantas menghubungi pengacara Maskur Husain untuk mengawal dan mengurus perkara itu. Setelah itu, Maskur menyampaikan kepada Azis dan Aliza agar masing-masing dari mereka menyiapkan Rp 2 miliar.
"Azis lantas mentransfer uang senilai Rp 200 juta dari rekening pribadinya ke rekening Maskur secara bertahap," tutur jaksa penuntut umum.
Masih pada Agustus 2020, Robin juga diduga datang menemui Azis di rumah dinas Wakil Ketua DPR untuk menerima uang secara bertahap, yakni USD 100.000, SGD 17.600, dan SGD 140.500. "Robin dan Maskur lantas menukarkan uang itu ke bentuk rupiah dengan menggunakan identitas lain," kata jaksa penuntut umum.
Namun, dalam sidang pemeriksaan yang digelar Senin (17/1/2022), Azis membantah semua dakwaan tersebut. Dia mengaku tidak pernah membahas kasus dugaan korupsi DAK Kabupaten Lampung Tengah. "Saya tidak pernah membicarakan terkait dengan DAK Lampung Tengah dengan Robin," ujar Azis pekan lalu.
Mengenai bukti transfer yang menjadi bukti, Azis menerangkan bahwa adalah uang yang dipinjam Robin kepadanya. Dia mengaku beberapa kali meminjamkan uang kepada Robin, pertama sejumlah Rp 10 juta antara Mei atau Juni 2020 lalu dengan alasan untuk keperluan keluarga yang sakit, dan dipinjamkannya pada sekitar pertemuan kedua atau ketiga dengan Robin dan dikirimkan ke rekening Robin.
"Kemudian kedua Rp 200 juta yang ditransfer secara bertahap sebanyak empat kali melalui transfer rekening pada 2-5 Agustus 2020 sebesar Rp 50 juta," kata Azis setelah ditanya terkait dengan bukti transfer oleh Majelis Hakim.
Baca juga: Sarmuji Unggul di Jatim VI, Golkar, PDIP, dan PKB Bersaing Ketat
Uang Rp 200 juta itu ditransfer bukan ke rekening atas nama Robin. Azis Syamsuddin menyebut mentransfer ke rekening saudara Robin, yang ternyata atas nama Maskur Husain, pengacara dan rekanan Robin. "Itu semua atas permintaan Robin meminjam. Saya transfer sehari Rp 50 juta itu karena batas transfer per hari saya hanya Rp 50 juta," katanya.
Selain itu, Azis juga membantah mengurus kenaikkan DAK Lampung Tengah saat menjabat Ketua Badan Anggaran DPR. Azis mengatakan, Badan Anggaran DPR tidak memiliki tugas untuk memutuskan seberapa besar anggaran yang diakukan pemerintah daerah.
Reporter: Amrizal
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi