Optika.id - Mahkamah Konstitusi (MK) hingga hari ini menyatakan presidential threshold adalah open legal policy yang menjadi hak DPR untuk menentukannya. Namun penggugat menyatakan MK pernah membatalkan hak itu dengan berbagai alasan. Jadi, menurut penggugat, MK seharusnya bisa juga membatalkan presidential threshold 20 persen menjadi 0 persen.
"Kami juga melihat beberapa macam putusan Mahkamah menyangkut masalah open legal policy ini, telah dibatalkan oleh Mahkamah," kata kuasa hukum pemohon, Ahmad Yani, yang tertuang dalam risalah sidang seperti dikutip Optika.id dari website MK, Rabu (23/2/2022).
Baca juga: Hambat Lahirnya Pemimpin Demokratis, Politisi Nasdem Minta PT 20 persen Dihapus!
Ahmad Yani menjadi kuasa bagi 3 anggota DPD, yaitu Tamsil Linrung, Fahira Idris, dan Edwin Pratama Putra. Ahmad Yani menyebutkan putusan MK yang dimaksud adalah soal keterpilihan anggota DPR. Awalnya keterpilihan berdasarkan nomor urut kemudian oleh MK dianulir, yaitu yang memperoleh suara terbanyak.
"Yang kedua, adalah kedudukan Anggota DPR atau DPD apabila ingin maju pilkada, maka sebelumnya hanya tidak berhenti, tapi dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi, maka mewajibkan anggota DPR dan anggota DPD yang maju ke pilkada, maka dia wajib berhenti jadi anggota DPR atau DPD," tutur Ahmad Yani.
Yang ketiga adalah putusan MK soal kepala daerah yang ingin running berikutnya tapi masih incumbent. Meski itu adalah one legal policy DPR, tapi MK membatalkannya.
"Harus 6 bulan sebelumnya mereka harus mundur, tapi Mahkamah Konstitusi memutuskan cukup dengan cuti," tutur Ahmad Yani yang juga pernah menjadi Anggota Komisi III DPR itu.
Keempat, soal syarat memilih dalam Pemilu. Sebelumnya pemilih harus terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT), tapi open legal policy itu diubah.
"Tapi dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi cukup mengajukan KTP," tutur Ahmad Yani. Yang terakhir adalah soal pemilu serentak.
"Pemilu serentak, Mahkamah Konstitusi juga sudah memutuskan. DPR dan pemerintah sudah menyatakan pemilu itu berjenjang, tapi dengan putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, maka pemilu itu serentak dilakukan," terang Ahmad Yani.
Oleh sebab itu, Tamsil Linrung, Fahira Idris, dan Edwin Pratama Putra tetap dalam permohonannya agar syarat presidential threshold dihapus. Aturan yang digugat tersebut tertuang dalam Pasal 222 UU Pemilu. Pasal tersebut berbunyi:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568 sepanjang frasa yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20n jumlah suara 25% secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," pinta pemohon.
Pengujian presidential threshold diajukan oleh puluhan orang yang tersebar dalam beberapa permohonan. Yaitu:
1. Adang Suhardjo
2. Marwan Batubara
3. Ali Ridhok
4. Benne Akbar Fatah.
5. Jaya Suprana
6. Gatot Nurmantyo
7. Syafril Sjofyan
8. Tito Reosbandi
9. Elyan Verna Hakim
10. Endang Wuryaningsih
11. Ida Farida
12. Neneng Khodijah
13. Lukman Nulhakim
14. Ferry Joko Yuliantono
15. Fachrul Razi
16. Bustami Zainudin
17. Partai Ummat
18. Lieus Sungkharisma
19. Tamsil Linrung
Baca juga: Cegah Polarisasi dan Politik Identitas, Pemuda Surabaya Dorong Penurunan Ambang Batas Capres
20. Edwin Pratama Putra
21. Fahira Idris
22. Tata Kesantra, tinggal di New York, Amerika Serikat
23. Ida irmayani, tinggal di New York, Amerika Serikat
24. Sri Mulyanti Masri, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
25. Safur Baktiar, tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat
26. Padma Anwar, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
27. Chritsisco Komari, tinggal di California, Amerika Serikat
28. Krisna Yudha, tinggal di Washington, Amerika Serikat
29. Eni Garniasih Kusnadi, tinggal di San Jose, California, Amerika Serikat
30.Novi Karlinah, tinggal di Redwood City, California, Amerika Serikat
31. Nurul Islah, tinggal di Everett, Washington, Amerika Serikat
32. Faisal Aminy, tinggal di Bothell, Washington, Amerika Serikat
33. Mohammad Maudy Alvi, tinggal di Bonn, Jerman
34. Marnila Buckingham, tinggal di West Sussex, United Kingdom
35. Deddy Heyder Sungkar, tinggal di Amsterdam, Belanda
Baca juga: Demokrasi Seolah-Olah
36. Rahmatiah, tinggal di Paris, Prancis
37. Mutia Saufni Fisher, tinggal di Swiss
38. Karina Ratna Kanya, tinggal di Singapura
39. Winda Oktaviana, tinggal di Linkuo, Taiwan
40. Tunjiah, tinggal di Kowloon, Hong Kong
41. Muji Hasanah, tinggal di Hong Kong
42. Agus Riwayanto, tinggal di Horoekimae, Jepang
43. Budi Satya Pramudia, tinggal di Beckenham, Australia
44. Jumiko Sakarosa, tinggal di Gosnells, Australia
45. Ratih Ratna Purnami, tinggal di Langford, Australia
46. Fatma Lenggogeni, tinggal di New South Wales, Australia
47. Edwin Syafdinal Syafril, tinggal di Al-Khor, Qatar
48. Agri Sumara, tinggal di Al-Kohr, Qatar
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi