Analisis Kekerasan Anak dalam Keluarga pada Masa Pandemi Covid-19

Reporter : Mei Nurkholifah
Analisis Kekerasan Anak dalam Keluarga pada Masa Pandemi Covid-19

Optika.id - Keluarga menjadi institusi yang semakin penting sebagai sebuah wadah interaksi antar-anggota keluarga tersebut. Institusi ini dianggap memainkan peran sangat penting dalam mengajarkan kebiasaan, pola, pelajaran, dan nilai yang menjadikan anggotanya memiliki peran individu, familial dan sosial yang terjaga (Newman dan Grauerholz, 2020).

Karena fungsinya tersebut, keluarga sering dijuluki sebagai the backbone of society (Macionis, 2008). Dalam keadaan pandemi virus Corona, pemerintah menyediakan strategi untuk meminimalisir penyebaran virus corona ini dengan memaksimalkan pelaksanaan kegiatan dari rumah dan tetap menjalankan physical distancing atau social distancing. 

Baca juga: Korban KDRT Kerap Terjebak Siklus Kekerasan Berulang

Namun, banyak pula dari mereka yang kehilangan penghasilan bahkan kehilangan mata pencahariannya. Ketika seseorang mengalami penurunan penghasilan atau tidak adanya pemasukan tetapi kebutuhan hidup yang harus tetap dipenuhi maka akan menimbulkan kecemasan atau stres dalam diri setiap orang khususnya yang telah berkeluarga. 

Anak sebagai generasi penerus bangsa dan keluarga pada kenyataannya masih seringkali mendapat perlakuan salah baik dengan kekerasan verbal (fisik) maupun non verbal (psikis) yang kerap dilakukan oleh orang-orang sekitarnya pada saat pandemi Covid-19 ini sehingga anak perlu untuk mendapatkan perlindungan hukum. 

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, selama Januari-14 Juli 2020, di masa pandemi Covid-19 ini, tercatat ada 736 orang tua dan anggota keluarga yang melakukan kekerasan pada anak. 

Data dari Wahana Visi Indonesia tentang Studi Penilaian Cepat Dampak Covid-19 dan Pengaruhnya Terhadap Anak Indonesia menyebutkan, sebanyak 62% anak mengalami kekerasan verbal oleh orang tuanya selama berada di rumah. 

Perilaku yang termasuk kekerasan verbal ke anak antara lain meningkatnya volume suara berupa teriakan, bentakan, maupun amukan.

Selain itu,mengancam anak, mengkritik, mengejek, serta menimpakan setiap kesalahan pada anak juga termasuk 2 dalam perilaku ini (Anna, 2020, dalam Talakua, 2021). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survei secara online sejak 8-14 Juni 2020 yang melibatkan 25.146 anak yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia (Setiawan, 2020, dalam Talakua, 2021). 

Berdasarkan hasil survei tersebut, anak mengaku kerap kali mengalami kekerasan fisik dari kedua orang tuanya seperti dicubit (39,8%), dijewer (19,5%), dipukul (10,6%), dan ditarik (7,7%). Selain fisik, kekerasan psikis juga sering diterima oleh anak, seperti dimarahi (56%), dibandingkan dengan anak yang lain (34%), dibentak (23%), dan dipelototin (13%). 

Ditengarai oleh KPAI bahwa kondisi anak yang bosan, serta aktivitas anak yang dianggap kurang produktif seperti nonton televisi (61%), tidur 60%, dan bermain gim (49%), berakibat pada tindakan kekerasan tersebut. 

Kekerasan terhadap anak bukanlah hal yang baru terjadi, pada kenyataannya bila ditelusuri lebih dalam masih banyak sekali kasus-kasus yang belum terlaporkan sehingga kejahatan terhadap anak dalam rumah tangga ini dapat pula dikatakan sebagai kejahatan yang tersembunyi (hidden crime).

Ditambah lagi dengan adanya kebersamaan terus menerus selama 24 jam penuh sehari akibat dari adanya kebijakan pemerintah untuk physical distancing justru memunculkan problematika. Oleh karena itu penulis dan tim tertarik untuk melihat dan menganalisis fenomena kekerasan terhadap anak saat pandemi covid-19. 

Pandemi mengakibatkan kekerasan anak meningkat. Terdapat faktor-faktor terjadinya kekerasan anak pada masa pandemi Covid-19 dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal, menurut Hirschi, berasal dari dalam diri individu, seperti menahan diri untuk melanggar aturan. 

Hal itu disebabkan oleh Attachment (kasih sayang), commitment (tanggung jawab), involvement (keterlibatan), dan believe (kepercayaan). Keempat ini dapat digunakan untuk mengklasifikasikan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kekerasan pada anak, Senin (25/4/2022).

Baca juga: Dibalik Alasan Pelaku Anak Lakukan Kekerasan

  • Attachment (kasih sayang) 

Kasih sayang merupakan unsur utama yang bersumber dari keluarga. Faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak yang masuk ke dalam unsur ini, seperti ketidakharmonisan keluarga. Ketua KPAI, Susanto, menyampaikan bahwa ketidakharmonisan keluarga menjadi faktor terjadinya kekerasan pada anak. 

Ketidakharmonisan keluarga sering kali menyebabkan kasih sayang kepada anak berkurang. Banyaknya permasalahan yang timbul, seperti masalah ekonomi, menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Retaknya rumah tangga memberikan pengaruh kepada sang anak. Tidak jarang orang tua melampiaskan kekesalannya kepada sang anak dengan cara melakukan kekerasan fisik ataupun verbal.

  • Commitment (tanggung jawab)

Orang tua memiliki tanggung jawab atas masa depan sang anak. Namun, tidak jarang orang tua yang menyalahartikan tanggung jawab tersebut. Dalam Kandedes (2020), faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak yang masuk ke dalam unsur ini, antara lain: 

  • Faktor kultural 

Kekerasan pada anak bisa terjadi karena adanya anggapan bahwa anak bisa dieksploitasi oleh orang tuanya. Mayoritas orang tua merasa bahwa anak adalah miliknya.

Dengan persepsi seperti itu, anak harus menuruti apapun yang dikatakan oleh ayah dan ibunya. Jika anak tidak menuruti orang tuanya, rewel, malas, dan lain-lain, maka orang tua akan memberikan sanksi berupa tndakan kekerasan fisik dan psikis kepada anak. Orang tua juga tidak jarang menanggap bahwa mereka memiliki hak untuk memukul, mencubit, atau menjewer telinga sang anak. 

  • Faktor ekonomi 

Pada zaman yang sudah modern ini, banyak sekali wanita yang tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi juga menjadi Wanita karir. Adanya peran ganda yang harus dilakukan oleh seorang ibu membuat dirinya sering tertekan hingga depresi dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, 45 terutama di masa pandemi Covid-19, seperti tekanan ekonomi dan tekanan pekerjaan.

  • Faktor struktural 

Kekerasan pada anak juga terjadi karena tidak seimbangnya hubungan antara orang tua dan anak. Hal tersebut disebabkan oleh situasi dan kondisi anak yang lebih lemah dibandingkan orang tuanya sehingga rawan mengalami kekerasan.

Baca juga: Tiga PR Besar Komnas Perempuan Rampungkan Kasus Kekerasan di Ranah Personal

  • Involvement (Keterlibatan) 

Adanya pandemi Covid-19 menyebabkan anak berada di rumah selama 24 jam. Otomatis orang tua memiliki peran penuh dalam mengajari, mengawasi, dan membimbing anak di rumah. 

Frekuensi pertemuan yang lebih sering itu menyebabkan orang tua harus lebih ekstra sabar dalam menghadapi sang anak. Keterlibatan berarti adanya komitmen, perilaku individu bersifat partisipatif dan menaati aturan-aturan tertentu. 

Orang tua yang melibatkan dirinya lebih lanjut untuk mencari tahu mengenai pengasuhan dan/atau pedagogi untuk mendampingi anak belajar pada masa pandemi bisa lebih memahami dan mengurangi kemungkinan mereka melakukan kekerasan terhadap anak.

  • Believe (Kepercayaan) 

Kepercayaan terhadap norma yang ada mampu menimbulkan sikap kepatuhan terhadap norma tersebut. Semakin paham suatu individu terhadap suatu norma, semakin kecil juga kemungkinan terjadinya pelanggaran. 

Reporter: Mei Nurkholifah

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Sabtu, 14 Sep 2024 18:18 WIB
Jumat, 13 Sep 2024 08:24 WIB
Senin, 16 Sep 2024 11:12 WIB
Berita Terbaru