Pejabat Publik Gagap Berkomunikasi Publik

Reporter : optikaid
Pejabat Publik Gagap Berkomunikasi Publik

[caption id="attachment_9675" align="alignnone" width="300"] Oleh: Cak A. Cholis Hamzah[/caption]

Lebaran 2022, mudik diizinkan, karena mempertimbangkan situasi Covid-19 yang membaik. Jumlah masyarakat yang divaksinasi juga meningkat terus.
Bagi masyarakat yang ingin melakukan mudik lebaran juga dipersilahkan, juga diperbolehkan, dengan syarat sudah mendapatkan dua kali vaksin dan satu kali booster, begitu kata Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Rabu, 23 Maret 2022.

Baca juga: Kemenhub: Pengguna Angkutan Umum Tembus Sampai 1 Juta

Kebijakan itu tentu mendapatkan berbagai pendapat baik yang setuju karena memang booster diperlukan demi menjaga kesehatan masyarakat, maupun pendapat yang kritis karena kebijakan itu dianggap tidak fair, sebab hanya ditujukan untuk hari-hari yang berhubungan dengan masyarakat yang beragama Islam.

Masyarakat yang kritis ini bertanya-tanya kepada kegiatan racing motor di Mandalika yang melibatkan kerumunan massa tidak ada kebijakan booster itu. Banyaknya tempat hiburan yang menyebabkan antrian panjang baik orang maupun kendaraan juga tidak dikenai keharusan mendapatkan vaksin booster.

Sebenarnya hal ini adalah menyangkut masalah bagaimana pejabat itu melakukan komunikasi publik yang baik agar tidak menimbulkan kegaduhan dan kebingungan rakyat. Dulu ketika Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat didepan para wartawan di Gedung Putih hari minggu tanggal 29 Maret 2020 mengatakan bahwa aturan tentang Social Distancing di Amerika Serikat diperpanjang sampai tanggal 30 April 2020 dalam upaya untuk menekan angka kematian akibat coronavirus.

Pernyataan pak Trump ini berbalik dengan ucapannya sendiri sebelumnya bahwa dia ngotot negara dibuka lagi untuk kegiatan bisnis dari aturan jaga jarak sosial itu sampai menjelang hari Paskah tanggal 12 April. Para ahli kesehatan memperingatkan presiden Trump bahwa kebijakan buru-buru membuka negara untuk urusan bisnis akan menimbulkan banyak kematian yang tidak boleh terjadi.

Saya banyak belajar dari sahabat saya Prof. Deddy Mulyana Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Pajajaran tentang komunikasi publik. Pernyataan-pernyataan presiden Trump seperti itu seringkali dianggap tidak in line dengan prinsip-prinsip komunikasi publik yang baik, dan para pengkritiknya mengatakan bahwa Trump disebut sering berbohong. Memang dalam situasi yang genting seperti dewasa ini diseluruh dunia maka komunikasi publik para pejabat negara perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak menimbulkan kebingungan publik. Contoh pernyataan pak Trump itu menunjukkan komunikasi yang menimbulkan kebingungan.

Baca juga: Pelindo Ungkap 65 Ribu Pemudik Pulang Lewat Pelabuhan Tanjung Perak

Dalam ilmu komunikasi ada beberapa hal yang menyebabkan sebuah komunikasi itu tidak efektif, antara lain soal Source credibility (kredibilitas sumber informasi) dan Semantic problems (masalah semantik).

Faktor- faktor di atas dapat menyebabkan kebingungan publik akibat komunikasi yang tidak efektif seperti Source of Credibility atau sumber informasi yang kredibel. Seringkali masing-masing pejabat negara mengeluarkan pernyataan tentang penanganan Covid-19 yang saling bertentangan. Rakyat umum bertanya-tanya pernyataan siapa yang harus digugu kalau mendengarkan berbagai versi pernyataan. Belum lagi rakyat juga dihadapkan makin banyak nya para pemuda melenia yang disebut the Influencer yang juga meng-upload berbagai pernyataan.

Demikian pula soal Semantic atau soal istilah yang dipakai. Di negeri kita ini ketika penyebaran Covid dalam tahap yang mengkhawatirkan, publik secara umum (awam) pada bertanya tentang istilah yang berseliweran misalna Lockdown , Karantina Wilayah,Karantina Terbatas, Status Darurat Sipil, Kekarantinaan Kesehatan. Belum lagi publik dibuat bingung soal aturan hukumnya pada masing-masing istilah tersebut, termasuk Karantina Wilayah itu Urusan Pemerintah Pusat atau bukan,

Baca juga: Polda Jatim Gandeng Dishub untuk Berikan Atensi di Pelintasan KA Selama Mudik Berlangsung

Perlu diingatkan bahwa komunikasi yang tidak efektif para pejabat dalam kaitannya dengan menyebarnya virus mematikan ini tidak hanya menimbulkan kebingungan publik tapi juga menimbulkan ketidak percayaan publik terhadap pemerintah atau pimpinan publik. *Lesson Learned atau hal yang bisa kita pelajari dari kondisi politik di Amerika Serikat, banyak rakyatnya yang tidak percaya kepada pernyataan pemimpin negara karena dianggap membingungkan dan akhirnya menyimpulkan bahwa para pemimpin negaranya itu full of lies atau penuh dengan kebohongan.

Karena itu komunikasi publik para pejabat negara di Indonesia pada situasi yang penuh dengan ketidak pastian seperti saat ini perlu prudence atau kehati-hatian dan bijak. Kalau tidak akan muncul menjadi bola liar dugaan-dugaan negatif terhadap pemerintah.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru