[caption id="attachment_12269" align="alignnone" width="205"] Dr. Sholikhul Huda, M.Fil.I Sekdir Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Surabaya & Pengasuh Pesantren Bumi Al Quran Grand Masangan Sidoarjo[/caption]
Demam budaya Korea Selatan sedang melanda ke segala penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Produk kebudayaan Korea mulai film, musik, makanan, fashion , produk kecantikan dan ekspresi sosial-budayanya sangat digandrungi oleh semua lapisan sosial masyarakat Indonesia.
Baca juga: Kasus BTS, Nistra Yohan Dikabarkan Lari ke Kamboja
Mulai anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, ibu rumah tangga, pejabat politik (Gubernur, Menteri, Bupati, Camat, RT), pejabat publik, artis bahkan kaum agamawan tanpa sungkan meniru gaya budaya Korea.
Dan seakan lebih bangga atau "sok gaul" meniru gaya Korea daripada menggunakan gaya budaya sendiri (Indonesia).
Fenomena tersebut sering di jumpai dan viral di ruang sosial kebudayaan kita.
Seperti ekspresi berbahasa masyarakat Indonesia dengan membentuk gestur tangan meniru bentuk jantung mungil kemudian tersenyum dan berkata "Saranghaeyo".
Adapula tren gaya Gangnam Style. Gaya koreografi menunggangi kuda dengan menyebut lirik '"Oppa, Gangnam style", dibawakan oleh K-Pop Psy.
Gaya koreografi sempat viral dan menjadi tran senam dan joget dikalangan masyarakat dunia, termasuk di Indonesia.
Adapula fenomena "fans fanatik" remaja-milenial Indonesia terhadap group musik K-Pop, Black Pink dan Bangtan Sonyeondan (BTS).
Semua "gerak gerik" gaya hidup mereka menjadi
trend, dari gaya pakaian, rambut, make up, ekspresi sosial ingin ditiru semuanya semirip mungkin.
Bahkan ironi adalah fenomena BTS-Meal. Proyek kerja sama antara McDonald's dan grup K-pop BTS asal Korea Selatan, disambut antusias oleh fans Army di Indonesia. Mereka rela antrian panjang berkerumun tanpa menghiraukan bahaya pandemi Covid-19, hanya demi mengejar paket makanan ala Korea.
Bahkan berani mengeluarkan uang jutaan rupiah hanya demi memburu kemasan markettable bekas.(KOMPAS.com/10/6/2021).
Budaya K-Pop telah masuk dan membanjiri ruang kesadaran privat dan publik kebudayaan kita. Sehingga, dipermukaan tampak sekali ancaman akan tergerusnya (erosi) kedaulatan kebudayaan bangsa kita sendiri.
Erosi kebudayaan adalah pengikisan cara hidup yang telah lama dimiliki bersama dan berkembang dimana masyarakat Indonesia lebih mengenal atau mengetahui budaya asing daripada budaya Indonesia sendiri yang mana nilai-nilai moral, etika dan nasionalisme mulai ditinggalkan.
Tanpa sadar atau mungkin "latah", kita begitu asyik mempromosikan kebudayaan Korea daripada kebudayaan kita. Apa mungkin kita malu dengan kebudayaan kita yang dianggap jadul atau "jumud" dibanding kebudayaan Korea? Dan jika situasi ini dibiarkan bahkan dianggap bagian dari kemajuan berbudaya, maka dapat diprediksi akan terjadi "erosi nasionalisme" keIndonesiaan kita. Jika itu terjadi berarti sama dengan kita sedang membuka pintu penjajahan (Kolonialisme) jilid ke-2, yang dulu dijajah bangsa Belanda sekarang diganti bangsa Korea.
Fenomena tanpa sungkan bahkan bangga "sok gaul" meniru dan gandrung terhadap gaya hidup Korea mulai produk kecantikan, film, fashion, makanan, olah raga, ekspresi sosial-budaya yang sedang melanda semua lapisan masyarakat global, termasuk Indonesia, dapat disebut dengan istilah fenomena "Koreanisme".
Fenomena "Koreanisme" telah muncul sebagai ideologi kebudayaan baru dan sedang berjalan mengganti kebudayaan lama.
Baca juga: Setelah Ditangguhkan, Kini Beberapa Visa Untuk Warga Korea & Jepang Disetujui China
Kondisi tentu dapat menjadi ancaman kedaulatan kebudayaan kita, jika kita biarkan bahkan kita sendiri yang menggandrunginya.
Persoalannya, mengapa fenomena "Koreanisme" begitu gencar dan bebas masuk ke ruang kesadaran privat dan publik kebudayaan kita, tanpa filter "los gak rewel"?
Hemat, saya ada dua faktor:
Pertama: Kuatnya transformasi budaya K-Pop/Korea yang menjadi euforia sudah terjadi lumayan lama, berjalan hampir dua dekade.
Mesin industri budaya Korea bergerak sangat sistematis didukung kebijakan politik kebudayaan strategis, ada tim perancang dibalik gerakan ini dengan pemanfaatan teknologi digital canggih dengan membonceng arus globalisasi.
Menurut Dal Yong Jin (2017) dalam karya "The Korean Wave Evolution, Fandom and Transanationality" menjelaskan sejarah kebudayaan Korea yang mendunia. Gelombang budaya Korea sering disebut Hallyu. Budaya Hallyu kemudian menyebar menjadi kiblat budaya global dengan K-Pop dan Drama Korea (Drakor) sebagai agen kebudayaan ke seluruh dunia termasuk Indonesia.
Ditambah sokongan kebijakan subsidi bagi industri musik-film, kerjasama solid antar Kementerian Kebudayaan-Turisme dengan Kementerian Komunikasi-Informasi untuk digitalisasi produk budaya serta supporting konglomerasi Korea Selatan, seperti perusahan Hyundai dan sebagainya.
Kedua: Lemahnya transformasi kebudayaan Nusantara diruang (rumah) sendiri apalagi di aras global, kalah jauh bersaing dengan budaya Korea dan India yang sangat masif mengisi ruang kebudayaan kita keseharian melalu serial TV maupun media sosial (YouTube, Instragram, Twitter dan sebagainya).
Kondisi tersebut hemat saya ada tiga aspek yang mempengaruhi yaitu:
1) kebijakan politik kebudayaan yang digawangi Kementerian Pariwisata dan Kementerian Pendidikan-Kebudayaan (Kemendikbud) terlihat tanpa arah dan gagap menghadapi arus globalisasi apalagi di era Pandemi Covid-19.
Baca juga: Tahukah Kamu Berapa Banyak Penggemar K-Pop di Seluruh Dunia pada Tahun ini?
Indikator sederhana adalah bebasnya film, sinetron, drama Korea dan India membanjiri layar TV Nasional kita dari pagi hingga malam.
Lemahnya perhatian (subsidi) terhadap karya/produk budaya anak negeri, terutama pada group musik dan sineas indie. Sehingga ekosistem industri budaya lemah dan kalah bersaing dengan industri budaya global.
2) Pemanfaatan teknologi digital dalam produksi industri kebudayaan terutama produksi film dan musik kita kurang dimaksimalkan.
Padahal hari ini, semua produk kehidupan termasuk kebudayaan tidak dapat lepas dari sentuhan teknologi digital.
3) Strategi promosi kebudayaan kita sangat lemah. Kita jarang menyaksikan festival film atau musik baik ditingkat nasional maupun internasional sebagai ajang promosi kebudayaan kita
4) Terkesan berjalan sendiri-sendiri, tidak tampak sinergi yang strategis antara kementerian Pariwisata, Kementerian Pendidikan-Kebudayaan dengan Kementerian Komunikasi-Informasi.
Padahal ketiga kementrian ini mempunyai posisi dan tanggungjawab terhadap penguatan nasionalisme dan kedaulatan kebudayaan kita dari gempuran kebudayaan asing.
Kondisi tersebut, tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus segera duduk bersama semua elemen terutama para pemangku kebijakan politik kebudayaan membuat solusi strategis menyelamatkan kedaulatan dan nasionalisme kebudayaan kita dari ancaman dan gempuran budaya "Koreanisme".
Editor : Pahlevi