Tradisi Tukar Uang Baru, THR, Hingga Mudik Saat Lebaran, Bagaimana Asalnya? Ini Kata Sosiolog Unair

Reporter : Jenik Mauliddina
Tradisi Tukar Uang Baru, THR, Hingga Mudik Saat Lebaran, Bagaimana Asalnya? Ini Kata Sosiolog Unair

Optika.id - Salah satu tradisi yang tidak bisa dilepaskan saat hari raya Idul Fitri di Indonesia adalah tradisi bagi-bagi THR (Tunjangan Hari Raya) Mudik dan menukar uang baru. Bagaimana asal usulnya menurut aspek sosiologis?

Pakar sosiologi Universitas Airlangga (UNAIR), Prof Musta'in Mashud, menjelaskan ketiga tradisi menjelang lebaran ini melalui kacamata sosiologi. Menurutnya, tradisi-tradisi tersebut memiliki akar sejarah yang unik serta patut diapresiasi keberadaannya.

Baca juga: Maulid Nabi Ternyata Bukan Syiah yang Mengawalinya

Ini Asal Usulnya:

  1. Mudik

Mudik atau singkatan dari 'mulih dilik' memiliki arti pulang sebentar. Sesuai namanya, mudik merupakan tradisi lebaran yang umum dilakukan masyarakat urban untuk kembali ke kampung halaman.

Musta'in menjelaskan, mudik merupakan momen untuk kembali kepada memori masa lampau bersama keluarga. Hal ini merupakan konsekuensi logis yang terbentuk secara alami di dalam diri manusia ketika berada jauh dari keluarga.

Momen mudik sudah menjadi kebutuhan diri dan tidak dapat digantikan maupun dikalkulasikan secara ekonomi. Inilah yang membuat orang rela melakukan mudik meski tahu biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.

"Proses untuk kembali dari tempat bekerja itu sebagian dari romantisme mereka, jadi segala sesuatu itu tidak bisa dinilai dengan kalkulasi rasional secara ekonomi," ujar Prof Musta'in dalam laman resmi UNAIR, Rabu (4/5/2022).

  1. Bagi-Bagi THR

Bagi-bagi THR sudah menjadi tradisi yang sangat ditunggu-tunggu oleh pekerja menjelang Hari Raya Idulfitri. Istilah ini bahkan dipakai juga untuk memberikan uang kepada keponakan atau saudara yang masih kecil saat momen lebaran.

Menurut Musta'in, bagi-bagi THR dan menunaikan zakat keduanya memiliki makna yang sama jika dilihat dari kacamata sosiologi, yakni sebagai bentuk semangat manusia untuk kembali ke fitrah.

Fitrahnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Oleh sebab itu, manusia membentuk komunalitas untuk saling berinteraksi dan berbagi dalam memenuhi hajatnya.

Pada masyarakat pedesaan, kebersamaan dan solidaritas terjaga dengan baik karena didukung oleh budaya tradisional dan struktur mata pencaharian masyarakat yang berada dekat dengan lingkungan rumah. Mereka dulu belum mengenal istilah THR.

Baca juga: Sayembara Desain Eks Kawasan THR, Peserta Siapkan Berbagai Macam Ide!

Namun, karena sifat moral dan fitrah manusia, pembagian keuntungan usaha antar individu berdasarkan hierarki pekerjaan sudah terbentuk. Hal itu dinamakan patron-klien.

"Secara moral di desa itu orang kaya memiliki kewajiban, si kaya memberi kepada yang miskin," ujar guru besar sosiologi itu.

Seiring berjalannya waktu, tumbuh industri-industri di perkotaan yang membuat masyarakat desa ikut bekerja pada korporasi dengan sistem profesional, meski begitu fitrah kemanusiaan tidaklah luntur. Manusia tetap saling bantu membantu serta berbagi, hanya saja dalam berbagi terkadang manusia menunggu momen yang tepat, salah satunya pada momen Idulfitri.

THR adalah hasil dari sifat manusia yang saling berbagi. Namun kini THR menjadi sesuatu yang diwajibkan oleh negara karena hal ini merupakan momen yang sudah disepakati sebagai bentuk dari hajat bersama agar semua pihak baik pemerintah, pengusaha, buruh maupun swasta dapat sama-sama mengambil manfaatnya.

"Momen itu, menurut saya, adalah ruang bersama yang bisa dimaksimalkan agar semua orang mendapat manfaatnya," ungkap Musta'in.

  1. Menukar Uang Baru

Menjelang lebaran, uang dengan pecahan baru diburu oleh masyarakat. Pasalnya uang baru akan digunakan untuk berbagi THR kepada keponakan atau sanak keluarga.

Baca juga: Peneliti Unair Ini Berhasil Temukan Senyawa Penghambat Kanker

Menurut Musta'in, hal ini merupakan salah satu bagian dari fasilitas momen. Momen Hari Raya Idulfitri identik dengan 'salam tempel' agar tidak terjadi kecemburuan sosial antar keluarga, maka uang yang dibagikan untuk salam tempel nilainya harus sama dengan ditukarkan di bank.

Proses itu terjadi secara terus menerus dan menjadi sebuah tradisi baru di masyarakat. "Momen itu dapat menjadi bagian dari kebutuhan diri," jelasnya.

Reporter: Jenik Mauliddina

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru