Tak Ada Presidential Threshold di Negara-negara Penganut Sistem Presidensial

Reporter : Seno
images - 2022-02-23T083247.285

Optika.id - Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji aturan soal presidential threshold 20 persen yang digugat puluhan orang. Diketahui, besok Kamis (24/2/2022), MK akan memutuskan gugatan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan kawan-kawan. MK memiliki penelitian yang membahas kondisi pemerintahan di negara-negara dengan sistem presidensial tanpa presidential threshold.

"Di negara-negara yang menganut sistem presidensial, seperti Amerika, Brasil, Peru, Meksiko, Kolombia, dan Kyrgyzstan, ambang batas tidak dikenal. Mereka menerapkan sistem terbuka pencalonan tanpa dipersyaratkan dukungan. Meski demikian, sistem pemerintahan mereka juga tergolong stabil, seperti yang dicontohkan oleh Amerika Serikat," demikian kesimpulan peneliti MK, Abdul Ghoffar. Hal itu tertuang dalam Jurnal Konstitusi Vol 15, Nomor 3 (2018) yang dikutip Optika.id, Rabu (23/2/2022).

Baca juga: Hambat Lahirnya Pemimpin Demokratis, Politisi Nasdem Minta PT 20 persen Dihapus!

AS Tak Terapkan Ambang Batas

Abdul Ghoffar mengatakan sebagai sebuah negara yang sangat besar dengan sistem presidensial yang paling mapan, Amerika Serikat (AS) tidak menerapkan ambang batas.

Pada Pilpres 2016, misalnya. Saat itu ada pasangan calon Hillary Clinton dan Tim Kaine dari Partai Demokrat, serta Donald Trump dan Mike Pence dari Partai Republik.

Selain itu, ada juga banyak pasangan dari Partai Ketiga (sebutan untuk partai-partai kecil dan independen). Misalnya, pasangan Gary Johnson dan Bill Weld dari Partai Liberal (Libertarian Party), pasangan Jill Stein dan Ajamu Baraka dari Partai Hijau (Green Party), serta kandidat dari partai-partai lain dan independen yang total terdapat sekitar 24 calon yang terdaftar di surat suara di beberapa negara bagian atau menjadi calon tertulis.

"Meski demikian, tidak ada calon dari partai ketiga tersebut, yang mendominasi sebuah negara bagian pada pemilih," ujar Abdul Ghoffar.

Bagaimana dengan Brasil?

Kondisi tersebut juga terjadi di Brasil. Negara itu tidak mengatur ambang batas pencalonan presiden dalam sistem ketatanegaraan mereka.

Pasal 77 Konstitusi Brasil menjelaskan bagaimana mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden. Pasal itu mengatur Presiden dan dan Wakil Presiden dan jika harus ada putaran kedua maka akan dilakukan pada hari minggu terakhir bulan Oktober sebelum berakhirnya tahun masa jabatan Presiden yang sedang menjabat saat itu.

Setelah calon Presiden dan Wakil Presiden didaftarkan oleh partai politik, calon yang mendapatkan suara mayoritas mutlak, akan dianggap sebagai Presiden terpilih. Jika tidak ada calon yang mencapai mayoritas mutlak pada pemungutan suara pertama, pemilihan putaran kedua akan diadakan dalam waktu 20 hari setelah pengumuman hasil antara dua kandidat yang memperoleh jumlah suara terbanyak.

"Pada Pilpres yang digelar pada Oktober 2018, sedikitnya sudah ada 16 kandidat yang mengumumkan pencalonannya. Para calon ini berasal dari berbagai macam background, mulai dari senator, deputi, mantan menteri, mantan Hakim Agung, bahkan mantan Presiden yang pernah diturunkan (impeachment)," ujar Abdul Ghoffar.

Jika tidak ada satu pun calon yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen suara sah, maka akan dilakukan putaran kedua dengan dua kandidat yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua.

"Keharusan mendapat 50 persen lebih ini mirip dengan di Indonesia," beber Abdul Ghoffar.

Bagaimana dengan di Peru?

Berdasarkan Pasal 111 Konstitusi Peru, presiden dipilih melalui hak pilih langsung. Calon yang mendapat suara lebih dari separuh suara pemilih dinyatakan sebagai calon terpilih. Suara yang tidak sah atau kosong tidak dihitung.

"Pada tahun 2016, tepatnya pada tanggal 10 April, Peru menyelenggarakan pemilihan presiden putaran pertama. dalam ajang demokrasi itu diikuti oleh 10 calon, yaitu Keiko Fujimori, Pedro Pablo Kuczynski, Veronika Mendoza, Alfredo Barnechea, Alan Garcia, Gregorio Santos, Fernando Olivera, Alejandro Toledo, Miguel Hilario, Antero Flores-Araoz," kata Abdul Ghoffar.

Meksiko juga Sama dengan Peru

Meksiko juga menganut pemilihan presiden langsung. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 81 Konstitusi Meksiko, yang menyatakan:

The President of the United Mexican States is directly elected by the people according to the electoral law.

Pada 2018 ini, Meksiko menyelenggarakan pemilihan umum yang digambarkan sebagai pemilihan umum terbesar dalam sejarah negara itu. Menurut National Electoral Institute (INE) atau Komisi Penyelenggara Pemilu Meksiko, dari 88 juta pemilih terdaftar akan memilih Presiden baru untuk 6 tahun masa jabatan, juga akan memilih 500 anggota the Chamber of Deputies, dan 128 anggota Senat.

Pada hari yang sama, 30 dari 32 negara bagian juga akan melangsungkan pemilihan lokal. Dalam pemilihan kali ini, setidaknya sudah ada empat calon presiden yang sudah resmi terdaftar, yaitu:

1. Andres Manuel Lopez Obrador

2. Ricardo Anaya

Baca juga: Cegah Polarisasi dan Politik Identitas, Pemuda Surabaya Dorong Penurunan Ambang Batas Capres

3. Jose Antonio Meade, dan

4. Margarita Zavala (calon independen)

Margarita Zavala merupakan perempuan kelahiran 25 Juli 1967 ini bernama lengkap Margarita Ester Zavala Gómez del Campo. Sehari-hari Margarita berprofesi sebagai seorang ahli hukum (lawyer) and politikus. Dia adalah istri mantan Presiden Meksiko, Felipe Calderón, dan menjadi Ibu negara selama suaminya menjabat sebagai Presiden.

Bagaimana dengan Kyrgyztan?

Demikian juga di Kyrgyzstan, sebuah negara pecahan Uni Soviet. Negara ini dipimpin oleh Presiden sebagai kepala negara yang dipilih melalui pemilihan umum dengan masa jabatan 6 tahun dan hanya dapat memimpin untuk satu periode saja.

Sejak diadopsinya pemerintahan parlementer hasil referendum nasional pada 27 Juni 2010, sebagian wewenang Presiden diserahkan kepada Perdana Menteri dan Parlemen untuk menciptakan checks and balances.

"Di negara modern yang baru berkembang ini, tidak dikenal istilah presidential threshold. Sebab, di negara bekas pecahan Uni Soviet itu, setiap warga negara, dengan syarat tertentu, memiliki hak untuk mencalonkan diri sebagai Presiden," tutur Abdul Ghoffar.

Berdasarkan Konstitusi Kyrgyzstan, tepatnya Pasal 62 ayat (1) dikatakan:

A citizen of the Kyrgyz Republic, no younger than 35 years of age and not older than 70 years of age, who has a command of the state language and who has been resident in the republic for no less than 15 years in total may be elected President.

Lebih lanjut ayat (2) menyatakan:

There shall be no limit on the number of candidates for the office of the President. A person who has collected not less than 30,000 voters' signatures may be registered as a presidential candidate. The procedure for presidential elections shall be defined by the constitutional law.

Dalam pemilihan terbaru itu, sebenarnya ada 13 calon Presiden yang telah tertulis di kertas suara. Namun ada tiga yang mengundurkan diri atau bergabung dengan calon lain. Sehingga total yang maju dan dipilih ada 10 calon, dengan perincian tujuh calon berasal dari jalur perseorangan, sementara sisanya dari partai politik. Pemilihan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Sooronbay Jeenbekov, mantan Perdana Menteri, dari Social Democratic Party of Kyrgyzstan," ujarnya.

Baca juga: Demokrasi Seolah-Olah

Bagaimana dengan Kolombia?

Demikian juga Kolombia. Berdasarkan Pasal 115 Konstitusi Kolombia, Presiden adalah Kepala Negara, kepala pemerintahan dan otoritas administrasi tertinggi.

Pemerintah nasional terdiri dari Presiden Republik, Menteri Kabinet dan direktur departemen administrasi. Presiden dan menteri atau direktur departemen dapat mewakili pemerintah dalam bidangnya.

Kolombia juga tidak mengenal presidential threshold. Pada 2018 ini, Kolombia menyelenggarakan pemilihan presiden dengan banyak calon yang berlaga.

Mereka adalah Van Duque Marquez yang diusung oleh partai atau aliansi Grand Alliance for Colombia, 38 Gustavo Petro dari List of Decency, 39 Sergio Fajardo diusung oleh Colombia Coalition, German Vargas Lleras dari Mejor Vargas Lleras, Humberto De la Calle dari PLC-ASI, Jorge Antonio Trujillo dari We Are All Colombia. Karena tidak ada yang mendapatkan suara mayoritas mutlak, pemilu digelar dua kali.

"Sistem yang ada di Indonesia, mirip dengan sistem pemilihan umum presiden di kebanyakan negara Amerika Latin, yakni sistem dua putaran (majority run-off): pemenang harus memperoleh minimal lebih dari 50 persen suara atau diadakan putaran kedua yang diikuti oleh peserta dengan perolehan suara terbanyak pertama dan kedua. Umumnya pemilu legislatif dan eksekutif di Amerika Latin juga berlangsung serentak dan tidak ada pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden," tuturnya.

Meski demikian, MK menyatakan presidential threshold adalah kebijakan politik DPR. Jadi bukan kewenangan MK untuk menilainya, apakah konstitusional atau tidak.

"Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi, telah memutuskan soal konstitusionalitas dari ambang batas pencalonan presiden. Dalam putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, bertanggal 18 Februari 2009, MK menegaskan bahwa persoalan pengaturan ambang batas adalah open legal policy," ucap Abdul Ghoffar.

Diketahui, saat ini pengujian presidential threshold tengah diajukan oleh 53 orang ke MK. Di antara para penggugat, terdapat nama mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo hingga sejumlah anggota DPD RI.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru