Optika.id, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengapresiasi keinginan Menteri Agama RI menghadirkan harmoni di antara umat beragama. Tetapi Hidayat juga mengkritisi Surat Edaran Menteri Agama No. 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola. Surat Edaran, itu ditujukan untuk menghadirkan harmoni, diberlakukan secara generalisasi dan tidak mempertimbangkan kearifan lokal. Dikhawatirkan Surat Edaran tersebut malah berbalik menciptakan keresahan, saling curiga dan disharmoni di kalangan masyarakat yang terhubung dengan Masjid dan Mushola.
Seharusnya, sebelum membuat Surat Edaran, Menag terlebih dahulu membuat kajian yang objektif dan komprehensif, serta berkomunikasi terlebih dahulu dengan para wakil Rakyat di Komisi VIII DPR RI, yang membidangi urusan agama. Karena mereka seperti saat reses sekarang ini, menyerap aspirasi konsituen dan warga, termasuk yang terkait dengan masjid dan mushola serta masalah harmoni antar umat beragama. Saya mendapat banyak masukan yang hampir semuanya menyayangkan dan tidak sependapat dengan Surat Edaran baru tersebut, ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (24/2/2022).
Baca juga: Soal Kasus Rp349 Triliun, HNW Ingin Pemerintah Segera Bahas Draft RUU Perampasan Aset di DPR
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengatakan, sejatinya pengaturan mengenai penggunaan suara ini sudah ada sejak 1978. Yaitu melalui Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kep/D/101/1978. Kemudian dipertegas kembali keberlakuannya melalui Surat Edaran Dirjen Bimas Islam pada 2018.
Ini bukan aturan baru, SE itu sudah ada sejak 44 tahun lalu. Sayangnya, SE yang dikeluarkan Menteri Agama ini berbeda secara mendasar karena generalisasi pemberlakuannya di seluruh Indonesia. Tanpa menyebutkan kembali tentang kearifan lokal, serta obyektifitas membedakan masjid dan mushola di kawasan kota dan desa, di kawasan mayoritas Muslim atau minoritas Muslim. tidak disebut adanya faktor krusial yang menjadi penyebab utama mengapa Surat Edaran itu kelasnya, dari Surat Edaran Dirjen menjadi Surat Edaran Menteri. Mestinya disebutkan fakta-fakta dalam rentang waktu 4 tahun dari tahun 2018 saat masih berbentuk Surat Edaran Dirjen Bimas Islam hingga tahun 2022 saat kelas menjadi Surat Edaran Menteri, menyebutkan masalah disharmoni apa, sehingga SE tersebut perlu dilakukan kelasnya, tuturnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menjelaskan bahwa Instruksi Dirjen Bimas Islam pada 1978 malah lebih baik, dan menerapkan dalam rangka menghadirkan harmoni, justru Surat Edaran Dirjen itu diperbaiki untuk melayani. Karena objektif dan adil, dengan mempertimbangkan aspek lokalitas, dan kebudayaan masyarakat setempat. Instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut menyebutkan bahwa ketentuan ketat terhadap pengerasan suara di masjid dan mushola diberlakukan untuk kota besar, seperti ibu kota negara, ibu kota provinsi dan ibu kota kabupaten/kota dimana penduduknya beraneka ragam, baik dari segi agama, jam kerja dan lain sebagainya.
Instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut juga mengecualikan pengaturan untuk masjid tersebut, langgar dan mushola di desa/kampung, dengan tetap memperhatikan tanggapan dan reaksi masyarakat. Itu surat edaran yang bijak. Sayangnya, SE Menag sekarang, ini tidak membuat kecewa tersebut. Malah diberlakukan secara umum, dipukul rata untuk semua daerah di Indonesia. tidak ada pemakaian munculnya masalah serius yang massif dengan terjadinya ketidakharmonisan akibat pengerasan suara Masjid atau Musholla, ujarnya.
Umumnya daerah-daerah di Sumatera seperti di Aceh, Sumatera Barat, hingga Riau, juga Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, NTB, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku Utara, masyarakatnya sudah sangat harmonis dengan pengeras suara di Masjid dan Mushola. Bahkan di Jakarta sekalipun, saya mendapatkan aspirasi dari banyak warga dan tokoh Masyarakat di Mampang, Kebayoran Lama dan Cempaka Putih, yang misalnya, mereka dengan tegas mengatakan bahwa selama ini tidak ada masalah dengan pengeras suara dari Masjid atau Musholla yang kumandangkan suara adzan, pengajian, dan tarhim.
Salah satu tokoh FKDM, Pak Warli, malah menambahkan bahwa Surat Edaran Menag justru bisa jadi beban di tengah warga sehingg bisa memicu terjadinya disharmoni. Karenanya beliau meminta agar SE Menag no 05/2022 itu dikaji ulang saja," jelasnya.
HNW khawatir, sebagaimana temuan di Jakarta seperti Cempaka Putih, Mampang, dan Kebayoran Lama, sikap SE yang menggeneralisir itu justru akan menimbulkan disharmoni di kalangan masyarakat. Karena di daerah-daerah itu memang tidak ada masalah dengan pengerasan suara di masjid/mushola untuk kepentingan syiar agama Islam.
Baca juga: Hidayat Nur Wahid: Parpol Wajib Berikan Pendidikan Politik
Mereka yang sudah harmoni dan tidak ada masalah dengan pengeras suara, seharusnya cukup rambu-rambu umum tentang pentingnya peran masjid dan mushola dan pengeras suaranya dalam menjaga dan memperkuat harmoni dan kerukunan umat beragama, tukasnya.
Seharusnya Menag, kata HNW juga fokus mengatasi masalah yang ada di masjid dan masyarakat di lingkungan masjid. Karena pada periode 2018 saat SE masih di Dirjen, hingga 2022 saat SE naik kelas jadi Menteri, bukan soal pengeras suara yang menjadi isu nasional, melainkan membuat banyak kasus teror dan tindakan kriminal terhadap Masjid yang jadi korban vandalisme. Imam Masjid ada yang dianiaya sampai wafat (di Jateng dan Sulawesi). Ada yang diserang sebelum mengimami Sholat Isya (di Pekanbaru). Ada Ustadz seperti Syaikh Ali Jaber yang diserang saat lagi memberikan pengajian di dalam masjid, dan ada kotak amal dicuri dari dalam masjid. Selain adanya pengeras suara yang sudah tua dan bisa mengakibatkan suara tidak bagus, tapi belum bisa diganti karena keterbatasan kas keuangan masjid.
Dalam rangka menghadirkan harmoni masjid dan mushola dengan masyarakat sekitarnya terkait masalah-masalah yang menjadi isu nasional di atas, lebih tepat jika Kemenag bukan hanya membuat SE (Surat Edaran), tapi membuat program bantuan langsung bagi Masjid dan Musholla untuk memasangkan CCTV dan meningkatkan keamanan bagi Imam, Muadzin, Ustadz maupun jamaah. Juga adanya bantuan keuangan bagi masjid/mushola untuk memperbaiki atau pengerasan suara yang bagus, sehingga bisa hadirkan suara yang menenteramkan, bagus dan tidak sumbang, tuturnya.
HNW setuju dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berharap agar Surat Edaran itu tetap harus adil, memperhatikan maslahat masyarakat, tidak digeneralisir, dan proporsional agar pengaturan rumah ibadah hadirkan harmoni. Sehingga tidak hanya menyasar kepada rumah Ibadah dari satu Agama saja seperti masjid atau musholla, tetapi juga terhadap rumah-rumah ibadah dari Agama yang lain.
Baca juga: Foto Lawas Anies Baswedan Bersama Hidayat Nur Wahid dan Ulama Dunia Diduga Pimpinan ISIS, Benarkah?
Pandangan MUI ini wajar, karena Menag sendiri sering menegaskan bahwa dirinya adalah Menteri Agama, bukan hanya Menteri Agama Islam, tapi Menteri untuk semua Agama yang diakui di Indonesia. Dan tentunya semua Agama, Umat beragama dan rumah-rumah Ibadahnya juga ingin menghadirkan harmoni dengan warga dan sesama. Dan Menteri Agama perlu membantu merealisasikannya. Maka sewajarnya jika SE Menag no 05 tahun 2022 itu merevisi dan dikoreksi, agar dapat beperan sertakan harmoni untuk semua Agama dan rumah-rumah ibadah, tidak malah menjadi penyebab terjadinya disharmoni, pungkasnya.
Reporter: Denny Setiawan
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi